Oleh: Septa Yunis (Analis Muslimah Voice)
Tapera, kembali menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri. Rinciannya 0,5% ditanggung pemberi kerja dan 2,5% ditanggung pekerja. (https://fokus.kontan.co.id/news/iuran-tapera-solusi-atau-masalah-baru)
Tujuan pemungutan iuran Tapera tersebut adalah untuk membantu pembiayaan perumahan bagi para pekerja. Namun, apakah benar murni untuk kepentingan rakyat? Kebijakan ini menimbulkan banyak kontra. Terutama para pekerja. Alasan adalah menyengsarakan pekerja. Bagi pekerja dengan gaji UMR, potongan 3% untuk Tapera semakin memangkas nominal gaji yang diterima mereka. Selain Tapera, gaji pekerja sudah dipotong dengan berbagai program, seperti pajak penghasilan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan BPJS kesehatan.
Merujuk pernyataan di atas, meskipun program ini diklaim akan membantu pembiayaan perumahan, namun faktanya pemotongan pendapatan akan berdampak pada berkurangnya pemasukan. Selain itu, penerima manfaat Tapera ternyata harus memenuhi kriteria tertentu. Pekerja yang tidak masuk kriteria tidak bisa langsung mencairkan dana Tapera sebelum masa pensiun, atau meninggal, atau tidak aktif bekerja selama 5 tahun berturut-turut. Sungguh ini sangat dzalim, sebab gaji pekerja adalah hak milik individu pekerja tersebut.
Rumah atau tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, negara wajib memenuhi kebutuhan rakyatnya. Bukan malah, memangkas gaji pekerja demi melanggengkan program-program pemerintah. Sedangkan di sisi lain, rakyat pontang-panting bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari sini dapat kita lihat, negera berusaha melepas tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat, dimana kebutuhan papan juga termasuk dalam tanggung jawab negara.
Dalam Islam, negara memberikan pelayanan terbaik. Negara bertanggung jawab atas kebutuhan rakyatnya, mengurus kebutuhan rakyat, bukan menguras pendapatan rakyat. Islam juga memiliki cara pemenuhan kebutuhan pokok bagi rakyatnya. Kebutuhan pokok individu maupun bersama akan menjadi tanggungjawab negara. Kebutuhan pokok seperti pangan, papan, dan sandang harus dibantu pemenuhannya oleh pemerintah. Kebutuhan lain seperti pendidikan, keamanan, dan kesehatan juga demikian. Cara pemenuhan kebutuhan ini tidak dipotong dari gaji pekerja, tapi harta kepemilikan umum yang dikelola negara untuk kemudian dikembalikan lagi kepada rakyat.
Dalam aturan Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga yaitu kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan kepemilikan individu. Salah satu kepemilikan individu diperoleh dari bekerja, dan tentu menjadi hak orang tersebut dalam menggunakan harta tersebut. Negara, tidak boleh merampas kepemilikan individu. Sedangkan harta kepemilikan umum termasuk sumber daya alam dan tambang yang dikelola negara dan akan menghasilkan pendapatan yang besar. Hasil pengelolaan ini yang akan dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat, termasuk kebutuhan penyediaan perumahan.
Oleh karena itu, solusi untuk menyelesaikan masalah perumahan rakyat bukan pemungutan Tapera, melainkan dengan Islam. Islam adalah agama sekaligus memiliki aturan untuk keberlangsungan hidup manusia di dunia. Aturan yang datang langsung dari Allah, jika diterapkan pasti akan mendatangkan kemaslahatan umat.[]