Memahami Keistimewaan Rajab: Umat Islam Harus Sami'na wa Atho'na



Oleh: Endah Sulistiowati, Tri Widodo _bukan_ Joko & A. M. Pamboedi


Bulan Rajab bertindak sebagai pembuka dan tahap persiapan bagi umat Islam untuk menyambut dua bulan mulia berikutnya, yaitu Sya'ban dan Ramadhan, yang juga sangat dihormati. Hal ini membuat penting bagi umat Islam untuk meningkatkan semangat dalam melakukan ketaatan dan kebaikan sebagai persiapan memasuki dua bulan tersebut. Sehingga bulan Rajab menjadi momentum khusus untuk berbenah diri dan meningkatkan amalan spiritual menjelang Sya'ban dan Ramadhan.


Sehingga ketika memasuki bulan Rajab, ada doa yang dipanjatkan:


اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ


Artinya: "Ya Allah, berkahi kami di bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikan kami di bulan Ramadhan."


Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:


رَجَبٌ شَهْرُ الله وَشَعَبَانُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ


"Rajab adalah bulannya Allah, Sya'ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulannya umatku. (Jami'ul Ahadits, hadits nomor: 12682).


Pun diketahui bersama, setiap bulan Rajab kaum Muslim selalu memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj, yaitu diperjalankannya Nabi SAW pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha kemudian naik ke Sidratul Muntaha.


Maksudnya, selain menegaskan kenabian beliau SAW sekaligus kepemimpinan di atas para nabi dan rasul, peristiwa ini juga mengingatkan kita kepada Sahabat Abu Bakar ra, yang oleh Ustadz Ismail Yusanto (UIY) sampaikan, tak perlu menimbang-nimbang lagi untuk sekadar mengimani kabar dari Rasulullah SAW tentang Isra’ Mi’raj. Maknanya, ini adalah perkara keimanan, tentang sami'na wa atho'na. Untuk itulah perlu kita bahas lebih lanjut, agar keimanan kita semakin kuat kokoh, dimulai dengan memahami makna keistimewaan bulan Rajab.


Rajab, Salah Satu Bulan Haram Yang Istimewa Bagi Umat Islam


Tidak terasa kita telah memasuki pertengahan bulan Rajab di tahun 1445H ini. Entah disadari atau tidak, perjalanan hidup serasa semakin cepat.


Tiba-tiba saja kita bertambah tua. Tiba-tiba saja kita menapaki kembali bulan Rajab. Tiba-tiba saja kita akan menghadapi bulan Sya’ban lalu bulan suci Ramadhan.


Sejatinya, tidak ada istilah “tiba-tiba”, karena waktu berjalan linier seperti lazimnya, kecuali timbul dari perasaan pribadi lantaran sikap abai alias tidak peduli. Bulan Rajab adalah bulan istimewa. Dalam kitab I‘anatut Thalibin dijelaskan bahwa “Rajab" merupakan derivasi dari kata “tarjib” yang berarti mengagungkan atau memuliakan. 


Masyarakat Arab zaman dahulu memuliakan Rajab melebihi bulan lainnya. Rajab biasa juga disebut “Al-Ashabb” (الأصب) yang berarti “yang mengucur” atau “menetes”. Dijuluki demikian karena derasnya tetesan kebaikan pada bulan ini. Bulan Rajab bisa juga dikenal dengan sebutan “Al-Ashamm” (الأصم) atau “yang tuli”, karena tidak terdengar gemerincing senjata pasukan perang pada bulan ini. 


Mereka  mengharamkan diri untuk berperang di dalamnya, bahkan sampai-sampai jika seorang laki-laki bertemu dengan pembunuh ayahnya di bulan-bulan tersebut, dia tidak akan membalas dendam kepadanya. Hal ini karena mereka mengagungkan bulan haram tersebut.


Julukan lain untuk bulan Rajab adalah “Rajam” (رجم) yang berarti melempar. Dinamakan demikian karena musuh dan setan-setan pada bulan ini dikutuk dan dilempari sehingga mereka tidak jadi menyakiti para wali dan orang-orang shalih. 


Allah memasukkan bulan Rajab sebagai salah satu bulan haram alias bulan yang dimuliakan.


 إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ 


Artinya: Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. (QS At-Taubah:36)


Bulan haram adalah empat bulan mulia di luar Ramadlan, yakni Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.  Disebut “bulan haram” (الأشهر الحرم) karena pada bulan-bulan tersebut umat Islam dilarang mengadakan peperangan.


Keistimewaan bulan Rajab juga terletak pada peristiwa ajaib Isra’ dan Mi’raj Rasulullah. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rajab tahun 10 kenabian (620 M). Itulah momen perjalanan Rasulullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha lalu menuju ke sidratul muntaha yang ditempuh hanya semalam. Dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, umat Islam menerima perintah shalat lima waktu. Begitu agungnya peristiwa ini hingga ia diperingati tiap tahun oleh kaum muslimin di berbagai belahan dunia. 



Strategi Mengokohkan Keimanan Dengan Memaknai Peristiwa Penting di Bulan Rajab Supaya Memberikan Dampak Dalam Kehidupan


Bulan Rajab, dalam sejarah Islam, menjadi saksi dari dua peristiwa penting yang mencatatkan namanya dalam lembaran kejayaan umat Muslim. Pertama-tama, kita disuguhkan kisah mengesankan tentang Isra’ Mi’raj, suatu mukjizat luar biasa yang diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Kedua, pada tanggal 27 Rajab 583 H atau 1187 M, bulan ini juga menjadi saksi megah dari kemenangan besar umat Islam, yakni pembebasan Baitul Maqdis di Palestina oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.


Dua peristiwa penting tersebut menjadikan bulan Rajab menjadi momentum bagi umat Islam untuk mengokohkan keimanan dan menjadikannya memiliki pengaruh dalam kehidupan. Peristiwa Isra Mikraj merupakan keajaiban yang hanya bisa dijangkau secara spiritual melalui keimanan. Tanpa iman maka peristiwa tersebut dianggap khayalan belaka. Sedangkan peristiwa pembebasan Baitul Maqdis oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi terjadi setelah memprioritaskan mempersatukan umat Islam dengan fondasi kuat akidah.


Makna iman adalah pembenaran secara pasti (tashdiq al-jazim) sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk mengokohkan keimanan dengan memaknai peristiwa penting di bulan Rajab supaya memberikan dampak dalam kehidupan, antara lain:


Pertama, membuktikan keimanan dengan dalil yang pasti. Jika pembenaran saja tanpa disertai dalil tidak digolongkan iman, karena tidak termasuk pembenaran yang pasti kecuali apabila bersumber dari dalil. Jika tidak disertai dalil maka tidak ada kepastian. Berdasarkan hal ini pembenaran harus berdasarkan dalil agar menjadi bersifat pasti, atau agar tergolong iman.


Dalil keimanan itu ada dua macam, yaitu :

1. Dalil Aqli (menggunakan akal).

2. Dalil Naqli (dari Al-Quran dan Hadis).


Yang menentukan apakah dalil itu aqli atau naqli adalah fakta dari permasalahan yang ditunjukkan untuk diimani. Apabila permasalahannya adalah fakta yang bisa diindera maka dipastikan dalilnya aqli bukan naqli. Namun jika permasalahannya tidak dapat diindera maka dalilnya adalah naqli. 


Peristiwa Isra Mikraj dibuktikan dengan dalil naqli sebab faktanya tidak dapat diindera, hanya Rasulullah saw. yang mengalami faktanya. 


Peristiwa Isra Mi’raj merupakan perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, kemudian dilanjutkan ke langit ketujuh untuk bertemu dengan Allah SWT. Di sana, Nabi Muhammad SAW menerima perintah shalat lima waktu sehari semalam. Ketika Abu Bakar mendengar kabar tentang perjalanan Isra Mi’raj, ia tidak ragu untuk mempercayainya. Abu Bakar yang sangat mencintai Nabi Muhammad SAW, tidak meragukan kisah ini. Sebaliknya, ia langsung membenarkan dan mempercayainya sepenuh hati. Abu Bakar dengan tegas membela dan meyakinkan mereka bahwa kisah Isra Mi’raj memang benar adanya. Ia berkata, “Jika Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa ia telah berbicara dengan Allah SWT, maka aku percaya padanya. Aku yakin bahwa Allah SWT mampu melakukan apa saja.”


Sikap Abu Bakar yang tegas dan percaya sepenuh hati pada Nabi Muhammad SAW menjadi teladan bagi umat Muslim. Ia menunjukkan bahwa keyakinan dan kepercayaan kepada Nabi Muhammad saw. adalah hal yang sangat penting dan harus dijaga dengan baik.


Kedua, menjaga stabilitas keimanan dengan menjadikannya berpengaruh dalam kehidupan. Sahabat Abu ad-Dardâ` Uwaimir al-Anshâri Radhiyallahu anhu berkata:

الإِيْمَانُ يَزْدَادُ وَ يَنْقُصُ

Iman itu bertambah dan berkurang

Pada kondisi iman yang kuat, seseorang cenderung untuk banyak melakukan amal kebaikan dan waspada dengan dosa yang mungkin dilakukannya. Iman seseorang itu naik, pada saat orang itu beribadah dan beramal soleh. Namun, ada kalanya seseorang dalam kondisi keimanan yang kurang baik, sehingga ia cenderung lalai dan malas beribadah. Iman turun pada saat orang melakukan perbuatan tercela, maksiat, perbuatan yang dilarang, mengonsumsi bahan makanan yang diharamkan.


Mengingat peristiwa Isra Mi’raj mesti menjadikan iman bertambah karena juga mengajarkan tentang pentingnya menaati perintah Allah SWT. Ketika Nabi Muhammad SAW mendapat perintah shalat lima waktu, ia dengan tegas menerapkannya dan mengajarkan kepada umat Muslim untuk melakukannya. Sebagai umat Muslim, kita juga harus senantiasa taat pada seluruh perintah Allah SWT sehingga keimanan kita akan memberikan pengaruh dalam kehidupan.


Ketiga, yakin dengan janji Allah Swt. Pada pada hari Jumat, 27 Rajab 583 H bertepatan dengan 2 Oktober 1187, pasukan Islam yang dipimpin Shalahuddin Al Ayyubi sukses merebut Kota al-Quds dan membebaskan Baitul Maqdis. Ibn Shaddad dalam bukunya menulis, “Sultan menerima penyerahan kota itu pada hari Jumat 27 Rajab. Waktu itu bertepatan dengan (tanggal) Mikraj Nabi yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an al-Karim.” 


Baitul Maqdis merupakan situs bersejarah yang berada di Palestina. Baitul Maqdis memiliki arti yang sangat penting bagi umat Islam karena di sana pertama kali dibangun masjid yang kemudian menjadi kiblat pertama bagi umat Muslim di seluruh dunia, yaitu Masjid Al Aqsa. 


Pada tahun 1917, Inggris berhasil merebut Baitul-Maqdis. Untuk pertama kalinya sejak dibebaskan dari tentara Salib oleh Shalahuddin al-Ayyubi, Baitul-Maqdis jatuh ke tangan orang kafir. Inggris mensponsori mengalir masuknya imigran Yahudi Eropa. Ratusan ribu orang Yahudi pindah ke Palestina dan tinggal di Baitul-Maqdis. Ketika pasukan Inggris dicabut untuk meninggalkan tanah Palestina pada tahun 1948, orang-orang Yahudi Zionis meratakan ratusan desa, mengusir ribuan warga Muslim Arab Palestina, lalu mendirikan negara yang mereka sebut ‘Israel’ di atas sebagian besar tanah Palestina. 


Separuh dari kompleks Masjid al-Aqsha dan Kubah Batu berhasil dipertahankan oleh kaum Muslimin. Yordania kemudian memegang otoritas atas Baitul-Maqdis (Jerussalem) Timur dan keseluruhan Kompleks Masjid al-Aqsha yang dikenal juga sebagai Haram ash-Sharif. Pada 7 Juni 1976, pada hari ketiga perang enam hari, pasukan ‘Israel’ merebut Baitul-Maqdis dan keseluruhan sisa kawasan Tepi Barat Sungai Yordan. Pasukan ‘Israel’ masuk ke Masjid al-Aqsha dengan mudah dan kemudian mengibarkan bendera ‘Israel’ di atas Kubah Batu. Sebuah bencana besar bagi kaum Muslimin.


Bencana itu terus berlangsung hingga saat ini. Israel terus menguasai Baitul Maqdis, menjajah Palestina dan membunuh ribuan warganya. Total korban jiwa di Palestina akibat serangan Israel ke Gaza sejak 7 Oktober 2023 saja mencapai 25.295 orang pada 24 Januari 2024.


Tentu bagi kaum muslimin Al Quds adalah kota suci warisan sejarah yang harus dibebaskan dari cengkraman Yahudi. Bahkan bukan hanya sekedar kota suci, namun Al Quds adalah ibukota politik bagi umat Islam, dimana Al Quds menjadi sebuah indikator dan simbol eksistensi kaum Muslimin dan kekuatan politiknya.


Keimanan yang kokoh akan menuntut orang beriman memiliki keyakinan bahwa Baitul Maqdis adalah hak kaum muslimin dan akan kembali menguasainya sebagai janji dari Rasulullah saw. dalam hadis dari Abdullah bin Hawalah Al-Azdi, Rasulullah SAW bersabda: "Wahai Ibnu Hawalah, jika engkau melihat kekhilafahan telah turun di bumi Al-Maqdis (Baitul Maqdis, Palestina), maka itu pertanda telah dekatnya berbagai goncangan, kegundah-gulanaan, dan peristiwa-peristiwa besar. Bagi umat manusia, kiamat lebih dekat kepada mereka daripada dekatnya telapak tanganku kepada kepalamu ini." (HR. Abu Dawud) 


Karena Islam datang adalah satu paket. Islam adalah agama sekaligus aturan kehidupan. Sehingga semua yang ada dalam Islam harus diambil dan kita sami'na wa atho'na. Itulah yang harus umat Islam pahami ketika memaknai peristiwa Rajab. Bukan sekedar peringatan-peringatan semata, tapi harus ada nilai yang harus diambil, yaitu semakin mengokohkan keimanan kita. 


Khatimah 


Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapatlah penulis tarik kesimpulan, bahwa Bulan Rajab adalah satu dari empat bulan yang mulia. Di sana ada peristiwa Isra Mi'raj yang fenomenal. Dalam memaknai peristiwa Rajab harusnya membuat kaum muslimin semakin mengokohkan keimanannya sebagaimana yang dicontohkan oleh sahabat Abu Bakar Ash Shidiq. Bahwa apa yang dikabarkan dan dibawa Rasulullah adalah kebenaran, kita sebagai umat yang mengimani beliau sebagai utusan Allah selalu membenarkannya. 


Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Jika kita mengaku beriman, maka apa yang ada dalam Islam kita harus mengambilnya dan melaksanakannya bukan memilih mana yang disukai dan meninggalkan yang tidak disukai. Termasuk bagaimana menjalankan kehidupan bernegara. Saat ini umat Islam dalam kondisi terpuruk karena meninggalkan banyak aturan agananya. Sehingga dengan momen Rajab ini sekaligus mengingatkan umat Islam untuk segera kembali pada Islam secara kaffah. Sami'na wa atho'na dengan semua yang dibawa Rasulullah SAW. Wallahu'alam. 



*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama