Milisi Bukan Solusi Menghadapi Entitas Yahudi

 


Mia Annisa (Pegiat Literasi) 


Sudah lebih dari satu bulan bahkan November akan segera berakhir. Gaza masih membara, hujan peluru, rudal, tumpahan darah dan air mata perempuan dan anak-anak tak berdosa terus bertambah. Dikabarkan sudah lebih dari 11 ribu jiwa menjadi korban keganasan zionisme Israel di bawah kepemimpinan Netanyahu. Mereka menjadi target serangan utama dari darat, laut dan udara


Israel juga menghancurkan infrastruktur, seperti sekolah dan rumah sakit yang 51% mengalami kerusakan parah, air dan sanitasi terjun bebas, kekurangan pangan, akses bantuan kemanusiaan yang dibatasi belum lagi banyaknya warga Gaza yang kehilangan pekerjaan akibat penjajahan Israel. Mereka harus mengungsi di kamp-kamp pengungsian yang jauh dari kata layak.


Semula hanya Hamas yang melakukan aksi perlawanan terhadap agresi yang dilakukan oleh Israel ke Jalur Gaza akhirnya turut memantik reaksi milisi pendukung Palestina di Timur Tengah untuk ikut melancarkan tindakan balasan.


Terbaru, milisi Hizbullah di selatan Lebanon menembakkan puluhan roket ke Kota Kiryat Shmona Israel pada Kamis (2/10).


Secara resmi milisi Houthi di Yaman juga meluncurkan rudal balistik dan dronenya untuk menyerbu Israel pada Selasa (31/10). Yang menargetkan sejumlah instansi penting militer Israel.


Bergabungnya para milisi sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap kebengisan Zionisme Israel. Hal ini juga bentuk reaksi terhadap diamnya negara-negara Arab atas genosida yang dilakukan Israel di Palestina. Sejauh ini negeri-negeri tetangga Palestina yang mereka lakukan hanya sebatas mengecam, mengutuk serta menyerukan penghentian perang secara nyata.


Mesir, negara yang berbatasan secara langsung dengan Palestina betapa sulitnya membuka perbatasan Rafah. Ini terlihat bagaimana banyaknya pasokan bantuan-bantuan dari luar harus tertahan selama berhari-hari dengan ribuan warga Palestina berada di sisi perbatasan Gaza. Jika bukan karena Kairo telah menerapkan ketat terhadap pergerakan melalui penyeberangan Rafah selama bertahun-tahun - sedemikian rupa sehingga banyak warga Palestina menuduh Mesir memperkuat blokade Israel terhadap Gaza, yang telah diberlakukan sejak Hamas mengambil alih kekuasaan penuh di sana pada tahun 2007. Yang paling kentara mengapa Kairo enggan untuk membuka penyeberangan tanpa syarat dan jaminan yang jelas mungkin lebih merupakan upaya untuk menghindari eksodus massal warga Palestina dari Gaza.


Arab Saudi di tengah disembelihnya rakyat Palestina, mereka justeru menggelar Riyadh season, konser musik yang mengundang Shakira dengan dalih membuka 200 ribu lapangan pekerjaan dan pemberdayaan 2.000 perusahaan lokal dan internasional. Di bawah pemerintahan Salman, penguasa tiran ini juga melarang para imam masjid untuk memberikan ceramahnya berkaitan dengan Palestina dan mengirimkan tentara ke wilayah itu.


Diamnya negara-negara Arab tentu mengundang kekecewaan dan menjadikan  milisi Hamas berjuang secara independen membela darah, harta dan agamanya tanpa dukungan negara sangatlah tidak seimbang. Sebab, mengingat Israel mendapatkan dukungan penuh dari Amerika baik secara dana serta senjata sebelum posisi negara adidaya berpindah dari tangan Inggris ke Amerika. Semula pendudukan zionis terhadap Palestina dibantu oleh Inggris melalui perjanjian Balfour mengeluarkan deklarasi yang isinya menyatakan mendukung pendirian 'nasional home' bagi bangsa Yahudi di Palestina. Dan ini didukung oleh negara-negara Eropa lainnya hingga saat ini. 


Sejatinya peperangan yang terjadi di Palestina kekuatan negara Israel yang dibacking oleh negara adidaya seyogianya harus dilawan dengan kekuatan negara pula, bukan milisi Hamas. Sebab membela saudaranya merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh sesama muslim dan negeri muslim lainnya. Di mana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wa Ta'ala:


وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِۚ  وَلَا تُقٰتِلُوْهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتّٰى يُقٰتِلُوْكُمْ فِيْهِۚ فَاِنْ قٰتَلُوْكُمْ فَاقْتُلُوْهُمْۗ  كَذٰلِكَ جَزَاۤءُ الْكٰفِرِيْنَ 


"Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang kafir."


Sayangnya, pasca perjanjian skyes picot semua wilayah dicacah berada di bawah penguasaan Inggris dan Perancis. Dua negara ini berbagi wilayah Lebanon, Suriah, Turki Tenggara dan Alexandria berada di bawah kontrol Perancis. Sementara Inggris menguasai wilayah Yordania, Irak dan Palestina kemudian pelabuhan Utara Haifa. Sementara Jerusalem Betlehem berada di bawah kontrol internasional. Hijaz atau yang sekarang lebih dikenal Arab Saudi mengatasnamakan nasionalisasi Arab melepaskan diri dari pemerintahan Turki di bawah persekongkolan jahat Syarif Husein dan Henry McMahon. 


Wajar, jika akhirnya saat ini melihat konflik Palestina bukanlah sebagai permasalahan kaum muslimin melainkan hanya sebatas problem rakyat Palestina dan Israel saja. Ini karena kaum muslimin dibatasi oleh sekat nasionalisme atau nation state. Sebuah tipu muslihat atau akal-akalan barat untuk menguasai dan mengendalikan kaum muslimin di bawah kekuasaan mereka. 


Sejatinya permasalahan Palestina adalah permasalahan kaum muslimin seluruh dunia. Karena penderitaan kaum muslimin di Palestina diibaratkan adalah salah satu anggota tubuh yang sedang mengalami sakit. Dari An-Nu'man bin Bisyir, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:


"Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan turut merasakan sakitnya." (HR Muslim)


Dalam urusan ini negara yaitu daulah khilafah harus menolong muslim Palestina. Hanya berharap pada milisi Hamas bukanlah solusi sebab kapasitas mereka hanyalah mempertahankan diri dari penindasan zionisme Israel bukan melenyapkan dan mengusir mereka dari tanah Al Quds. 


Haruslah Ada Kepemimpinan Islam


dengan kekuatan politik globalnya akan mampu memobilisasi seluruh potensi kekuatan penuh baik dari sisi militer, SDM dan finansial memobilisasi jihad Akbar untuk membebaskan Palestina di bawah satu komando yaitu Khalifah, Amirul mukminin. Inilah kekuatan yang sepadan untuk melawan entitas Yahudi, negara berhadapan dengan negara. Bukan negara berhadapan dengan milisi. 


Berikutnya dengan adanya khilafah negeri-negeri muslim tidak hanya menjadi penonton ketika melihat saudaranya berada dalam kenestapaan dan penderitaan seperti yang terjadi saat ini. Negeri-negeri muslim hanya mampu memberikan bantuan kemanusiaan, obat-obatan, makanan, minuman, pakaian dan yang lainnya. Lebih dari itu, jihad adalah perjuangan paling mulia untuk membela saudaranya. Wallahualam bishawab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama