Mempertanyakan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI)



Endah Sulistiowati
(Dir. Muslimah Voice)


Data yang diperoleh dari dataindonesia.id, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) melaporkan, jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) yang ditempatkan di luar negeri sebanyak 200.761 orang pada 2022. Jumlah tersebut melesat 176,44% dibandingkan setahun sebelumnya yang sebanyak 72.624 orang.


Melihat trennya, jumlah PMI yang ditempatkan di luar negeri cenderung berfluktuasi. Saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020 dan 2021, penempatan PMI merosot tak sampai 200.000 orang lantaran banyak negara yang menutup pintu kedatangannya.


Adapun, PMI yang ditempatkan di luar negeri paling banyak berasal dari Jawa Timur pada 2022, yakni 51.348 orang. Setelahnya ada Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan masing-masing PMI yang ditempatkan sebanyak 47.480 orang dan 33.285 orang. Berdasarkan jenis kelaminnya, 122.147 PMI yang ditempatkan di luar negeri merupakan perempuan. Sementara, PMI berjenis kelamin laki-laki yang ditempatkan di luar negeri sebanyak 78.614 orang. (https://dataindonesia.id/tenaga-kerja/detail/penempatan-pekerja-migran-indonesia-capai-200761-orang-per-2022.)


Namun sayangnya banyaknya PMI di luar negeri tidak diimbangi dengan perlindungan oleh negara kepada mereka. Sehingga banyak kasus yang akhirnya menimpa para pekerja migran tersebut.
 

Mengutip dari VOA Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) mengatakan masih banyak Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN) swasta yang memiliki asrama penampungan calon pekerja migran Indonesia (CPMI) dengan kondisi yang jauh dari layak dan tidak manusiawi.


Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mengatakan berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan pada 2022, para calon pekerja migran, terutama perempuan, kerap mendapat perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat di tempat-tempat penampungan tersebut.


Di sisi lain, absennya upaya pencegahan dan antisipasi terhadap kekerasan, pelecehan dan perundungan menyebabkan korban tidak tahu harus melapor ke mana. Akibatnya, korban tidak mendapat penanganan dan pemulihan.


Kewajiban Negara Menyediakan Lapangan Pekerjaan


Menyediakan lapangan pekerjaan dan memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) adalah tugas negara. Sehingga rakyat benar-benar bisa hidup dengan tenang. Apalagi Indonesia yang kaya sumber daya alam, serta memiliki tanah yang subur. Jika kekayaan alam diproses dan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, niscaya kesejahteraan rakyat akan mudah tercapai.
 

Sayangnya negara ini dijalankan dengan sistem kapitalis sekuler, yang menjadikan negara berfungsi sebagai regulator, sedang negara sendiri dijalankan seperti sebuah perusahaan yang selalu menghitung untung rugi. Efeknya kekayaan alam tidak lagi dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat, melainkan dikelola oleh swasta dan asing untuk memperkaya diri mereka. Rakyat tinggal gigit jari.


Pemerintah pun tidak mampu menjamin kebutuhan dasar warganya, serta tidak mampu membuat mekanisme ekonomi yang kondusif. Akhirnya, rakyat harus mengais sendiri pundi-pundi rupiah demi tercukupinya kebutuhan pokok mereka, bahkan harus dilakukan meski sampai ke luar negeri. Sebab, di luar negeri inilah adanya demand (permintaan) tinggi untuk pekerja skill rendah sesuai kondisi rendahnya skill orang Indonesia.


Miris, mayoritas PMI adalah perempuan. Padahal, dalam pandangan Islam tidak ada kewajiban bagi perempuan untuk mencari nafkah. Tetapi, karena kondisi pendistribusian ekonomi negara yang amburadul, ditambah sulitnya lapangan pekerjaan di Indonesia, membuat mereka terpaksa bekerja ke luar negeri. Inilah yang kemudian memunculkan banyak problem turunan seperti human trafficking, pelecehan, penganiayaan dan lainnya seperti yang telah disebutkan di atas.


Benang kusut derita “pahlawan devisa” akibat malapraktik sistem kapitalisme yang merupakan buah akal manusia. Solusinya selalu saja hanya tambal sulam. Tidak pernah komprehensif dan justru memunculkan masalah yang baru.
Berbeda secara diametral dengan Islam yang memiliki mekanisme pengaturan kehidupan manusia yang komprehensif menutup celah berbagai problematik kehidupan, termasuk problem PMI ini. Sebab, aturan Islam berasal dari Allah Swt..


Dalam sistem Islam yakni Khilafah, negara wajib memelihara dan mengatur urusan umat. Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.“ (HR Bukhari dan Muslim).


Pemerintah dalam Khilafah akan menyediakan lapangan pekerjaan kepada para pencari kerja secara keseluruhan. Berdasarkan aspek kewajiban mencari nafkah bagi laki-laki maka negara memudahkannya dengan menyediakan lapangan kerja yang maksimal dan menjamin setiap kepala keluarga untuk mendapatkannya. Ditambah dengan mekanisme gaji yang layak, tidak seperti saat ini dengan adanya kebijakan upah minimum provinsi (UMP), yang membuat rakyat mendapatkan upah yang minim sehingga kebutuhan keluarganya tidak tercukupi.


Khilafah juga akan meningkatkan knowledge (wawasan) dan skill (keahlian) rakyatnya mulai dari kurikulum-kurikulum semasa di sekolah sampai ke perguruan tinggi sehingga tidak ada lagi alasan kurangnya kemampuan sumber daya manusia (SDM) di dalam negeri. Hal ini guna mencegah terjadinya solusi pamungkas negara kapitalisme yaitu merekrut tenaga kerja asing yang tidak hanya menjadi pekerja, bahkan tidak jarang berperan besar dalam mengelola harta milik umum, yakni pengelolaan kekayaan sumber daya alam (SDA) negeri ini.


Selain itu, rakyat tidak mengandalkan pemasukan hanya dari gajinya bekerja. Sebelumnya negara telah mencukupi kebutuhan asasi atau dasar rakyatnya secara cuma-cuma melalui harta milik umum yang hasilnya akan dinikmati oleh pemilik sebenarnya yaitu rakyat. Inilah bentuk tanggung jawab negara terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat, bukan hanya sekadar regulator semata.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama