Oleh Ramsa
Indonesia memiliki potensi kekuatan yang besar, yakni keberadaan remaja dengan jumlah yang sangat besar. Harusnya kondisi ini jadi penguat bangsa dan peluang emas menyiapkan aset emas untuk kemakmuran bangsa. Maka selayaknya remaja dididik dengan pendidikan yang mumpuni agar siap memimpin negara di masa mendatang.
Lalu apa jadinya jika remaja justru menghabiskan waktunya dengan nonton film por*o, main game online, terlibat asmara, atau punya hubungan tanpa status? Apa jadinya jika remaja hanya terlibat judi online, mabuk-mabukan hingga pembunuhan? Tak bisa dibayangkan apa jadinya kelak saat remaja seperti ini yang memimpin bangsa sebesar ini.
Miris, menyaksikan dan mendengar kabar seorang pemuda yang masih belia bahkan belum genap 17 tahun sudah jadi pelaku pembunuhan. Tidak remeh, pembunuhan yang dilakukan pelaku langsung menghabisi lima nyawa sekaligus. Nauzubillah min dzalik. Alasan yang diungkapkan oleh pelaku dan kepolisian yaitu kisah asmara yang bertepuk sebelah tangan. Masya Allah.
Pelaku yang masih berseragam putih abu-abu ini memang raja tega, padahal korban adalah tetangganya sendiri. Pelaku tak gentar membunuh kelima tetangganya setelah dirinya mabuk dan mudah saja menghabisi korban satu keluarga. Kejadian ini berlangsung di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu kota Penajam Paser Utara, karena persoalan asmara dan dendam pelaku terhadap korban. Sebagaimana dikutip dari Repubilka.co.id (8/2/2024).
Ada Apa dengan Remaja?
Tentu saja akan muncul tanda tanya besar di benak kita, mengapa remaja begitu mudah melakukan tindakan biadab dan kriminal? Mengapa penghilangan nyawa yang dianggap jadi solusi atas masalah asmara atau masalah lainnya? Sudah tak adakah nurani? Di mana akal sehat di simpan? Tiadakkah lagi filter yang menyaring benar dan salah, baik dan buruk? Inilah buah pendidikan sekuler, pendidikan yang hanya mengejar angka dan prestasi dunia, minim iman dan takwa. Maka kerap terjadi anak "cerdas" tapi sumbu pendek. Atau pendek akal, masalah diselesaikan hanya dengan kekerasan. Tak ada lagi dialog atau diskusi yang jadi pemecah persoalan.
Pendidikan sekuler yang diterapkan di Indonesia hari ini jauh dari nilai-nilai agama. Nilai moral hanya sekedar formalitas. Tak dijaga agar diamalkan secara sadar dalam semua sisi kehidupan. Ketika anak diminta hadapi masalah dengan kepala dingin, anak cenderung melakukan tindakan fisik, bullying atau bahkan adu jotos. Seolah solusi perdamaian tak tertulis dalam kamus dunia remaja. Miris memang.
Pendidikan Berbasis Akidah Islam Solusi Rusaknya Remaja
Remaja makin sadis butuh diberi solusi. Salah satu hal yang bisa dilakukan yaitu mulai dari sistem pendidikan. Pendidikan mesti diberikan sesuai umurnya. Pendidikan yang mendidik dan menyadarkan seorang anak bahwa dirinya adalah milik Allah. Dia akan mempertanggungjawabkan segala tindakan dan perbuatannya selama di dunia.
Pendidikan yang menanamkan rasa takut dan taat sejak dini kepada Allah. Pendidikan berbasis akidah Islam yang mendidik umat agar semakin kenal Tuhannya dan tidak mengandalkan emosi ketika menghadapi permasalahan. Di samping itu jika terjadi masalah kriminal maka remaja pun akan dikenai sanksi yang berat. Sanksi sesuai kejahatannya. Karena remaja sudah terkategori mukalaf (sudah terbebani hukum syara) maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana orang dewasa. Yaitu pelaku pembunuhan bisa dijatuhi hukuman mati, jika keluarga yang dibunuh tidak memberi pemaafan.
Pendidikan yang berbasis akidah Islam artinya pola pendidikan yang semua pelajaran berdasarkan akidah Islam atau diilhami oleh nilai akidah Islam dan nyambung dengan perbuatan manusia. Pendidikan model ini akan mampu membina peserta didik sehingga memiliki kepribadian Islam yang unik. Yaitu memiliki pola sikap dan perilaku yang sesuai syariat Islam. Tidak mudah ikut-ikutan. Tidak akan mudah meminum minum keras atau mabuk-mabukan, karena tahu semua itu perbuatan yang Allah larang. Sehingga akan terwujud generasi yang kuat memegang nilai dan prinsip Islam. Generasi Islam yang bersegera dalam ketaatan, menjauhi maksiat karena mengharapkan surga-Nya Allah yang sangat luas dan indah.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-'Imran ayat 133,
وَسَارِعُوٓا إِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Artinya:
Dan bersegera lah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
Negara Pilar Pendukung Kokohnya Kepribadian Remaja
Tentu saja pendidikan yang berbasis akidah dan bermutu tinggi tak akan tegak jika tidak ditopang oleh negara. Negara lah yang memiliki peran penting dan utama dalam menyukseskan pendidikan bagi generasi. Pemerintah atau aparat negara dengan aturan yang diterapkan akan memastikan kurikulum yang dipakai hanya berbasis akidah Islam. Guru yang mengajar juga mestilah berakidah Islam dan berkepribadian Islam, sehingga mudah menanamkan akidah kepada anak didiknya. Semuanya akan bekerja sama agar output pendidikan terlihat nyata berkualitas dan bertakwa. Yakni mewujudnya generasi cerdas, taat pada Allah, tangguh menghadapi masalah dan menjadi bagian dari solusi permasalahan umat. Bukan generasi lemah dan sumbu pendek atau generasi latah yang miskin iman.
Generasi Emas Pendidikan Islam
Dibutuhkan sosok atau tokoh-tokoh teladan bagi generasi umat ini. Sosok atau tokoh yang sejak remaja sudah mampu jadi teladan kebaikan dan kepemimpinan. Dalam sejarah Islam kita telah jumpai berbagai nama yang harum dan luar biasa sejak remaja. Sebut saja Usamah bin Zaid di usia 18 tahun yang mampu diandalkan Rasulullah memimpin perang melawan imperium Romawi. Atau sosok Zaid bin Tsabit sang penulis handal bagi Rasulullah. Sejak usia sebelas tahun sudah menulis wahyu bagi baginda Nabi.
Sistem pendidikan berbasis akidah akan tegak jika sistem pemerintahan Islam yang menerapkan semua aturan berdasar Al-Qur'an dan Sunnah dipakai oleh negara. Untuk itu sangat dibutuhkan negara penerap syariat Islam kaffah agar masalah remaja dan masalah umat secara keseluruhan bisa diatasi sesuai syariat. Karena inilah solusi kritis atas segala masalah umat hari ini. Tak maukah kita memiliki generasi sehebat Usamah bin Zaid atau Zaid bin Tsabit yang mampu menghafal berbagai bahasa asing kurang dari lima bulan? []