Berburu Suara Rakyat di Pilkada 2024

 


Oleh: Nuraisah Hasibuan, S.S


Setelah pemilu capres dan cawapres pada April 2024 yang lalu, kembali suara rakyat diburu untuk kursi panas pilkada. Pilkada serentak yang akan diadakan pada tanggal 27 November 2024 nanti adalah pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD di jajaran provinsi, kabupaten dan kota.


Salah satu yang menjadi sorotan pada proses pilkada ini adalah kebolehan calon anggota legislatif (caleg) terpilih agar tetap menjabat sebagai DPR/DPD/DPRD untuk 2019 selama mereka belum dilantik dan menjabat pada periode 2024. Ketua Komisaris Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari menuturkan bahwa caleg wajib mundur dari jabatan sebelumnya hanya jika terpilih dalam pemilu 2024.


Hal ini diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang isinya kurang lebih sama dengan pernyataan Ketua KPU tersebut.


Kontestasi politik lima tahunan ini juga ditandai dengan getolnya partai politik mencari koalisi. Parpol lain digandeng meski kadang harus mengesampingkan idealisme visi dan misi partai. Koalisi harus ditempuh demi terpenuhi syarat minimal perolehan suara, yaitu 25% dari total suara sah di provinsi dan paling sedikit 4% dari total suara nasional. Artinya, semakin banyak partai yang berkoalisi, semakin banyak dukungan suara yang bisa dikumpulkan.


Selain dengan jalan koalisi, hampir semua partai politik mencoba mendulang suara dengan cara menggandeng artis. Cara ini memang masih sangat efektif untuk menarik suara rakyat Indonesia yang kebanyakan masih awam akan dunia politik, alias memilih hanya karena kenal dan suka saja.


Beberapa artis yang sudah positif dipinang sebut saja Once Mekel (PDIP), Denny Cagur (PDIP), Rachel Maryam (Gerindra), Melly Goeslaw (Gerindra), Uya Kuya, Primus, Dona Lorenza, Arzeti Bilbina, Komeng, Nafa Urbach, Ahmad Dhani, dan masih banyak lagi. Parpol bahkan tidak lagi mempertimbangkan kualitas para artis karena kepopulerannya adalah daya jual yang justru dicari. 


Demikian memang politik pemilu di negeri ini. Sosok para figur terkenal sering menjadi kunci sukses dalam memenangkan pilkada. Ini diakui sendiri oleh Bupati Bandung, Dadang Supriatna saat menggandeng pesinetron Sahrul Gunawan pada pilkada 2020, dan ia melenggang mulus terpilih menjadi Bupati dan Wakil bupati Bandung.


Ini adalah gambaran keniscayaan dalam sistem demokrasi. Kursi kekuasaan diburu hanya untuk meraih materi dan prestise. Tidak peduli jika harus melakukan segala cara termasuk mengumbar janji kosong dan sekedar popularitas. Ditambah lagi rakyat yang memang mudah termakan iming-iming serta figuritas.


Sungguh berbeda dari politik pemilu dalam sistem Islam, dimana kekuasaan adalah amanah yang sungguh berat. Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban akan kepengurusan yang dilakukan penguasa dan dan para pejabat negara  terhadap rakyat. Itulah sebabnya, orang-orang yang mencalonkan diri jadi pejabat negara haruslah mereka yang siap mendedikasikan pikiran, tenaga, bahkan hartanya untuk kemaslahatan rakyat. Tidak perlu ada kampanye yang panjang, juga janji-janji manis. Proses pemilihan berlangsung sangat cepat (kurang lebih tiga hari saja) sehingga tidak perlu menghabiskan banyak anggaran negara dan juga tidak terlalu lama menyita perhatian. Sebab urusan pejabat negara teramat banyak dan bukan hanya soal pemilu saja. 


Semoga kedepannya, rakyat semakin cerdas dalam berpolitik sehingga bisa memutuskan untuk meninggalkan sistem politik yang rusak dan beralih ke sistem yang terbaik yaitu sistem politik Islam. 

Wallahu'alam bishshawab.[]










*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama