Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.
Dalam acara COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, Kamis (30-11-2023), Menko Marves Ad Interim Erick Thohir memamerkan aksi nyata Indonesia dalam mengatasi masalah iklim, salah satunya perihal pencegahan kebakaran hutan. Saat ini, katanya, hampir seluruh luas kebakaran hutan di Indonesia sudah berkurang secara signifikan sebesar 82%, yakni dari 1,6 juta hektare (2019) menjadi 296 ribu hektare (2020).
Hal ini diamini oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, yang menegaskan bahwa pada peristiwa El Nino 2023 ini Indonesia menunjukkan kepemimpinannya dalam bidang iklim, dengan hanya 16% dari total kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh kebakaran gambut.
Selain kebakaran hutan, Erick memamerkan cara Indonesia mengatasi deforestasi. Ia menyebut mulanya terdapat 3,51 juta hektare hutan gundul akibat deforestasi pada 1996-2000. Angka tersebut perlahan turun ke level 1,09 juta hektare (2014-2015) dan 470 hektare (2018-2019). Ia juga menyebut Indonesia sukses menurunkan 75% angka deforestasi ke 104 ribu hektare pada 2019-2022, sebagai angka yang terendah sejak 1990. (CNN Indonesia, 1-12-2023).
Karhutla 2021?
Kendati demikian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia sebanyak 358.867 hektare (ha) pada 2021. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan pada 2020 yang seluas 296.942 ha.
Karhutla 2021 banyak terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni mencapai 137.343 ha. Kemudian diikuti Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan luasan karhutla mencapai 101.173 ha, Kalimantan Barat (20.590 ha), Papua (15.979 hal), dan Jawa Timur (15.458 ha).
Jika melihat trennya, sejatinya karhutla di Indonesia cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun. Untuk 2023 ini, sejak awal tahun kejadian karhutla sudah diprediksi akan meningkat di sejumlah wilayah, khususnya saat musim kemarau, seperti Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Namun, baik mencermati tren yang fluktuatif maupun prediksi awal tahun, karhutla yang tetap terjadi justru menunjukkan bahwa upaya pencegahannya minimalis. Upaya penanggulangannya oleh pemerintah pun selama ini belum efektif, bahkan masih jauh dari tuntas.
Karhutla, Capaian Vs. Fakta
Dalam acara yang sama, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menyatakan bahwa karhutla yang terjadi pada 2023 tidak menimbulkan kabut asap lintas batas. Ia mengeklaim, capaian-capaian itu tidak terjadi secara autopilot, melainkan hasil dari tindakan nyata terhadap perubahan iklim di lapangan. Meski pernyataan tersebut tampak baik, akan tetapi fakta menunjukkan bahwa karhutla masih terjadi. Demikian pula dengan kabut asap yang timbul akibat karhutla, tentunya tidak otomatis lenyap begitu saja.
Sebagai informasi, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terjadi 526 kejadian karhutla di Indonesia sejak 1 Januari hingga 5 September 2023. Baru delapan bulan berjalan, angka tersebut (526 kasus) justru menunjukkan bahwa kasus karhutla selama 2023 melonjak 108,73% dibandingkan sepanjang 2022.
Adapun luas lahan yang terbakar, menurut catatan KLHK, sejak Januari-Juli 2023 Indonesia mengalami karhutla seluas 90.405,15 ha. Sampai detik ini pun karhutla bahkan masih terus terjadi di sejumlah wilayah. Lebih jauh, kondisi ini diperparah oleh bencana lanjutan, seperti banjir saat musim hujan datang.
Dari sini menjadi jelas, bahwa pernyataan pemerintah di hadapan dunia internasional saat acara COP28 malah lebih tampak sebagai pencitraan dibandingkan aksi nyata yang sebenar-benarnya di lapangan. Rakyat yang terdampak langsung dengan kabut asap karhutla maupun bencana lanjutannya, seakan-akan diabaikan tanpa ada keprihatinan, alih-alih kepedulian, dari pemerintah.
Karhutla dan Kepentingan Kapitalisasi
Kita tidak bisa menutup mata bahwa karhutla erat kaitannya dengan alih fungsi lahan, yang dengan kata lain yakni adanya kapitalisasi di lahan tersebut. Per Oktober 2023, KLHK diketahui telah menyegel lahan konsesi 48 perusahaan terkait karhutla. Selain itu, terdapat 260-an perusahaan yang telah mendapat sanksi teguran. Perusahaan-perusahaan itu melakukan modus pembukaan lahan sawit dengan cara membakar hutan. Tampaknya, sudah jamak diketahui oleh kalangan pengusaha, bahwa membakar hutan adalah cara termudah dan tercepat untuk membuka lahan.
Lahan perusahaan yang telah disegel terkait karhutla tersebut mayoritas di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, dan Riau. Daerah yang mengalami karhutla itu pun masih sama dengan daerah karhutla sejak dahulu kala.
Mencermati hal ini, jika kasus karhutla kita kaitkan dengan laju kapitalisasi berupa pembukaan lahan tersebut, karhutla malah lebih tampak sebagai bencana lingkungan yang terjadinya disengaja. Artinya, seakan-akan dipelihara agar terus terjadi. Terlebih kejadiannya juga terus berulang, tetapi seolah mustahil dihentikan.
Kapitalisme, Rakus dan Serakah
Hutan dan SDA adalah bagian dari alam semesta yang harus dijaga kelestariannya. Jelas, pemanfaatannya tidak boleh menggunakan kacamata investasi dan eksploitasi seperti yang kapitalisme lakukan.
Sebab, kacamata kapitalisme jelas menghasilkan sikap rakus dan serakah untuk menguasai hutan/SDA tersebut tanpa peduli jika harus menzalimi pihak yang lemah sebagaimana rakyat kecil. Apalagi jika segala bentuk kapitalisasi lahan itu berlaku secara legal berdasarkan undang-undang, eksploitasi tentu makin merajalela.
Tidak heran, karhutla pun menjadi jalan pintas sehingga para pengusaha itu bisa sesegera mungkin melakukan aktivitas ekonomi di lahan tersebut. Namun demikian, kerusakan alam dan lingkungan adalah dampak yang tidak bisa dihindari, terutama bagi warga setempat.
Khilafah Menjaga Kelestarian Alam
Sungguh, Allah Taala menciptakan SDA dalam jumlah yang cukup untuk manusia hingga hari kiamat. Faktor yang menjadikan SDA terasa kurang adalah keserakahan, sementara yang menjadikannya terasa cukup adalah keberkahan. Oleh karena itu, sudah semestinya manusia mengelolanya sesuai dengan petunjuk Allah agar bumi ini beserta segala isinya senantiasa diberkahi oleh Allah.
Allah Taala berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96).
Sayangnya, iklim kapitalisasi yang berlindung di balik sistem demokrasi ini telah memfasilitasi keserakahan para pemodal. Akibatnya, hutan dan SDA yang sejatinya harta kepemilikan umum tidak terdistribusi merata bagi seluruh manusia, padahal keduanya haram untuk mereka miliki secara pribadi. Sebaliknya, pemanfaatannya harus dalam rangka sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Meski demikian, tetap tidak boleh mengabaikan aspek konservasi ekologis.
Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api; dan harganya adalah haram.” (HR. Ibnu Majah).
Syariat Islam melarang tegas negara ataupun individu untuk menswastanisasi harta milik umum (rakyat) tersebut. Dalam hal ini, penguasa Khilafah wajib mengelola harta milik umum tersebut dan mengembalikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Oleh karena itu, Khilafah sangat berkepentingan untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Khilafah juga berusaha keras mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dari eksploitasi SDA secara serakah dan berlebihan.
Allah Taala berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum [30]: 41).
Wallahualam bissawab.[]