Genjot Pertumbuhan Ekonomi Melalui Desa Wisata Membahayakan Rakyat?



Oleh : Vivie Dihardjo (Pemerhati Kebijakan Publik & Pegiat Komunitas Ibu Hebat)

Desa wisata merupakan program pemerintah dalam rangka pengelolaan pariwisata yanng berkelanjutan. Program ini masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJMN) tahun 2020-2024.  Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) memberikan stimulus untuk tumbuhnya pariwisata dan ekonomi kreatif sebesar 3,3 trilliun. Sebesar 30% ditujukan untuk pemerintah daerah dan 70% untuk pengusaha hotel dan restoran. Kemenparekraf/Baparekraf menargetkan tumbuhnya 244 desa wisata tersertifikasi yang akan menjadi desa wisata mandiri (INDONESIA. GO.ID).

Desa wisata menjadi program unggulan pemerintah. Menurut menteri pariwisata dan ekonomi kreatif, Sandiaga Uno “Saya sampaikan bahwa Kemenparekraf menyatakan dengan tegas akan berkoordinasi untuk memulihkan sektor pariwisata dan membangkitkan ekonomi kreatif. Bangkitnya pariwisata adalah bangkitnya ekonomi bangsa”(kompas.com 27/3/2021)

Benarkah desa wisata akan membangkitkan ekonomi masyarakat? Ketua Umum Asosiasi Desa Wisata (Asidewi) Andi Yuwono menyatakan “Adanya wisata (di desa) masyarakat tidak harus mengubah profesi. Wisata adalah bonus. Kenapa bonus? Karena uang-uang dari profesi mereka bisa menjadi lebih ketika dikemas menjadi suguhan produk jasa”(kompas.com 02/08/2021)

Klaim bahwa adanya desa wisata bisa memberi peluang pendapatan jauh lebih baik belum bisa dibuktikan secara mutlak karena mesyarakat masih setia pada profesi yang ditekuni sebelumnya dan pendapatan utama masih berasal dari pekerjaan utama tersebut. Dari klaim peningkatan pendapatan masyarakat dan desa, program desa wisata masih menyisakan pro dan kontra. Warga desa adat Bugbug kembali melakukan protes pembangunan resort di atas bukit pada 31 Agustus 2023. Penolakan warga didasari oleh argumen bahwa tanah yang akan dibangun resort masih dalam area pura Gumang dan pura lain disekitarnya. Resort ini milik seorang warga Cekoslovakia bernama Daniel (bali.tribunnews.com 07/07/2023)

Efek Samping Desa Wisata
Sejumlah efek samping dari program desa wisata juga harus dipertimbangkan. Tidak sepatutnya hanya melihat tujuan program ini, yaitu menumbuhkan atau membangkitkan ekonomi pasca pandemi justru mengabaikan efek sampingnya yang merugikan rakyat. Efek samping yang terjadi dapat dilihat pada dua aspek yaitu aspek fisik dan sosial. Pengembangan pariwisata melalui desa wisata menimbulkan dampak fisik yang mudah dilihat. Mulai dari pencemaran lingkungan, baik daratan, perairan, bahkan udara. Pembangunan sarana dan prasarana desa wisata telah mencaplok lahan-lahan pertanian. Cepat atau lambat akan terjadi alih fungsi lahan. Ekosistem terganggu yang mengakibatkan hilangnya flora  dan fauna (Ketut Sumadi, S3 kajian budaya, Universitas Udayana).

Optimalisasi fungsi desa menjadi tempat pariwisata memiliki konsekuensi pembangunan infrastruktur yang menunjang pariwisata, seperti penginapan, tempat makan dan hiburan yang berpotensi terjadi alih fungsi lahan dan pembangunan berlebihan yang menambah kepadatan desa.
Pada aspek sosial budaya, berdatangannya turis-turis asing ke desa-desa wisata akan membawa serta nilai-nilai hidup yang diyakininya, misalnya cara berpakaian, cara bergaul laki-laki dan perempuan, cara berkomunikasi dan budaya lain yang berpotensi akan ditiru oleh penduduk setempat karena menganggap budaya asing lebih modern dari budaya masyarakat Indonesia yang sangat dilatarbelakangi oleh norma-norma agama dan kesopanan.

Program unggulan desa wisata untuk menumbuhkan ekonomi masyarakat tidak dapat dilihat hanya dari sisi meningkatnya pendapatan masyarakat desa tetapi dampak (efek samping) yang ditimbulkan juga harus diperhatikan. Sayangnya dalam upaya menumbuhkan ekonomi masyarakat didasarkan pada kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan materi tanpa memperhatikan dampaknya bagi masyarakat, terjadinya kerusakan lingkungan dan tergerusnya nilai-nilai agama dan kesopanan di tengah masyarakat.

Islam memastikan kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi dengan mudah dan murah
Dalam islam, pariwisata bukan sumber pendapatan negara apalagi sebagai alat untuk menumbuhkan perekonomian rakyat. Wisata atau desa wisata bukanlah konsep yang berasal dari islam.  Diriwayatkan oleh Ibnu Hani dari Ahmad bin Hanbal, beliau ditanya tentang seseorang yang bepergian atau bermukim di suatu kota, mana yang lebih anda sukai? Beliau menjawab: "Wisata tidak ada sedikit pun dalam Islam, tidak juga perilaku para nabi dan orang-orang saleh." (Talbis Iblis, 340).

Dalam hal pemenuhan kebutuhan masyarakat baik kebutuhan pokok maupun pendidikan, kesehatan bahkan keamanan negara akan memastikan secara maksimal dan merata. Karena Khalifah (Imam) adalah perisai bagi rakyatnya. Rasulullah bersabda,
نَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ»
Sesungguhnya Imam/Khalifah adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya. (HR Muslim).
 
Negara akan mengelola kepemilikan umum secara maksimal. Rasulullah bersabda,
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Artinya: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api. (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Hasil dari pengelolaan kepemilikan umum, berupa berbagai jenis hutan, padang rerumputan, laut, sungai, mata air, air terjun, bendungan, air tanah, berbagai jenis barang tambang dan logam, dan sebagainya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin negara, kebutuhan pokok masyarakat hingga pembangunan fasilitas umum. Rakyat boleh memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk keperluannya dengan pengawasan negara.  Negara yang menerapkan islam memastikan bahwa para lelaki pencari nafkah memiliki pekerjaan untuk menafkahi keluarganya dari sumber-sumber yang diperbolehkan oleh syariat.

Pariwisata ada dalam rangka untuk semakin mendekatkan pada umat pada Allah (tadabbur alam) bukan digunakan untuk bisnis dan mengejar pertumbuhan ekonomi. Negara adalah penanggungjawab utama untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat melalui pengelolaan kepemilikan umum. Sayangnya hal ini suit dilakukan ketika sistem yang dipake untuk mengelola sumberdaya alam sebagai kepemilikan umum justru diserahkan pada korporasi (swasta). Maka agar negara kembali berperan sebagai pengurus urusan umat (riayatul su’unil ummah) negara harus menerapkan islam secara keseluruhan dalam sistem pemerintahan khilafah’ala minhajin nubuwwah.

Wallahu’alam bisshowab


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama