Oleh: Niken Lestari
Memiliki rumah adalah impian Setiap keluarga. Rumah yang layak untuk berteduh, yang nyaman untuk beristirahat dan yang cukup luas untuk bergerak. Berbagai upaya dilakukan untuk meraihnya seperti menabung sendiri, KPR, berinvestasi dan lain-lain.
Tapi keinginan itu tidaklah mudah untuk diwujudkan, karena seiring berjalannya waktu harga tanah maupun rumah semakin melambung tinggi. Tak sedikit yang mengurungkan niat untuk menjemput impian tersebut dan melabuhkan niatnya cukup dengan mengontrak atau tinggal bersama keluarga besar.
Di akhir jabatan presiden Jokowi beliau mengeluarkan program "Tabungan Perumahan Rakyat ( Tapera)" yang diperuntukkan untuk seluruh pekerja yang berpenghasilan tanpa terkecuali. Besar tabungan yang harus disetorkan ke petugas bagi pekerja tetap /PNS setiap bulannya sebesar 2,5% dari gaji atau penghasilan, sedangkan untuk pekerja swasta 3%. Bahkan program ini bersifat wajib diikuti baik PNS maupun swasta. Program ini dikeluarkan untuk membantu masyarakat yang sulit membeli rumah yang nantinya dari negara pun akan memberi subsidi untuk tambahan biayanya.
Namun semua tidak berjalan sesuai harapan. Sebagian masyarakat justru memberi respon negatif. Mereka menolak dengan alasan banyak iuran/ tabungan/potongan yang diambil setiap bulannya justru menambah beban rakyat.
Sudah banyak potongan yang harus dikeluarkan saat menerima gaji, berupa potongan BPJS, pajak penghasilan, asuransi dan lain- lain. Belum lagi saat berbelanja kebutuhan rumah tangga pun masih harus dibebankan pajak pertambahan nilai (Ppn).
Biaya pendidikan yang terus meroket, biaya kesehatan yang semakin sulit terjangkau, tarif dasar listrik dan air yang terus menerus merangkak naik sudah membuat rakyat serasa sekarat. Maka, untuk program Tapera ini masyarakat sudah cerdas untuk dapat berpikir realistis dengan mengambil contoh sebagai berikut : gaji 5 juta, maka 2,5% nya adalah Rp.125.000,00 . Dalam setahun terkumpul Rp.1.500.000,00 . Dalam 30 tahun terkumpul Rp. 45.000.000,00 . Lantas rumah seperti apa yang akan didapat dengan biaya minim seperti itu dan seberapa besar subsidi yang negara akan berani berikan? Itulah secuil keraguan yang dirasakan oleh masyarakat. Keraguan untuk terealisasi rumah impian semakin pupus ketika melihat fakta bahwa uang sebesar Rp 45 Juta itu baru didapat setelah menabung 30 tahun. Bisa jadi, rakyat yang ikut program Tapera bisa jadi sudah tutup usia. Kemanakah nanti uang itu?
Lebih parahnya lagi dengan banyaknya kasus korupsi yang sedang melanda negeri ini masyarakat menjadi takut jika uang yang mengendap terlalu lama akan dimanfaatkan untuk korupsi oleh pejabat tertentu. Belajar dari banyaknya kasus korupsi di berbagai sektor yang ujung-ujungnya masyarakat lagi yang menjadi korban dan yang dirugikan.
Bahkan ketika rumah tidak terbeli, masyarakat berusaha untuk tetap membuat tempat tinggal meskipun tidak layak, baik dari segi bangunannya, fasilitasnya, hingga lingkungannya. Muncullah rumah-rumah tidak layak huni atau permukiman kumuh yang akhirnya berpotensi memunculkan penyakit sosial, seperti pelecehan seksual. Betapa banyak kasus pelecehan seksual yang menimpa anak perempuan, sedangkan pelakunya justru orang orang terdekat. Rumah yang seharusnya menjadi tempat aman telah berubah menjadi tempat yang penuh ancaman.
Itulah dampak yang masyarakat rasakan di bawah naungan sistem kapitalis sekuler. Suatu hal yang sangat sulit bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan primernya.
Berbanding terbalik dengan sistem Islam, sistem Islam mewajibkan negara untuk lebih memihak kepentingan rakyat. Negara dalam sistem Islam, yakni Khilafah, menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat akan perumahan yang aman, nyaman, dan syar’i. Hal tersebut dilakukan melalui beberapa mekanisme sebagai berikut :
Pertama, Khilafah akan menerapkan politik perumahan Islam, yakni sekumpulan syariat dan peraturan administrasi, termasuk pemanfaatan riset dan teknologi terkini. Ia merupakan bagian integral dari pelaksanaan seluruh sistem kehidupan Islam. Kehadiran penguasa sebagai pelaksana syariat kaffah menjadikan khalifah berkarakter penuh kepedulian dan tanggung jawab. Khalifah bukan berposisi sebagai regulator, melainkan sebagai peri’ayah (raa’in) dan penanggung jawab atas urusan rakyatnya
Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw. telah mencontohkan, saat awal hijrah dari Makkah ke Madinah, dibantu dengan para mu’awin-nya, beliau saw. mengurus tempat tinggal kaum Muhajirin di Madinah karena mereka hijrah tanpa membawa harta. Demikian juga pada masa kekhalifahan Islam, para khalifah telah mengatur tata kota dengan sebaik baiknya, termasuk mengatur lahan perumahan.
Kedua, Khilafah memastikan bahwa rumah yang dibangun haruslah layak huni, nyaman, dan syar’i. Islam telah mengajarkan agar setiap orang tua memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan saat mereka balig.
Rasulullah saw. bersabda :
“Perintahkanlah anak-anak kalian salat tatkala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila masih enggan salat tatkala mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka pada tempat-tempat tidurnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim).
Ketiga, Khilafah memastikan bahwa harga rumah yang dibangun bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Rumah sendiri merupakan kebutuhan pokok individu dengan skema jaminan pemenuhannya berdasarkan penanggung jawab nafkah. Fungsi negara dan sistem kehidupan Islam yang diterapkan mendukung penuh fungsi dan kewajiban individu tersebut.
Masyarakat dengan penghasilan rendah akan dibantu negara dengan skema subsidi oleh negara. Bahkan, negara bisa memberikan rumah kepada fakir miskin yang memang tidak mampu membeli rumah. Alhasil, setiap individu rakyat akan benar-benar merasakan jaminan pemenuhan kebutuhan perumahan.
Keempat, Khilafah mengambil pembiayaan untuk tata kelola perumahan dari kas negara (Baitul Mal). Saat kas negara kosong, sedangkan masih banyak rakyat yang tidak memiliki rumah, negara bisa menarik pajak dari orang kaya. Namun, sifatnya temporer, yakni pungutan dihentikan setelah kebutuhan terpenuhi.
Negara tidak akan mengambil pembiayaan dari utang luar negeri. Selain haram karena mengandung riba, yang demikian juga akan menyebabkan kemudaratan yakin hilangnya kedaulatan negara di hadapan negara peminjam utang. Sebagaimana kita ketahui bahwa utang luar negeri adalah alat penjajahan ekonomi negara kaya terhadap negara miskin.
Khilafah juga akan memastikan semua sumber daya bagi pembangunan perumahan akan termanfaatkan secara maksimal bagi terwujudnya jaminan pemenuhan kebutuhan rumah setiap individu masyarakat.
Tercatat dalam sejarah peradaban Islam, penyelenggaraan kemaslahatan publik Khilafah benar-benar berada di puncak kebaikan, tidak terkecuali pembangunan pemukiman penduduk dan perkotaan.
Demikianlah penerapan hukum Islam—dalam pengaturan perumahan dan pemukiman—yang dilakukan negara dalam sistem Islam, yakni Khilafah. Ini adalah satu satunya jawaban bagi permasalahan perumahan hari ini. Secara keyakinan, kesahihan konsep, dan bukti penerapannya dalam sejarah peradaban Islam, seluruhnya mengantarkan pada satu kesimpulan, yakni hanya Khilafahlah yang mampu mewujudkan lingkungan perumahan yang aman, nyaman, dan syar’i bagi generasi.
Wallahu'alam bishshawab.[]