Suksesi Kekuasaan Terindikasi Adanya Kecurangan, Bagaimana Cara Ideal Rakyat Mendelegasikan Kekuasaan di Tangannya Kepada Penguasa?



Oleh: Endah Sulistiowati, Tri Widodo _bukan_ Joko & A. M. Pamboedi


Pemilihan presiden telah berlangsung. Pasangan Prabowo-Gibran masih memimpin atas Anies-Imin, dan Ganjar-Mahfud dalam real Count Pilpres KPU, 17 Februari 2024, Sabtu (17/2/2024), hingga pukul 16.36 WIB. Update hasil real count Pilpres 2024 yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), terus berlangsung dan penghitungan sudah mencapai 65.59% atau 539.983 TPS dari 823.236 TPS. Pasangan Prabowo-Gibran masih memimpin di real count Pilpres 2024 dengan 48.546.385 suara atau 57.88%. Paslon nomor 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar masih setia menempel di penghitungan real count Pilpres 2024 dengan perolehan suara 20.563.486 atau 24.52%. Sementara itu  Ganjar Pranowo-Mahhfud MD yang merupakan paslon Capres-Cawapres nomor 03 masih ada di posisi buncit dengan perolehan suara 14.767.831 dengan presentase 17.87%.


Namun sayangnya, kabar tak sedap berupa kecurangan dan manipulasi senantiasa mengiringi pemilihan presiden. Mulai dari pendaftaran calon sampai akhir pencoblosan 14 Februari 2024 lalu. Bahkan ditengarai apa yang dilakukan presiden saat ini turut memberikan kabar tak sedap itu.


Organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Themis Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan lainnya menemukan indikasi kecurangan Pemilu 2024 pada setiap tahapan. Mulai dari penunjukan penjabat (Pj) Kepala Daerah, pencalonan hingga kampanye. Termasuk penyalahgunaan fasilitas negara, netralitas aparatur negara, dan politik uang.


Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Suksesi Kekuasaan Dalam Sistem Demokrasi Seringkali Terindikasi Adanya Kecurangan


Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luber dan Jurdil) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 2002. Pemilu digelar dengan tujuan untuk memilih para penyelenggara negara, yang kelak mengisi jabatan eksekutif dan anggota legislatif, meliputi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.


Dalam setiap tahapan pelaksanaan Pemilu, selalu terdapat peluang untuk terjadinya kecurangan, serta perbuatan melawan hukum lainya. Para pelaku kecurangan itu, bukan hanya dari peserta Pemilu, pasangan calon, tim kampanye, atau anggota masyarakat, tetapi juga dilakukan oleh penyelenggara Pemilu. Kecurangan pemilihan umum atau manipulasi pemilihan umum adalah intervensi (campur tangan) ilegal dalam proses pemilihan umum, entah dengan meningkatkan pembagian suara dari kandidat yang disukai, menurunkan pembagian suara dari kandidat lawan, atau keduanya. Penindakan kecurangan pemilu bervariasi dari negara ke negara.


Sudah menjadi rahasia umum bahwa terjadinya suatu pelanggaran tersebut, berangkat dari situasi dan kondisi yang mendorong bagi pelaku kecurangan dengan berbagai latar belakang yang menyertainya. Jauh sebelum pemilu dilaksanakan, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berpidato di acara Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat, pada 15 September 2022. SBY mengaku mendengar kabar ada tanda-tanda bahwa Pemilu 2024 akan diselenggarakan dengan tidak jujur dan adil. SBY mengatakan, karena adanya informasi tersebut, ia mesti turun gunung untuk menghadapi Pemilu 2024. (kompas.com, 19/9/2022).


Rahmat Bagja selaku Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memprediksi kecurangan dan pelanggaran pada tahun 2024 akan tetap ada dan tidak mungkin hilang (bawaslu.go.id, 29/9/2022). Bahkan sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa Pemilu dari waktu ke waktu tidak bisa lepas dari proses kecurangan.


Kecurangan pemilu selalu ada sejak era sebelum reformasi hingga pasca reformasi seperti saat ini. Perbedaanya terletak pada pelaku kecurangan pemilu.


Kalau jaman sebelum reformasi kecurangan bersifat vertikal terjadi antara pemerintah dan penyelenggara yakni Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPU) karena sudah dipastikan pemenangnya adalah Partai Golkar. Kalau saat ini kecurangan terjadi secara horizontal atau antar partai peserta pemilu (mediaindonesia.com, 24/6/2022).


Lebih lanjut Mahfud menuturkan, bentuk-bentuk kecurangan dalam pemilu yang saat ini perlu diantisipasi ialah kecurangan yang terjadi antar kontestan. Seperti jual beli suara, politik uang, pengubahan suara, pemalsuan tanda tangan. Kecurangan-kecurangan tersebut selalu terjadi baik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) hingga pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres). Oleh sebab itu, menurut Mahfud, pemilu dan kecurangan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Akan selalu ada tuduhan-tuduhan kecurangan yang disampaikan kepada penyelenggara pemilu dalam hal ini ialah Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga pengaduan ke Bawaslu (mediaindonesia.com, 24/6/2022).


Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menyebut potensi kecurangan saat pencoblosan hingga penghitungan surat suara pada Pemilu 2024 jauh lebih besar dari tahun 2019. Sekjen KIPP, Kaka Suminta, mencatat setidaknya ada tujuh bentuk kecurangan yang bakal terjadi di lapangan.


Mulai dari beli suara; kongkalikong mencoblos surat suara cadangan; mobilisasi pemilih yang mengklaim masuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK); indikasi kecurangan informasi teknologi Sirekap; intimidasi penyelenggara pemilu; menyuap petugas KPPS, PPS, dan PPK; potensi penggelembungan suara saat jeda istirahat.


Pejabat Uni Eropa, Riccardo Chelleri menyatakan bahwa saat ini adalah periode demokrasi yang buruk secara global. Resesi demokrasi tengah terjadi dalam lima tahun terakhir. Chellereri mengatakan, faktor yang mendorong apa yang disebutnya sebagai "resesi demokrasi" ini antara lain lemahnya perekonomian dan pengaruh negatif media sosial dalam menyebarkan teori konspirasi.


Poin akhir dari sub pembahasan ini adalah munculnya pertanyaan, mengapa kecurangan selalu terjadi pada setiap pemilu/suksesi kepemimpinan? Ada beberapa faktor penyebabnya, antara lain:


1. Perebutan kekuasaan


Memiliki kekuasaan adalah keinginan sekaligus menjadi godaan terbesar dalam diri manusia. Segala cara akan ditempuh untuk meraihnya.


Persaingan ini terjadi antara kandidat petahana dan non petahana. Petahana sendiri berasal dari kata "tahana", yang berarti kedudukan, kebesaran, atau kemuliaan, dalam politik, adalah istilah bagi pemegang suatu jabatan politik yang sedang menjabat.


Potensi melakukan kecurangan bisa muncul dari masing-masing pihak. Akan tetapi, potensi kecurangan petahana lebih besar atau dominan, salah satunya dengan menggunakan kewenangan yang masih dimilikinya. Beberapa diantaranya dengan mengubah-ubah peraturan tentang pelaksanaan suksesi hingga intervensi terhadap penyelenggara dan pelaksanaan suksesi.


2. Pengawasan dan penegakan hukum yang lemah


Ketika kelemahan dan ketidakseriusan menegakkan peraturan atau hukum oleh aparat penegak hukum suksesi tetap berlangsung, maka kecurangan dalam setiap suksesi akan berani dilakukan oleh para kandidat atau kontestan bahkan sampai dilakukan secara terang-terangan. Hal ini seperti diterangkan pada video Dirty Vote yang sempat viral pada awal masa tenang pemilu 2024 lalu.


3. Biaya politik yang mahal


Seperti diketahui bersama, perhelatan pemilu Indonesia memerlukan biaya yang besar bagi para kontestan untuk agenda kegiatan menarik simpati masyarakat pemilihnya atau kampanye. Di samping sistem proporsional terbuka yang digunakan.


Para kontestan berupaya untuk lolos atau terpilih sebagai presiden dan wakil ataupun anggota legislatif dengan segala cara dengan maksud dan tujuan mengembalikan 'modal' yang telah terpakai selama proses suksesi. Disinilah segala strategi dilakukannya, termasuk melakukan kecurangan


4. Masyarakat yang kurang peduli terhadap kondisi negaranya


Peran masyarakat sangatlah penting bagi pelaksanaan suksesi. Pengetahuan politik masyarakat yang cukup baik, adalah faktor penentu memilih pemimpin ataupun anggota legislatif yang bijak dan berkualitas.


Ketika masyarakat justru apatis, acuh tak acuh terhadap permasalahan negaranya, tentu praktek-praktek kecurangan dalam suksesi berpotensi senantiasa terjadi. Mereka juga akan cenderung mudah 'dibeli' suara atau hak pilihnya oleh para kandidat atau mungkin akan membiarkan praktek-praktek kecurangan terus terjadi dan enggan melaporkan pada APH suksesi.


Dampak-Dampak yang Ditimbulkan dari Suksesi Kekuasaan yang Terindikasi Adanya Kecurangan


Suksesi kekuasaan, dalam konteks politik, merujuk pada proses pergantian penguasa atau pemimpin dalam suatu pemerintahan. Pemilu, sebagai implementasi suksesi kekuasaan dalam sistem demokrasi, kini cenderung menjadi suatu komoditas bisnis yang menarik. Keberadaan berbagai tindakan kecurangan dan pelanggaran yang terjadi secara massif mencerminkan belum optimalnya penegakan hukum. Salah satu pelanggaran yang menarik perhatian publik adalah praktik korupsi kampanye yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Menurut Messerschmidt, praktik korupsi kampanye dapat diartikan sebagai tindakan kampanye yang menggunakan fasilitas maupun uang negara oleh calon dan penyelenggara negara yang mendukungnya yang tengah memegang kendali kekuasaan negara.


Dinamika korupsi pemilu bukanlah fenomena yang terbatas pada negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Praktek serupa juga terjadi di beberapa negara lain, contohnya kasus donasi jutaan dolar dari pengusaha Indonesia James Riady kepada tim sukses Bill Clinton dalam Pemilihan Presiden Amerika 1996, atau dugaan kecurangan dalam Pemilihan Presiden Amerika 2004 yang melibatkan Sekretaris Partai Republik di Negara Bagian Florida dan Fox News Chanel. Kasus-kasus semacam ini menggambarkan cakupan korupsi pemilu, yang mencakup malapraktik, kecurangan, dan manipulasi.


Dampak korupsi pemilu sangatlah beragam. Politisi yang terpilih melalui cara korupsi kemungkinan besar akan melanjutkan praktik korupsi ketika sudah berkuasa. Ini disebut sebagai Investive Corruption, di mana politisi terpilih lebih memprioritaskan kepentingan para donatur daripada rakyat, memberikan keistimewaan seperti proteksi dan imbalan proyek-proyek yang didanai oleh anggaran negara. Akibatnya, pemerintahan yang terbentuk kurang representatif dan akuntabel karena politisi terpilih tidak memprioritaskan kepentingan rakyat. Selain itu, kepercayaan masyarakat terhadap mereka pun rendah. Korupsi pemilu juga dapat mendorong korupsi di sektor-sektor lain.


Masalah lain yang sering muncul dalam pemilu adalah politik uang, di mana keterlibatan uang untuk memenangkan kekuasaan politik dapat memiliki dampak negatif yang signifikan. Politik uang melibatkan upaya menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar pemilih memberikan suaranya kepada pelaku suap.


Praktik politik uang ini dapat memunculkan fenomena klientelisme dan patronase. Klientelisme terjadi ketika terdapat pertukaran yang bersifat personal dan tidak seimbang antara pemilih dengan pihak yang memberi suap. Dalam pola hubungan ini, pihak yang memberi suap, yang disebut patron, menyediakan akses tertentu kepada pemilih, yang disebut klien, seperti berbagai fasilitas atau bantuan. Oleh karena itu, terbentuklah hubungan saling menguntungkan. Selanjutnya, politik uang juga dianggap sebagai praktik yang dapat menciptakan korupsi politik. Politik uang sering kali dianggap sebagai akar dari korupsi, dan ini menjadi masalah utama yang sering terjadi di Indonesia.


Tentu saja, politik uang memiliki dampak negatif pada pemilu di Indonesia. Selain mempengaruhi kesadaran pemilih, persaingan antar kandidat atau partai politik dapat menjadi tidak sehat. Partai politik yang memiliki banyak uang memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan pemilu. Secara luas, politik uang dapat memicu korupsi sebelum dan setelah pemilihan, karena politisi dapat menggunakan uang untuk mengembalikan modal atau membalas jasa para penyumbang atau donatur. Politik uang juga dapat menyebabkan pemborosan dana kampanye karena tidak selalu efektif dalam meningkatkan dukungan, karena pemilih tidak selalu mengenali partai atau kandidat yang membagikan uang selama kampanye atau tahapan pemilu lainnya.


Sebagai konsekuensinya, masyarakat tidak memiliki hak untuk marah jika penguasa melakukan tindakan korupsi atau menyalahgunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya. Klientelisme yang timbul akibat politik uang membuat hubungan antara masyarakat dengan penguasa menjadi tidak seimbang dan tidak adil, menjadikan masyarakat tidak berdaya di hadapan penguasa. Ketidakseimbangan ini cenderung dipertahankan karena menguntungkan penguasa dan merugikan masyarakat. Dengan adanya klientelisme, kepentingan publik menjadi tidak relevan karena kekuasaan cenderung menjadi hal pribadi.


Ketika suksesi kekuasaan terindikasi adanya kecurangan, dampak negatif dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat dan stabilitas politik. Berikut adalah beberapa dampak yang mungkin muncul dalam situasi seperti ini:


1. Hilangnya Legitimasi Pemerintahan


Suksesi kekuasaan yang diduga curang dapat merusak legitimasi pemerintahan. Kekhawatiran akan keabsahan dan keadilan pemerintahan dapat mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga pemerintahan dan sistem politik secara keseluruhan. Ketidakpercayaan publik terhadap proses suksesi kekuasaan atau aturan hukumnya dapat menyebabkan hilangnya legitimasi penguasa yang baru, yang pada gilirannya dapat mengancam stabilitas politik.


2. Polarisasi Sosial dan Peningkatan Ketegangan Sosial


Kecurangan dalam suksesi kekuasaan dapat memperdalam polarisasi sosial dalam masyarakat. Konflik antar kelompok yang berbeda dapat memanas sebagai akibat dari perasaan ketidakpuasan dan ketidakadilan. Ketidakpuasan dan ketidaksetujuan terhadap hasil suksesi yang terindikasi kecurangan dapat menciptakan ketegangan sosial. Demonstrasi, protes, atau bahkan kerusuhan masyarakat bisa terjadi sebagai respons terhadap perasaan ketidakadilan.


3. Melemahnya Kepercayaan Publik


Kepercayaan publik terhadap integritas dan transparansi proses politik dapat tergerus. Kepercayaan pada lembaga-lembaga pemerintahan dan sistem demokrasi dapat menurun, menciptakan ketidakstabilan dan kerugian dalam keberlanjutan pemerintahan.


4. Merugikan Pembangunan dan Ekonomi


Suksesi yang terindikasi kecurangan dapat menghambat kebijakan pembangunan dan reformasi ekonomi yang diperlukan. Investasi asing dan domestik mungkin menurun karena ketidakpastian politik, merugikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.


5. Kehilangan Kepercayaan Internasional


Komunitas internasional dapat merespon negatif terhadap suksesi kekuasaan yang diduga curang. Negara yang mengalami situasi ini mungkin menghadapi sanksi internasional, kehilangan dukungan luar negeri, dan penurunan citra di mata komunitas internasional.


6. Penghambatan Partisipasi Politik


Masyarakat yang merasa bahwa proses politik tidak adil atau curang mungkin menjadi apatis terhadap partisipasi politik. Ini dapat menyebabkan penurunan minat dalam pemilihan umum.


Strategi Islam Dalam Melakukan Suksesi Kekuasaan Supaya Meminimalkan Adanya Kecurangan


Tidak dipungkiri, tingginya potensi konflik dalam pemilu saat ini, menguatkan kesimpulan bahwa sistem pemilu demokrasi penuh dengan intrik, penipuan, kecurangan, dan kebohongan. Menghalalkan segala cara, asal bisa menang. Hingga menabrak rambu-rambu hukum menjadi keniscayaan. Benar-benar tidak tahu malu.


Wajah dunia perpolitikan negeri kita hari ini seharusnya memberi pelajaran agar masyarakat bisa meluaskan wawasan untuk menghadirkan sistem politik komparatif. Jika kontestasi politik masih bertahan pada sistem hari ini, rakyat hanya akan menjadi tikar tempat bersila para penguasa.


Alih-alih memperjuangkan rakyat, politik hari ini lebih diwarnai dengan upaya penyelamatan kepentingan oligarki dan melanggengkan politik dinasti. Sistem politik seperti ini tidak akan melahirkan sosok negarawan sejati. Bahkan, sistem ini memberikan ruang bagi mereka yang tidak kapabel dalam mengurusi urusan rakyat.


Rakyat dibutuhkan hanya jelang pemilu, setelah itu rakyat dibiarkan menentukan nasibnya sendiri. Rakyat jelas hanya dijadikan sebagai alat untuk mengantarkan pada tampuk kekuasaan. Bahkan sebelum pemilu dilaksanakan, pemenangnya belum diumumkan, tapi publik sudah menduga siapa yang bakal jago presidennya.


Sungguh, publik tidak bisa berpura-pura buta untuk mengingkari fakta-fakta ini. Memilih bertahan hanya akan membawa pada kemerosotan yang kian jauh. Suara rakyat tidak boleh tersandera kepentingan politisi. Publik harus bersuara. Termasuk, menghadirkan Islam sebagai alternatif di tengah kompetisi kepentingan politik yang sama sekali tidka berpihak pada rakyat. Lantas, bagaimana watak politik dalam Islam?


Rasulullah Saw. bersabda: “Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia. Pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan. Amanah diberikan kepada pengkhianat. Orang yang jujur dikhianati, dan ruwaibidhah turut berbicara.” Lalu beliau ditanya, “Apakah al-ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab,“Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum” (HR Ibnu Majah).


Politik dalam Islam sejatinya bermakna pengurusan urusan umat. Politik (siyasa) berasal dari kata saasa - yasuusu - siyaasatan yang bermakna “mengurus. ”Politik Islam tegak atas dasar akidah Islam. Dengan kata lain, politik Islam hakikatnya adalah pengurusan urusan rakyat berdasarkan prinsip syariat. Inilah landasan bagi etika politik dalam Islam.


Negara adalah institusi pelaksana yang mengurusi urusan umat. Sedangkan partai politik adalah institusi pemikiran (qiyan fikr) yang bertugas melakukan pembinaan dengan tujuan untuk mendidik dan membina kader, serta menghasilkan SDM unggul kualitas negarawan.  Selain itu, parpol berperan dalam menciptakan atmosfer politik di tengah-tengah masyarakat. Tujuannya agar masyarakat memiliki pemahaman, standarisasi dan keyakinan yang sama dalam kehidupan bernegara. Melalui aktivitas ini, tercipta atmosfer muhasabah kepada penguasa, sebagai perwujudan dari aktivitas amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat.


Dari gambaran praktik politik ini kita dapat menyimpulkan bahwa, tidak ada kepentingan yang parpol perjuangkan selain kemaslahatan umat. Tidak ada kepentingan yang parpol perjuangkan selain merealisasikan standar-standar syariat dalam mewujudkan kemaslahatan umat.


Selain itu, sistem Islam akan mewujudkan para pemimpin yang amanah, karena Islam memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang terbaik. Asas pemilihan pemimpin dalam Islam adalah akidah Islam. Akidah ini akan menuntun perilaku politik para politisi sehingga sesuai syariat dan tidak menghalalkan segala cara.


Para politisi dalam Islam sadar bahwa setiap tingkah lakunya dalam politik akan ia pertanggung jawabkan, bukan semata pada manusia, tetapi pada Allah Swt.. Itulah sebabnya, politisi dalam sistem Islam akan memiliki profil jujur, bertakwa, dan hati-hati (warak) dalam melakukan segala sesuatu. Mereka tidak akan berbohong dan melakukan fitnah terhadap lawan politiknya.


Jabatan adalah amanah. Dengan dasar akidah yang kuat, maka para pemimpin akan memahami apa yang harus dilakukan. Pemimpin akan ditanya tentang amanah kepemimpinan yang ada padanya, apakah digunakan dengan benar ataukah tidak. Islam melarang seorang pemimpin mengkhianati amanah yang dia emban.


Allah Swt. berfirman,


ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ù„َا تَØ®ُونُوا اللَّÙ‡َ Ùˆَالرَّسُولَ ÙˆَتَØ®ُونُوا Ø£َÙ…َانَاتِÙƒُÙ…ْ ÙˆَØ£َÙ†ْتُÙ…ْ تَعْÙ„َÙ…ُونَ


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal: 27).


Dengan kesadaran politik yang ada pada masing-masing individu disertai kokohnya aqidah. Tentu saja akan membawa iklim positif terhadap perpolitikan termasuk pemilihan pemimpin. Kecurangan, penipuan, menghalalkan segala cara, tentu tidak akan terjadi lagi. Karena masing-masing individu sangat paham bagaimana hak dan kewajibannya. Jangan lupa, pemilu hanya uslub saja. Bisa dipakai bisa tidak. Wallahu'alam.




#LamRas

#LamRad

#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


===***===


Referensi: Berbagai berita dan artikel online. 

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama