Oleh: Endah Sulistiowati, Tri Widodo Bukan Joko, & A.M. Pamboedi
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia hingga akhir 2023 ini tercatat memiliki 20 kawasan ekonomi khusus (KEK) yang fokus pada manufaktur dan pariwisata. Dari 20 KEK ini, 10 KEK fokus di pariwisata dan 10 sisanya di manufaktur.
Adapun, KEK manufaktur a.l. KEK Kendal, KEK Gresik, KEK Nongsa dan KEK Galang Batang. Sementara itu, KEK pariwisata mencakup KEK Tanjung Lesung, KEK Lido, KEK Sanur, KEK Kura-kura Bali dan KEK Tanjung Keyalang.
Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha BUMN, Riset dan Inovasi Elen Setiadi mengungkapkan investasi di KEK manufaktur tercatat lebih tinggi, yakni Rp 133 triliun sepanjang 2023. Kemudian, KEK pariwisata mencapai Rp 9 triliun. Namun, dari sisi serapan tenaga kerja, KEK pariwisata ini ternyata menyerap lebih banyak tenaga kerja, yakni 36.000 pekerja pada 2023 dan KEK sektor manufaktur, penyerapan tenaga kerjanya mencapai 33.000 pekerja tahun ini.
Masih dari CNBC Indonesia, Duta Besar RI untuk Singapura Suryo Pratomo mengungkapkan pentingnya menggali informasi tentang peluang investasi dalam proyek yang sedang berjalan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sebagai tambahan informasi, hingga Desember tahun 2023, 20 KEK di Indonesia telah berhasil mencatatkan capaian investasi sebesar Rp167,2 triliun, meningkat Rp 62,9 triliun dibandingkan capaian pada tahun sebelumnya.
Mengutip dari Bankbews.com, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan sebanyak 25 perusahaan tertarik untuk berinvestasi di Indonesia, khususnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Hal ini merupakan hasil dari bisnis matching dari ASEAN Indo-Pacific Forum (AIPF). Adapun, beberapa dari investor tersebut berasal dari India, Uni Emirat Arab (UEA), China, Prancis, dan Polandia.
Sedangkan dari dalam negeri, KEK Lido atau Movieland. Dibangun oleh PT MNC Digital Entertainment Tbk (MSIN), unit bisnis media MNC Group, Movieland merupakan kompleks studio terbesar dengan luas 21 hektar, baik dalam bentuk outdoor maupun indoor.
KEK Nongsa dikembangkan oleh Grup dari perusahaan yang dibangun oleh keturunan (alm) Eka Tjipta Widjaja melalui Sinar Mas Land. Setidaknya, Sinar Mas Land telah mengucurkan investasi Rp350 miliar untuk membangun kawasan ekonomi digital yang terletak di Batam, Kepulauan Riau.
Tidak tanggung-tanggung, proyeksi investasi yang dapat diserap di KEK Nongsa sampai dengan 2030 ditaksir mencapai Rp16 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 16.500 orang. Kini dengan potensi sebesar itu, PT GDS IDC Service tengah membangun data center dengan nilai investasi Rp4 triliun di lahan seluas 28.730 meter persegi. Sebagai perusahaan asal Hong Kong, nantinya data center ini bakal memiliki kapasitas 40 MW ini bakal dikembangkan dalam dua tahap.
Proyek KEK ini memang sangat menggoda bagi investor baik dalam dan luar negeri. Untuk itulah perlu dibahas secara mendalam apakah memang KEK ini bertujuan untuk memajukan ekonomi rakyat secara umum atau hanya segelintir orang saja.
Dari pendahuluan singkat di atas, penulis mengajukan beberapa permasalahan yang hendak dibahas dan dijadikan bahan diskusi pada kesempatan ini, diantaranya sebagai berikut:
1. Mengapa pemerintah perlu membangun dan mengembangkan KEK?
2. Apakah dampak dari pembukaan ladang baru KEK bagi penduduk setempat?
3. Bagaimanakah strategi yang tepat bagi negara untuk meningkatkan perekonomian rakyatnya?
Faktor-Faktor Pemerintah Membangun Dan Mengembangkan KEK
Kawasan ekonomi khusus (KEK) adalah suatu kawasan dengan batas tertentu yang tercakup dalam daerah atau wilayah untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional.
Secara garis besar praktisnya, KEK juga dapat diartikan sebagai kawasan yang secara geografis memiliki hukum ekonomi yang berbeda dengan hukum ekonomi yang berlaku di negara tempat KEK tersebut. Hukum ekonomi yang diterapkan dalam KEK bersifat lebih liberal dibandingkan tipologi hukum ekonomi di wilayah lain. Hal tersebut ditujukan sebagai strategi menarik penanam modal untuk datang dan menanam modal ke KEK, karena dengan diberlakukannya hukum ekonomi yang lebih liberal berarti akan memudahkan penanam modal untuk mendapatkan keuntungan dengan maksimal dari modal yang ditanamkannya.
Di dalam UU No. 39 Tahun 2009 Tentang Kawasan Ekonomi Khusus yang kemudian diubah ke dalam salah satu klaster UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, KEK ditetapkan juga sebagai kawasan tertentu yang memiliki ketentuan khusus di bidang bea dan cukai (customs), perpajakan (tax), perizinan satu atap (one roof service), imigrasi (immigration), dan ketenagakerjaan (labour).
Pengembangan KEK juga didukung oleh infrastruktur yang andal dan memadai serta pengelolaan oleh suatu badan atau lembaga profesional berstandar internasional. Dengan kata lain, KEK memang sengaja dibentuk untuk menarik para penanam modal untuk menanamkan modalnya secara langsung.
Dalam pembentukan KEK sendiri, dapat diusulkan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas, badan usaha patungan (konsorsium) atau Pemda setempat. Disamping lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK musti memenuhi lahan yang diusulkan menjadi KEK paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari yang direncanakan telah dikuasai sebagian atau seluruhnya.
KEK di Indonesia mulai diatur sejak tahun 2009, yang merupakan pengembangan dari berbagai jenis kawasan ekonomi di periode-periode sebelumnya. Di tahun 1970, dikenal dengan mulai adanya pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Pada 1972, muncul pengembangan Kawasan Berikat. Berlanjut pada 1989 dengan Kawasan Industri, lalu pada 1996, dikembangkan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), dan terakhir, sejak tahun 2009, dimulai pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus.
Adapun faktor pendorong bagi pemerintah untuk membangun dan mengembangkan KEK di Indonesia ialah dalam rangka mempercepat pencapaian pembangunan ekonomi nasional, sehingga diperlukan peningkatan penanaman modal melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategis. Kawasan tersebut dipersiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Pengembangan KEK bertujuan untuk mempercepat perkembangan daerah dan sebagai model terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi, antara lain industri, pariwisata, dan perdagangan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
Dampak-dampak yang Dapat Ditimbulkan dari Penyediaan Lahan Untuk Pengembangan KEK Bagi Penduduk Setempat
Dalam konteks internasional, Kawasan Ekonomi Khusus juga dikenal sebagai _Special Economic Zones_ (SEZs). SEZs adalah area yang didesain untuk menarik perusahaan ke lokasi tertentu, terutama pada area yang kurang berkembang di sektor ekonomi. Pendekatan ini melibatkan penawaran insentif, seperti perlakuan pajak khusus. Secara umum, SEZs didefinisikan sebagai area yang ditetapkan secara geografis di suatu negara dengan batasan yang jelas, dan memiliki tujuan khusus untuk kegiatan ekonomi tertentu.
Syarat lokasi yang diajukan untuk Kawasan Ekonomi Khusus adalah memiliki batasan yang jelas, sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung, dan lahan yang diusulkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus telah dikuasai paling sedikit 50% dari yang telah direncanakan.
Berdasarkan Undang-Undang 39/2009, Pasal 3, aspek zoning dalam Kawasan Ekonomi Khusus dapat dibagi menjadi 7 (tujuh) zona, yaitu:
a. Pengolahan ekspor,
b. Logistik,
c. Industri,
d. Pengembangan teknologi,
e. Pariwisata,
f. Energi, dan/atau
g. Ekonomi lain.
Untuk menganalisis dampak-dampak yang mungkin terjadi akibat penyediaan lahan untuk pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) terhadap penduduk setempat, penulis menggunakan studi kasus KEK Mandalika yang termasuk dalam zona pariwisata. Mandalika dipilih sebagai salah satu KEK yang telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2014 pada 30 Juni 2014. Wilayah ini memiliki luas 1.035,67 hektar dan terletak di Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pengembangannya dilakukan dengan menerapkan konsep ekowisata dengan memperhatikan aspek ekologis di zona tersebut.
Dampak-dampak yang mungkin timbul dari penyediaan lahan untuk pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) bagi penduduk setempat, seperti yang terjadi pada KEK Mandalika, mencakup beberapa aspek:
1. Sengketa Lahan
Perselisihan mengenai kepemilikan lahan di kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Nusa Tenggara Barat, masih berlanjut, meskipun pembangunan kawasan tersebut sudah dimulai sejak lama, dan proses relokasi penduduk dari area tersebut telah selesai pada tahun 2021 atau sebelum ajang MotoGP perdana diselenggarakan. Hingga saat ini, masih terdapat warga yang mengklaim sebagai pemilik lahan di KEK Mandalika dan menuntut ganti rugi atas tanah mereka. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mencatat adanya 87 kasus sengketa lahan di KEK Mandalika. Pemerintah provinsi berusaha untuk mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, termasuk manajemen Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) yang mengelola kawasan tersebut, seperti yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Selasa, 15 Februari 2023, di kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat.
2. Ketidakadilan dan Intimidasi dalam Pembebasan Lahan
Forum LSM Internasional untuk Pembangunan Indonesia (INFID) mengungkapkan bahwa pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), masih menimbulkan berbagai permasalahan. Tim peneliti INFID, Marlis Afridah, mengindikasikan bahwa 70 persen dari pemilik lahan di kawasan tersebut merasa diintimidasi selama proses pengadaan lahan seluas 1.035,67 hektar.
Penelitian tersebut menyoroti ketidaktransparanan proses pengadaan lahan untuk pembangunan KEK Mandalika, yang cenderung bersifat intimidatif bahkan melibatkan kekerasan dengan melibatkan aparat keamanan. Survei independen oleh KPPII mengungkapkan bahwa 70 persen dari responden merasa mendapat tekanan dan intimidasi selama proses akuisisi lahan, sementara 99 persen merasa tidak mendapatkan kompensasi yang adil dan memadai atas tanah, rumah, dan tanaman yang dibeli atau dihancurkan untuk pembangunan KEK Mandalika.
3. Pemiskinan Masyarakat Terdampak
Marlis mengidentifikasi setidaknya empat isu terkait pembebasan lahan yang menyebabkan masyarakat terdampak proyek KEK Mandalika mengalami kemiskinan.
_Pertama,_ terdapat sejarah konflik lahan yang panjang sejak awal tahun 1990-an dengan pendahulu ITDC, yaitu LTDC.
_Kedua,_ ada masalah terkait pembayaran lahan warga. Bahkan, beberapa pemilik lahan merasa tidak pernah menjual tanah mereka untuk KEK Mandalika.
_Ketiga,_ terdapat ketidaksepakatan antara warga dan ITDC mengenai pembayaran lahan. Beberapa warga merasa bahwa pembayaran sudah seharusnya dilakukan, namun ITDC menganggap lahan tersebut sudah bersih dan jelas kepemilikannya (clean and clear).
_Keempat,_ sebagian lahan masih dimiliki oleh warga, namun tidak didaftarkan dengan maksud untuk mengurangi beban pajak.
Selain konsekuensi langsung yang dirasakan oleh pemilik lahan, terdapat pula dampak-dampak yang dirasakan oleh masyarakat umum akibat pengembangan lahan untuk pembangunan KEK Mandalika, seperti:
1. Pelaksanaan program ekowisata dianggap lebih menekankan aspek ekonomi dibandingkan aspek lingkungan.
2. Masyarakat lokal tidak merasakan manfaat sebanding dengan dampak dan pengorbanan yang mereka alami karena pihak-pihak terlibat, terutama mereka yang memiliki modal, mendominasi. Meskipun program ini dapat menciptakan peluang kerja, distribusi kesempatan kerja cenderung tidak adil dan merata. Pekerjaan dengan posisi yang menguntungkan lebih mungkin diberikan kepada tenaga kerja yang lebih terampil dari luar wilayah, sedangkan masyarakat lokal terbatas pada pekerjaan dengan upah rendah dan kurang stabilitas.
3. Adanya risiko pembangunan yang berlebihan, dimana terdapat kekhawatiran akan peningkatan pariwisata yang cepat dan besar. Dampaknya mencakup kerusakan lingkungan, penggusuran masyarakat lokal, dan bahkan merusak keaslian budaya setempat. Pembangunan yang tidak terkendali dapat membahayakan keanekaragaman hayati, termasuk spesies langka dan endemik. Kehilangan habitat juga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan mengurangi fungsi lingkungan, seperti perlindungan pantai dan penyimpanan karbon. Risiko bencana alam menjadi yang terburuk yang dapat terjadi, khususnya dalam hal wilayah yang terlalu padat dan kurangnya perencanaan yang baik yang dapat menyebabkan longsor, banjir, dan dampak negatif lainnya.
4. Terdapat risiko konflik sumber daya yang rentan antara kepentingan pariwisata dan kebutuhan masyarakat lokal. Contohnya, peningkatan permintaan air, lahan, atau sumber daya alam lainnya untuk keperluan pariwisata dapat bersaing dengan kebutuhan masyarakat setempat, seperti pertanian, perikanan, atau penghidupan tradisional mereka. Masyarakat setempat dapat kehilangan kendali atas sumber daya alam yang mereka butuhkan untuk penghidupan mereka. Tanah, hutan, dan perairan yang digunakan oleh masyarakat dapat dialihkan kepemilikan dan pengelolaannya oleh pihak eksternal, yang pada gilirannya mengurangi kemandirian dan keberlanjutan ekonomi mereka.
5. Konflik lain yang mungkin timbul adalah pengaruh terhadap budaya. Budaya lokal dapat dieksploitasi secara tidak otentik hanya untuk memenuhi tuntutan pasar. Dengan demikian, aspek-aspek budaya yang bernilai dan berharga dapat terlupakan.
Strategi Untuk Meningkatkan Perekonomian Rakyat
Berdasarkan laporan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi sepanjang 2022 tercatat sebesar Rp1.207,2 triliun atau 100,6%. Dari realisasi investasi didapatkan, total jumlah tenaga kerja Indonesia pada Januari—Desember 2022 yang berhasil diserap hanya mencapai 1.305.001 orang. Jumlah tenaga kerja itu terdiri dari proyek PMDN sebanyak 759.738 orang (58,2%) dan proyek PMA sebanyak 545.263 orang (41,8%).
Meski pada 2022 terjadi peningkatan serapan tenaga kerja, tetapi ini belum mampu menutupi tingginya angka pengangguran di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2022 mencapai 5,86% atau 8,4 juta orang dari total angkatan kerja nasional. Investasi tinggi tidak selalu berkorelasi pada pengurangan angka pengangguran.
Inilah konsekuensi penerapan sistem kapitalisme liberal. Investasi dilakukan besar-besaran demi menggenjot pemasukan dari sektor pariwisata dan industri manufaktur. Jika KEK dianggap mewujudkan kesejahteraan rakyat, rakyat mana yang dimaksud?
Memang, pembangunan merupakan hal penting dalam membangun perekonomian maju di sebuah negara. Beberapa contoh pembangunan dalam bentuk fisik antara lain jalan, jalan tol, stadion, jembatan, konstruksi bangunan, jaringan listrik, bendungan, dan sebagainya.
Dalam Islam, pembangunan haruslah memberikan dampak positif yang besar bagi kehidupan masyarakat. Ini karena salah satu kewajiban negara adalah menyediakan infrastruktur publik yang dapat diakses masyarakat luas dengan murah bahkan gratis.
Sehingga pembangunan yang seperti apa yang harus diprioritaskan oleh negara?
1) Pembangunan bertumpu pada hal yang penting dan mendesak agar manfaatnya dirasakan oleh seluruh rakyat bukan untuk kalangan tertentu saja, atau tidak hanya untuk menguntungkan beberapa pihak saja. Seperti pada masa kekhalifahan Islam, pembangunan infrastruktur berjalan pesat. Jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak (pada abad ke-8) saat itu sudah terlapisi aspal. Pembangunan jalan beraspal itu terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mansur pada 762 M, sedangkan Eropa baru membangun jalan pada abad ke-18.
2) Tidak menggunakan dana utang atau investasi asing dan aseng dalam pembangunan. Karena hal tersebut akan menjadi alat untuk menekan negara demi keuntungan pribadi. Indonesia termasuk negara kaya, sudah seharusnya mampu berdiri di kaki sendiri. Bisa dengan mengelola berbagai SDA dengan mandiri, bukan malah menyerahkan pengelolaan SDA terhadap asing dan aseng. Intensifikasi pertanian dan perkebunan. Mengelola hasil laut dan sebagainya. Karena setiap kepemilikan umum ada hak rakyat di sana.
Khalifah Umar bin Khaththab juga pernah mendanai pembangunan infrastruktur melalui anggaran khusus di Baitul mal. Islam tidak akan mengalokasikan pembiayaan infrastruktur dengan jalan utang atau investasi asing. Negara akan memodali secara penuh pembiayaan pembangunan infrastruktur. Dananya berasal dari kas baitulmal yang terdiri dari harta fai, ganimah, anfal, usyur, khumus, rikaz, zakat, jizyah, kharaj, serta pengelolaan barang tambang.
3) Membuka lapangan pekerjaan untuk rakyat. Negara juga akan memenuhi kebutuhan rakyat dengan cara memberikan kemudahan bagi rakyat untuk bekerja, seperti memberi insentif modal usaha, membuka lapangan kerja, memberikan tanah mati untuk dikelola, dan sebagainya.
Sehingga destinasi wisata itu tidak menjadi alat untuk membuka lapangan pekerjaan ataupun untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Karena bukan di situ fokusnya. Adapun jika ada yang terbantu perekonomiannya itu hanya dirasakan sebagian kecil masyarakat saja.[]
#LamRas
#LamRad
#LiveOppressedOrAriseUpAgainst
___________
Ref.:
https://entrepreneur.bisnis.com/read/20230705/265/1671856/daftar-konglomerat-pemilik-kawasan-ekonomi-khusus-kek-di-indonesia.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20231213220506-4-497112/geliat-kek-topang-ekonomi-ri-lewat-investasi-lapangan-kerja