Oleh: Ummu Shaffiya
Aku melihat negeriku ini tidak baik-baik saja. Siapa yang tak kenal negeri ku, Indonesia? Sampai-sampai ia dijuluki "Ratna Mitumanikam", kamu tahu artinya? Wadahnya bermacam-macam permata. Itu berarti negeriku sangat indah, sumber daya alamnya banyak, pantainya indah, alamnya asri, negaranya kaya, bahkan data terakhir menyebutkan, Indonesia berada diperingkat ke-7 negara terkaya di Dunia.
Tetapi mengapa sekarang banyak yang mengeluh? Seharusnya kita nyaman tinggal di negeri seelok ini, sekaya ini?
Ternyata masalah kesejahteraan masih menjadi problem utama di negeriku, Indonesia. Ya, ia memiliki julukan yang sangat indah, tapi tak seindah kenyataannya. Laut, darat bahkan udaranya mayoritas dikuasai investor, kami sebagai rakyat menggantungkan hidup dengan mengais remah-remahnya. Banyak yang menjadi buruh pabrik, pegawai-pegawai teknis, yang itupun sudah bekerja selama 8-12 jam, tetap dibayar dengan upah yang sangat minim.
Satu sampai 3 juta perbulan, itu upah yang sangat wajar di negeriku. Aku, kamu, rakyat diminta bersabar, hidup berhemat, apa-apa pas-pasan, sedangkan kami harus membayar biaya lain-lain sendiri, semisal biaya kesehatan dan pendidikan. Apakah itu semua cukup? Ya, kamu bisa berpikir sendiri pasti tidak mungkin cukup.
Beruntungnya, aku tinggal di sebuah provinsi yang mana upah pekerjanya paling sedikit se-Indonesia. Kamu tahu dimana? Betul sekali, Jawa Tengah.
Detik Jateng melansir, UMP Jateng di tahun 2023 sebesar Rp 2.036.947, nilai ini naik sebesar 4 persen dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kita bisa menilai sendiri, gaji sekecil ini cukup mendzalimi kita sebagai rakyat karena semua kebutuhan pokok, listrik dan lain-lain juga naik.
Sudah bisa membayangkan, bagaimana struggle-nya keluarga hari ini bertahan dengan pendapatan sekecil itu?
Usut punya usut, upah murah ini akibat pemerintah menetapkan formula atau rumus baru untuk menetapkan UMP suatu provinsi. Ada beberapa hal yang dipertimbangkan, yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, penyerapan tenaga kerja, dan indeks tertentu (atau dalam rumus disebut Alfa). Hanya saja diprediksi, jika menggunakan rumus ini kenaikan UMP setiap tahunnya tidak akan lebih dari 5 %.
Sejurus dengan itu, Partai Buruh dan Perserikatan Buruh meminta pemerintah tidak memakai formulasi ini untuk menetapkan UMP, mereka meminta UMP bisa naik sebesar 13-15%. Jika kita hitung, 15% dari Rp 2.000.000 sebesar Rp 300.000, sebenarnya ini nilai yg kecil juga bagi negara yang diklaim 10 besar terkaya di dunia, seharusnya.
Lagi-lagi, aku dan kamu harus tahu bahwa biang kerok dari upah murah ini adalah sistem kapitalisme. Yang mana, upah akan disesuaikan dengan kebutuhan hidup paling minim. Wajar kalau kita harus hidup serba minimalis. Sementara pemilik usaha atau investor meraup cuan sebanyak-banyaknya.
Ada hal yang menarik, Sindonews.com merilis sebuah artikel yang mengungkap siapa dalang dibalik upah murah di Indonesia. APINDO (asosiasi pengusaha Indonesia) dianggap sebagai dalang dibalik rendahnya upah buruh, dikarena mereka senantiasa menggugat jika perubahan perpu tentang upah minimum buruh, namun anehnya, sesampainya di Mahkamah Agung mereka yang selalu menang.
Hahahahaha. Aku ingin menertawakan negeriku, ternyata ia selucu ini. Aku makin bertanya-tanya, dimana keadilan yang diusung demokrasi kapitalis? Katanya dari, untuk dan oleh rakyat. Tapi mengapa nasib baik selalu berpihak para pebisnis?
Bagaimana penetapan upah dalam Islam?
Dijelaskan didalam Kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 155 yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani,
يَجُوْزُ أَنْ تَكُوْنَ اْلأُجْرَةُ حَسْبَ مَنْفَعَةِ الْعَمَلِ، وَ أَنْ تَكُوْن حَسْبَ مَنْفَعَةِ الْعَامِلِ، وَلا تَكُوْنُ حَسْبَ مَعْلُوْمَاتِ اْلأَجِيْرِ، أَوْ شَهَادَاتِهِ الْعِلْمِيَّةِ، وَلاَ تُوْجَدُ تَرْقِيَّاتِ لِلْمُوَظَّفِيْنَ بَلْ يُعْطُوْنَ جَمِيْعَ مَا يَسْتَحِقُّوْنَه مِنْ أَجْرٍ سَوَاءٌ أَكَانَ عَلَى الْعَمَلِ أَمْ عَلَى الْعَامِلِ.
Upah boleh ditentukan sesuai dengan manfaat kerja dan bisa juga sesuai dengan manfaat pekerja. Upah tidak ditentukan berdasarkan biodata pekerja atau sertifikat ilmiahnya. Tidak ada kenaikan gaji bagi para pegawai, namun mereka diberi semua upah yang menjadi hak mereka, baik berdasarkan (manfaat) pekerjaan atau pekerja.
Bekerja (al-ijaarah) didefiniskan sebagai akad yang terjadi atas suatu manfaat dengan suatu kompensasi. Manfaat bisa dinisbahkan kepada diri pekerja itu sendiri, seperti pembantu rumah tangga atau pada pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pekerja, seperti insinyur.
Selain dua jenis manfaat ini, akad tidak boleh diberlakukan. Akad tidak berlaku atas manfaat biodata atau manfaat sertifikat ilmiah. Akad hanya berlaku pada manfaat aajir (pekerja), baik manfaat diri pekerja itu sendiri, atau manfaat pekerjaannya.
Adapun upah semata-mata merupakan kompensasi dari manfaat tersebut (manfaat pekerja atau pekerjaannya). Atas dasar itu, Upah cukup berupa upah yang jelas, tanpa dibatasi dengan batasan tertentu.
***
Tentu, jika saja negara ini mengadopsi hukum Islam sebagai standar berkehidupan, aku, kamu, dan masyarakat enggan untuk mengeluh. Karena upah akan sesuai dengan beban pekerjaan, dan tentunya pemberi upah akan menggaji pegawainya dengan niat lillahi ta'ala, khawatir berdosa jika mendzalimi. Dan pegawaipun akan semangat untuk melaksanakan amanah karena haknya juga tertunaikan dengan baik. Jadi, tidak usah dibanding-bandingke dengan sistem kapitalis, yang apapun niat dan tujuannya, hanyalah untuk meraup uang semata.