Oleh: Ayu Fitria Hasanah S.Pd (Pemerhati pendidikan)
“Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar” itulah tema hari pendidikan nasional tahun ini. Program pendidikan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang digadang-gadang menjadi inovasi dan harapan baru bagi dunia pendidikan, nyatanya belum memberi dampak yang signifikan bagi kualitas generasi sebagai output pendidikan dan tidak menyentuh masalah-masalah utama pendidikan lainnya.
Misalnya untuk masalah besar pendidikan seperti keterbatasan akses pendidikan, pada jenjang perguruan tinggi hal ini sangat dirasakan, akibat semakin mahalnya biaya uang kuliah tunggal (UKT). Seperti yang disampaikan oleh Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan pengamat pendidikan, Cecep Darmawan bahwa “Masih ada 69% anak-anak SLTA yang tidak melanjutkan kuliah. Hal ini terjadi setiap tahun, jika ada tiga kelas, hanya satu kelas yang melanjutkan kuliah semester, dua kelas lainnya tidak. Angka ini harus segera diintervensi oleh pemerintah untuk ditingkatkan lewat berbagai program,” (Media Indonesia, 25/02/2024).
Ironisnya, program kampus merdeka dengan kebijakannya yakni bahwa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) mendapatkan hak otonomi dan kebijakan bahwa PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) melalui program kampus merdeka lebih mempunyai kebebasan atau kemudahan untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH), justru semakin menjadikan kampus sulit dijangkau oleh masyarakat secara umum. Karena perguruan tinggi yang berstatus PTN BH memiliki hak otonom untuk mengelola sendiri kampusnya, baik masalah penyediaan program studinya ataupun keuangannya.
Artinya kampus memiliki kebebasan menetapkan harga UKT, serta kerjasama-kerjasama dengan berbagai korporasi dalam rangka pengadaan sumber pemasukan dananya. Tak heran jika semakin banyak kampus yang menetapkan harga UKT semakin mahal. Maka dapat dilihat bagaimana program kampus merdeka semakin menggeser kampus sebagai penyelenggara pendidikan yang seharusnya adalah sebuah jaminan bagi masyarakat umum menjadi pengelola bisnis pendidikan. Pendidikan yang sejatinya adalah hajat dasar yang menjadi hak bagi setiap manusia berubah menjadi komoditi yang harus dibayar mahal untuk mendapatkannya.
Gagasan bahwa kampus didorong menjadi PTN BH dengan alasan agar tergolong sebagai PT terbaik di dunia serta meningkatkan kualitas kampus itu sendiri adalah bentuk penggerusan dan pergeseran arah serta prioritas pendidikan. Pasalnya kampus PTN BH dengan hak kebebasan kerjasamanya memastikan kampus dimasuki oleh berbagai korporasi yang memiliki kepentingan dan tentu kampus menanggung konsekuensi. Misalnya mendirikan bangunan yang seharusnya tidak ada. Contohnya, bangunan restoran cepat saji, atau yang lain. Pihak swasta atau korporasi juga memberikan pengaruh keputusan yang dikeluarkan oleh pihak kampus. Dampaknya, tentu saja pihak swasta mempengaruhi kebijakan agar sesuai dengan motif ekonominya (duniadosen.com, 06/02/2023).
Maka dari itu, kampus kehilangan kemerdekaanya sebagai penyelenggara pendidikan yang seharusnya semata-mata berprioritas untuk melahirkan generasi pemimpin, bermartabat, berakhlak mulia, problem solver, berubah menyesuaikan kepentingan korporasi. Semakin lama arah pendidikan yang idealnya adalah untuk melahirkan manusia-manusia yang berakhlak mulia, peduli, cerdas dan siap berkontribusi untuk menyelesaikan masyarakat dan bangsanya, berubah menjadi sekedar pemuja materi, pragmatis, budak korporasi dan individualis.
Oleh sebab itu, menjadi kebutuhan bagi setiap masyarakat dan intelektual khususnya untuk memiliki standart yang jelas dalam mengukur kemajuan dan kualitas pendidikan. Pendidikan yang maju dan berkualitas bukan sekedar saat mampu memenuhi indikator-indikator atau kriteria yang ditetapkan oleh dunia Barat atau internasional, tetapi adalah saat mampu mempertahankan dan mewujudkan tujuan hakiki pendidikan yakni melahirkan generasi yang bermoral, kritis, peduli dan siap memimpin perubahan kepada kebaikan. Megahnya infrastuktur dan lengkapnya sarana prasarana memang bagian tanda kemajuan fasilitas pendidikan, tetapi akan tetap merupakan kemunduran jika output generasi yang dilahirkan adalah pemuja materi, pragmatis atau tidak peduli, budak korporasi, apalagi penyumbang berbagai penyimpangan.
Kurikulum kampus merdeka kini semakin nampak bagaimana loyalitasnya terhadap korporasi, melalui berbagai program-programnya seperti magang, wirausaha yang semakin memberi tekanan kepada mahasiswa bahwa mereka harus beradaptasi dengan kebutuhan pasar, bahwa sukses adalah jika memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini berhasil membajak potensi mahasiswa sebagai pemimpin-pemimpin perubahan akhirnya sekedar menjadi budak korporasi. Selain itu bagaimana fakta kondisi perubahan akhlak generasi selama dua tahun program MBKM dijalankan, nyatanya problema generasi tidak tersolusi dan bahkan penyimpangan, kemaksiatan semakin menjadi-jadi.
Berdasarkan hal itu, ini merupakan koreksi bersama atas ketepatan kurikulum yang ada, dan dari pemaparan di atas menunjukkan bahwa kita perlu melakukan evaluasi. Maka penting bagi masyarakat secara umum, intelektual khususnya untuk menyadari bahwa di masa lalu telah ada peradaban Islam yang telah terbukti mampu mewujudkan generasi gemilang melalui kurikulum hebatnya. Kurikulum Islam yang dibangun berlandaskan Islam, memiliki tujuan besar yakni membentuk kepribadian Islam dan unggul dalam ilmu sains dan teknologi serta menyiapkan generasi menjadi generasi pemimpin. Telah terbukti prestasi yang telah terukir seperi Ibnu Abbas sebagai penemu alat penerbangan pertama bagi manusia dan ilmuan-ilmuwan lain. Mereka tak hanya cerdas tapi juga solih. Inilah kurikulum yang seharusnya kita ambil dan laksanakan jika menginginkan pendidikan yang berkualitas dan maju yang sesungguhnya. []