Haramkah Mengkritik Penguasa Secara Terbuka?

 


Oleh: Nurul


Dalam sistem pemerintahan Islam, penguasa meliputi khalifah, mu’awin tafwidh (pembantu/wazir khalifah). wali (penguasa tingkat provinsi), amil (penguasa tingkat kabupaten), dan qadhi mazhalim (hakim). Dalam kitab al ahkam as sulthaniyyah, Mawardi menjelaskan penguasa berkewajiban menegakkan din (agama) dan mengatur kehidupan dunia dengan syari’at Allah. 


Penguasa dalam Islam bukanlah jabatan ‘prestise’, tapi amanah berat dalam mengurus rakyat. Amanah ini akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda:


الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ


Artinya : Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya (HR Bukhari dan Muslim). 


Muncul polemik di masyarakat terkait hukum dan etika mengkritik penguasa yang menyimpang dan melalaikan kewajibannya. Ada yang berpendapat hukumnya boleh dan dapat dilakukan secara terbuka. Ada juga yang berpendapat hukumnya boleh, tapi tak terbuka hanya empat mata di hadapan penguasa. Ada yang berpendapat hukumnya terlarang karena dianggap ghibah, menghina dan mencela penguasa. Pendapat manakah yang shahih?


Untuk menjawab ini, perlu mencermati hadits Rasulullah SAW:


تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ


Artinya : Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik).


خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ


Artinya : Sebaik-baik manusia adalah masaku (shahabat), lalu orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in) (HR al-Bukhari dan Muslim).


Dengan panduan kedua hadits mulia di atas, hukum mengkritik penguasa haruslah digali dari  Al Quran dan hadits. Etika dalam mengkritik penguasa haruslah merujuk pada teladan tiga generasi terbaik. 


Mengkritik Penguasa : Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Allah SWT berfirman: 


وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ


Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS. 'Ali "imran ayat 104).


Rasulullah SAW bersabda:


مَن رَأى مِنكُم مُنكَرَاً فَليُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطعْ فَبِقَلبِه وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإيمَانِ. 


Artinya : Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaknya dia ubah dengan tangannya. Bila dia tak mampu hendaknya dia ubah dengan lisannya. Bila tak mampu hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah–lemahnya iman (HR. Muslim).


وَالَّذِي نَفسِي بِيَدِه، لَتَأْمُرُنَّ بِالمَعرُوف، وَلَتَنهَوُنَّ عَنِ المُنْكَر؛ أَو لَيُوشِكَنَّ الله أَن يَبْعَثَ عَلَيكُم عِقَاباً مِنْه، ثُمَّ تَدعُونَه فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُم


Artinya : Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaklah kalian benar-benar memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran atau Allah akan menimpakan kepada kalian siksaan dari sisi-Nya, kemudian kalian berdoa kepadanya namun Dia tidak mengabulkan doa kalian (HR. Tirmidzi).


Ayat Al Quran dan hadits serupa di atas cukup banyak. Ini menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban muslim yang bertaqwa. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan perkara urgen dan utama yang mendatangkan ridha Allah dan menjauhkan azab Allah. 


Dalil-dalil di atas bersifat umum dan mutlak tanpa batasan. Artinya amar ma’ruf nahi munkar juga  ditujukan pada penguasa. Bahkan ada dalil khusus terkait hal tersebut, yaitu: 


 إِنَّه يُسْتَعمل عَلَيكُم أُمَرَاء فَتَعْرِفُون وَتُنكِرُون، فَمَن كَرِه فَقَد بَرِئ، ومَن أَنْكَرَ فَقَد سَلِمَ، ولَكِن مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ


Artinya : Sesungguhnya akan diangkat para penguasa untuk kalian. Kalian mengenalinya dan kemudian kalian mengingkari (kemaksiatannya). Siapa yang membenci (kemaksiatannya), maka ia telah terbebas (dari tanggung jawabnya). Siapa mengingkari, maka ia selamat. Namun, siapa yang rida serta mengikuti mereka (akan ikut celaka). (HR. Muslim).


أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ


Artinya : Jihad yang paling utama adalah (menyampaikan) kalimat (haq) di depan penguasa yang lalim (HR. Ibnu Majah).


Dalil ini menegaskan bahwa mengkritik penguasa adalah perintah syari’at dan berlaku atas seluruh aktivitas penguasa. Baik aktivitas yang menyalahi syari’at, berbahaya dan zalim pada rakyat, atau mengabaikan amanah urusan rakyat. Penguasa pun wajib merespon dan menindaklanjuti  kritikan tersebut dengan menjelaskan pandangan dan argumentasi dalam aktivitasnya. 


Jika pihak yang mengkritik berselisih dengan penguasa dalam suatu perkara, perselisihan tersebut dikembalikan pada qàdhi mazhalim atas permintaan majelis umat. Keputusan qadhi mazhalim bersifat mengikat, sesuai dengan firman Allah SWT:


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An Nisa ayat 59).


Teladan Generasi Terbaik


Terkait etika mengkritik penguasa, tak ada rujukan selain teladan generasi terbaik yaitu shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Karena merekalah yang memahami makna Al Quran dan hadits secara mendalam. Mereka juga yang mengamalkan Al Quran dan hadits dengan sebaik-baik amalan. 


Dalam kitab al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyyah, Ahmad Syalabi menjelaskan isi pidato Abu Bakar as Shiddiq setelah bai’at (pelantikan) khalifah. Beliau ra meminta kaum muslim untuk membantunya saat baik dalam amanah dan meluruskannya saat berbuat salah. 


Khalifah Umar bin Khattab pun tak sepi kritikan dari para shahabat. Saat pembagian ghanimah tanah Iraq, Zubair bin Awwam ra dan Bilal ra mengkritik keras dan terbuka. Keduanya menginginkan ghanimah tersebut dibagikan kepada pasukan yang ikut perang. Tapi Umar bin Khattab berdialog dan beragumentasi dalil sehingga keduanya puas menerima keputusannya. Yaitu Tanah Iraq tetap menjadi milik rakyat Iraq dan kharajnya dimasukkan dalam baitul mal.


Seorang wanita sengaja mendatangi Khalifah Umar bin Khattab mengkritik kebijakannya yang membatasi mahar dengan dalil surat an Nisa’ ayat 20. Sampai akhirnya Beliau ra mengaku salah dan membenarkan pendapat wanita tersebut. Pun sama Salman al Farisi mengkritik Khalifah Umar bin Khattab yang sedang berpidato di atas mimbar terkait pembagian selimut dari Yaman. 


Masyhur kisah sejumlah tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang dipenjara dan disiksa karena menyampaikan kritikan di hadapan penguasa. Seperti Sa’id bin Musayyab, Abu Hanifah, Tsufyan Ats-Tsauri, Imam Syafi’I, Imam Bukhari, Imam Nawawi dan sebagainya. Mereka tak takut dengan tangan besi penguasa demi kebenaran. 


Jelaslah Islam memberi ruang mengkritik penguasa secara terbuka di hadapan publik, tak harus empat mata. Hal tersebut pun tak termasuk ghibah dan mencela penguasa karena bagian dari nasihat. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW : 


عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْمٍ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِي رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ 


Artinya : Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya” (HR. Muslim). Wallahu a’lam bish-shawab.[]


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama