Endah Sulistiowati (Dir. Muslimah Voice)
Operasional Bandara Internasional Dhoho Kediri jadi salah satu proyek infrastruktur yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Kediri dan daerah Mataraman. Sebab, kebaradaan Bandara Internasional Dhoho Kedir digadang-gadang mampu mendongkrak sektor perekonomian dan pariwisata di wilayah Kabupaten Kediri dan sekitarnya.
Terkait waktu pembukaan penerbangan komersial Bandara Dhoho, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Jawa Timur Nyono, buka suara. Dilansir Radar Surabaya (JawaPos Grup), Rabu (6/3), Nyono memastikan, Bandara Dhoho Kediri akan mulai dioperasikan antara bulan Maret atau April 2024 mendatang.
Kepastian itu diungkapkannya usai Bandara Dhoho Kediri mendapatkan izin operasional dari Dirjen Kementerian Perhubungan Lalu Lintas Udara beberapa waktu lalu.
"Maret dan April ini akan dilakukan komisioning dari Dirjen lalu lintas udara. Kami pastikan sebelum lebaran sudah mulai operasional Bandara Kediri sehingga bisa digunakan untuk mudik lebaran," katanya.
Tentang Bandara Internasional Dhoho Kediri
Bandara Internasional Dhoho Kediri ini memakan anggaran yang fantastis, yaitu Rp10,8 triliun. Dana pembangunan bersumber dari PT Gudang Garam Tbk. Perusahaan ini merupakan industri rokok terbesar di Kota Kediri, Jawa Timur.
Pembangunan Bandara Internasional Dhoho Kediri dilakukan dengan menggunakan skema kerja sama pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) sesuai dengan Perpres Nomor 38 Tahun 2015 dan Permenhub Nomor 58 Tahun 2018.
Masing-masing perusahaan memiliki peran dan tanggung jawab yang telah disepakati bersama. Angkasa Pura Airports memiliki peran untuk mengoperasikan bandara, sedangkan PT SDHI selaku Badan Usaha Pelaksana (BUP) sekaligus pemilik aset berperan untuk mengelola Bandara.
Pembangunan Bandara Internasional Dhoho Kediri tersebut dipandang sebagai bentuk untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di wilayah Kediri dan sekitarnya. Namun, meninjau dari penginisiasi, investornya, serta pengelolanya, yakin hal tersebut untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat?
Faktanya, saat ini untuk menunjang operasional Bandara Internasional perlu pembangunan jalan dan tol Kediri - Kertosono dan Kediri Tulungagung masih belum menemui titik temu dalam pembebasan lahan. Bahkan di sini justru rakyat yang dipaksa berkorban untuk pembangunan Bandara yang belum tentu bisa dinikmati oleh semua kalangan.
Pembangunan Dalam Islam
Hal ini berkebalikan dengan realitas pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam, yakni Khilafah. Islam menggariskan bahwa tugas penguasa adalah menjadi raa’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) urusan rakyat. Oleh karenanya, tujuan pembangunan dalam Khilafah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, bukan kemaslahatan segelintir pihak.
Khilafah akan melakukan pengkajian terkait infrastruktur yang rakyat butuhkan termasuk Bandara. Khalifah akan menerjunkan para ahli untuk membaca kebutuhan infrastruktur bagi rakyat dan membuat skala prioritas dari sisi kedaruratan, mendesak, dan penting. Sebelum melakukan pembangunan infrastruktur, Khalifah dan aparat di bawahnya akan melakukan pengkajian dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, lingkungan, geografi, dll. untuk memastikan bahwa pembangunan tidak berdampak negatif.
Pada aspek pembiayaan, negara akan independen dalam membangun infrastruktur karena sumber pendanaan murni dari baitul mal, bukan dari utang atau investasi swasta. Adapun individu rakyat bisa saja memberikan dukungan dalam pembangunan, tetapi bukan melalui skema investasi, melainkan wakaf tanpa kompensasi apa pun. Dengan demikian, pembangunan tidak didominasi swasta, melainkan tetap menjadi proyek negara yang ditujukan pada kesejahteraan rakyat.[]
Bandara Internasional Dhoho Kediri ini memakan anggaran yang fantastis, yaitu Rp10,8 triliun. Dana pembangunan bersumber dari PT Gudang Garam Tbk. Perusahaan ini merupakan industri rokok terbesar di Kota Kediri, Jawa Timur.
Pembangunan Bandara Internasional Dhoho Kediri dilakukan dengan menggunakan skema kerja sama pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) sesuai dengan Perpres Nomor 38 Tahun 2015 dan Permenhub Nomor 58 Tahun 2018.
Masing-masing perusahaan memiliki peran dan tanggung jawab yang telah disepakati bersama. Angkasa Pura Airports memiliki peran untuk mengoperasikan bandara, sedangkan PT SDHI selaku Badan Usaha Pelaksana (BUP) sekaligus pemilik aset berperan untuk mengelola Bandara.
Pembangunan Bandara Internasional Dhoho Kediri tersebut dipandang sebagai bentuk untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di wilayah Kediri dan sekitarnya. Namun, meninjau dari penginisiasi, investornya, serta pengelolanya, yakin hal tersebut untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat?
Faktanya, saat ini untuk menunjang operasional Bandara Internasional perlu pembangunan jalan dan tol Kediri - Kertosono dan Kediri Tulungagung masih belum menemui titik temu dalam pembebasan lahan. Bahkan di sini justru rakyat yang dipaksa berkorban untuk pembangunan Bandara yang belum tentu bisa dinikmati oleh semua kalangan.
Pembangunan Dalam Islam
Hal ini berkebalikan dengan realitas pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam, yakni Khilafah. Islam menggariskan bahwa tugas penguasa adalah menjadi raa’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) urusan rakyat. Oleh karenanya, tujuan pembangunan dalam Khilafah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, bukan kemaslahatan segelintir pihak.
Khilafah akan melakukan pengkajian terkait infrastruktur yang rakyat butuhkan termasuk Bandara. Khalifah akan menerjunkan para ahli untuk membaca kebutuhan infrastruktur bagi rakyat dan membuat skala prioritas dari sisi kedaruratan, mendesak, dan penting. Sebelum melakukan pembangunan infrastruktur, Khalifah dan aparat di bawahnya akan melakukan pengkajian dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, lingkungan, geografi, dll. untuk memastikan bahwa pembangunan tidak berdampak negatif.
Pada aspek pembiayaan, negara akan independen dalam membangun infrastruktur karena sumber pendanaan murni dari baitul mal, bukan dari utang atau investasi swasta. Adapun individu rakyat bisa saja memberikan dukungan dalam pembangunan, tetapi bukan melalui skema investasi, melainkan wakaf tanpa kompensasi apa pun. Dengan demikian, pembangunan tidak didominasi swasta, melainkan tetap menjadi proyek negara yang ditujukan pada kesejahteraan rakyat.[]