Oleh : VieDihardjo (Pemerhati remaja & Ketua Komunitas Ibu Hebat)
Tiga pemuda berinisial LCH, MRF dan MAF ditangkap Satreskrim Polresta Bogor Kota karena menganiaya dan membewa kabur motor milik seorang pemuda di Bogor Selatan. Korban dianiaya karena memelototi dan berkata kasar pada para pelaku (detiknews.com 21/2/2024). Kasus pemuda “sumbu pendek” juga terjadi pada peristiwa penganiayaan hingga tewas yang melibatkan anak ketua DPRD Ambon, Elly Toisuta yaitu Abdi Toisuta, 25 tahun dan seorang remaja berinisial RRS, 15 tahun. Abdi diduga kalap dan tega menganiaya RRS karena bersenggolan dengan motor korban(detikSulsel 02/08/2023)
Fenomena pemuda “sumbu pendek” semakin banyak. Pemuda yang sangat mudah terpancing emosinya bahkan hanya karena hal-hal sepele. Bukan hanya reaktif yang berujung penganiayaan atau hilangnya nyawa seseorang, makna “sumbu pendek” juga dikaitkan dengan penggunaan media sosial. Netizen yang sangat mudah terprovokasi dan menyebarkan berita-berita bohong tanpa terlebih dahulu melakukan klarifikasi terhadap berita yang diterima. Penyebab munculnya pemuda “bersumbu pendek” adalah kurangnya kemampuan literasi dan kurangnya kemampuan critical thinking. Tingkat literasi masyarakat Indonesia cukup rendah. Staf ahli Kemendagri, Suhajar Diantoro, pada rapat koordinasi nasional bidang perpustakaan tahun 2021 mengatakan, penelitian tingkat literasi pada 70 negara, Indonesia menempati ranking 62.
Rendahnya tingkat literasi membuat seseorang mudah terpancing atau terprovokasi oleh sebuah berita yang belum tentu kebenarannya lalu mengambil tindakan sesuai informasi yang diperolehnya. Jika dikaitkan dengan maraknya media sosial maka kurangnya literasi menyebabkan para pengguna media sosial, diantaranya adalah pemuda mudah share berita- berita hoaks tanpa melakukan kroscek atau membaca secara utuh berita tersebut, hanya membaca judul langsung share.
Faktor lain munculnya pemuda ber”sumbu pendek” adalah kurangnya kemampuan critical thinking (berfikir kritis). Berfikir kritis adalah kemampuan untuk memverifikasi, menganalisa sebelum memberikan respon. Rendahnya kemampuan berfikir kritis akan berdampak pada respon yang diberikan, tepat atau tidak tepat. Hilangnya kemampuan berfikir kritis pada seorang pemuda berpotensi munculnya respon yang merusak seperti membalas, membully, menganiaya bahkan membunuh.
Rendahnya kemampuan literasi dan critical thinking (berfikir kritis) sangat dipengaruhi oleh sistem kehidupan yang digunakan saat ini yakni sekulerisme, memisahkan agama dari kehidupan. Manusia merancang sistem pendidikan sesuai dengan ide sekuler yakni asas manfaat. Output dari pendidikan yang dilandasi asas manfaat adalah tenaga kerja (pemuda) siap pakai untuk industri-industri yang dimiliki oleh para pemilik modal (kapitalis). Kemampuan mempertanyakan, menganalisa, memverifikasi dan merumuskan solusi tidak terasah sehingga muncullah pemuda ber”sumbu pendek”
Agar Pemuda Tak Ber”sumbu”Pendek
Saat islam menjadi sistem yang mengatur dunia, pemuda- pemuda yang tumbuh masa itu adalah pemuda- pemuda pemberani, memiliki cita-cita tinggi dan memiliki pemikiran yang cemerlang. Diantara sahabat-sahabat muda Rasulullah itu adalah Al Arqam bin Abi Al Arqam, 16 tahun. Sahabat Nabi yang berani menjadikan rumahnya sebagai tempat Rasulullah membina 40 sahabat yang awal masuk Islam. Thalhah bin Ubaidillah, 16 tahun.
Sahabat Nabi yang awal masuk Islam di usia remaja melindungi Nabi di perang Uhud hingga jarinya putus terkena panah musuh. Thalhah juga salah satu sahabat yang menjadi kandidat Khalifah pengganti Umar bin Khattab. Sa’ad bin Abi Waqqash, 17 tahun. Sahabat Nabi yang awal masuk islam di usia remaja. Sa’ad juga salah satu yang menjadi kandidat Khalifah pengganti Umar bin Khattab. Zubair bin Awwam, 15 tahun. Sahabat Nabi pertama yang menghunuskan pedangnya di jalan Allah dan termasuk salah satu kandidat yang dicalonkan sebagai pengganti Khalifah Umar bin Khattab. Usamah bin Zaid, 18 tahun. Sahabat Nabi yang diangkat Nabi sebagai pemimpin pasukan sebelum Nabi wafat. Pasukan itu akan berhadapan dengan pasukan Romawi yang terkenal paling kuat di bumi saat itu.
Zaid bin Tsabit, 13 tahun. Sahabat Nabi yang dikenal sebagai ahli Taurat. Zaid menguasai bahasa Ibrani dan Syria dan menjadi penerjemah Nabi. Zaid berperan dalam pengumpulan nash-nash qur’an dalam masa khalifah Abu Bakar As Shiddiq ra. Mu’adz ibn Amr ibn Jamuh, 13 tahun dan Mu’awwadh ibn Afraa, 14 tahun. Sahabat Nabi yang berhasil membunuh Abu Jahal (Amr ibn Hisyam) yang berusaha menyakiti Nabi dan para sahabat dalam perang Badar. Muhammad bin Qasim Al Thaqafi, 17 tahun. Sahabat Nabi yang membawa islam hingga ke daerah Sindh dan Multan (sekarang adalah wilayah di Pakistan) pada masa Umayyah. Muhammad bin Qasim adalah pemimpin militer terbesar di masanya.
Sistem Islam telah membuktikan lahirnya pemuda-pemuda pemberani, bervisi akhirat dan calon-calon pemimpin masa depan, tidak akan muncul generasi baper apalagi ber”sumbu pendek”. Sistem Islam didukung oleh 3 pilar. Pertama adalah keluarga. Keluarga terutama ibu adalah ummu madrasatul’ula, tempat pertama menanamkan aqidah pada anak. Mengenalkan dan mengasah visi hidup manusia untuk taat kepada aturan Allah. Orang tua yang mengkaji Islam secara menyeluruh (kaffah) akan menularkan pada anak-anak. Sehingga anak-anak memiliki standar islam dalam melakukan aktivitas mereka. Tujuan setiap aktivitas adalah meraih ridho Allah. Dengan mindset seperti ini maka tidak akan muncul anak-anak yang berfikir pendek, ngegas, reaktif, akan tetapi anak-anak yang sholih.
Pilar kedua adalah masyarakat. Peran masyarakat sebagai kontrol sosial sangat penting mencegah munculnya anak (pemuda) yang “sumbu pendek” melalui amar ma’ruf nahi mungkar. Aktivitas saling menasehati, mendorong berbuat baik dan mencegah melakukan keburukan dalam bingkai ketaatan kepada aturan-aturan Allah. Allah berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Amar ma’ruf nahi mungkar akan menciptakan lingkungan yang penuh keshalihan dengan mengutamakan adab yang mulia dalam segala aspek aktivitas manusia. Jika aktivitas ini berjalan dengan baik maka anak (pemuda)”sumbu pendek” tidak akan muncul
Pilar ketiga adalah negara. Negara menyempurnakan dua upaya sebelumnya dengan membuat kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan yang berbasis pada aqidah islam akan mencetak generasi yang berpola pikir dan berpola sikap islami. Aqidah islam mewajibkan untuk melakukan Tabayyun dalam merespon sebuah peristiwa. Allah berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
” Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (Qs. Al Hujurat ayat 6)
Kemampuan peserta didik untuk bertabayyun (melakukan verifikasi) akan terasah karena ada dalam tsaqofah islam yang dipelajari di lembaga pendidikan (sekolah).
Maka mencegah munculnya pemuda-pemuda “sumbu pendek” bisa dilakukan dengan mengganti sistem hidup jelek yaitu sekularisme, memisahkan agama dari kehidupan dengan sistem islam agar lahir pemuda-pemuda pemberani, bercita-cita tinggi, bervisi akhirat dan calon-calon pemimpin masa depan yang menjadikan islam sebagai standar dalam pola pikir dan pola sikapnya. Penerapan sistem islam secara menyeluruh hanya bisa dilakukan dalam Khilafah’ala min hajin nubuwwah.
Wallahu’alam bisshowab