Oleh: Kartini Rosmalah D.K. (Dosen, Tinggal di Kota Bekasi)
Pembentukan BRICS merupakan kumpulan negara-negara berkembang yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan yang bekerja sama dalam bidang ekonomi sebagai upaya perlawanan terhadap dominasi Amerika Serikat (AS) dan sistem kapitalisme global yang selama ini dianggap diskriminatif kepada negara-negara berkembang. Awalnya, pada tahun 2006, organisasi ini, hanya terdiri dari empat negara saja, yaitu Brazil, Rusia, India dan Cina yang bertemu di Rusia. Nama organisasinya adalah BRIC, dimana nama organisasi ini sebagai singkatan atau akronim dari nama awal keempat negara tersebut. Tahun 2010, negara Afrika Selatan (South Africa) mulai bergabung pada blok ini dan menambahkan huruf S pada nama organisasinya menjadi BRICS.
BRICS dianggap sebagai kelompok ekonomi yang penting. Sebab, dari jumlah populasinya berjumlah 41% dari total penduduk dunia, menguasai 24% GDP dunia dan 16% dari jumlah perdagangan dunia. Cina sendiri saat ini sudah menjadi pesaing AS dalam pertumbuhan ekonomi. Begitu pula dengan Rusia, India, Brasil dan Afrika Selatan sudah masuk dalam jajaran 50 negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia.
Setelah pertemuan tahunan di Afrika Selatan pada tanggal 22-23 Agustus 2023 lalu, BRICS merencanakan per Januari 2024 akan menambah luas keanggotaannya dengan bergabungnya enam negara lain yaitu Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, UEA (Uni Emirate Arab). Jika enam negara ini bergabung maka potensi ekonomi BRICS akan semakin besar.
BRICS ini sejak awal didirikannya dianggap sebagai kompetitor baru terhadap Barat yang akan menguasai aturan perdagangan dan keuangan dunia melalui dana moneter internasional dan organisasi perdagangan dunia. Kompetitor yang jelas seperti negara-negara G7 adalah negara-negara industri dan maju yang terdiri dari AS, Kanada, Inggris, Prancis, Italia, Jerman dan Jepang akan menjadi pesaing kuat dari negara-negara BRICS ini.
NDB (New Development Bank) yang didirikan oleh BRICS tahun 2014 mampu memberikan kucuran utang kepada para anggotanya untuk pembangunan infrastruktur dan program ekonomi lainnya. Utang ini diberikan tanpa syarat dan sebagai jalan meminimalisasi penggunaan dolar dan menggantikannya dengan uang lokal, seperti Yuan atau Rupee.
Joe Sullivan, mantan Ekonom Gedung Putih, menegaskan mata uang dolar bisa menghadapi tantangan besar dari negara-negara BRICS, karena banyaknya anggota blok tersebut yang semakin besar pada perdagangan global. Menurutnya negara-negara BRICS bisa menciptakan mata uang yang mampu menyaingi dolar AS dalam perdagangan internasional. Mata uang tersebut bisa memiliki potensi untuk menggulingkan dolar dari posisinya di puncak pasar perdagangan global dan sebagai mata uang cadangan yang dominan. (SINDOnews.com, 8/11/23).
Rencana penggantian dolar AS tersebut atau disebut dedolarisasi sebagai mata uang transaksi antarnegara ini menjadi pusat perhatian negara-negara BRICS. Sebab, ketergantungan terhadap dolar AS mengakibatkan dampak negatif terhadap stabilitas ekonomi negara.
Dikutip pada laman MNews (16/6/23), ada empat dampak negatif yang diungkapkan Muhammad Ishak, Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA), yaitu:
Pertama, ketergantungan pada kebijakan moneter AS. Sebagai mata uang cadangan internasional, nilai dan stabilitas dolar AS memiliki dampak yang penting pada ekonomi dunia. Stabilitas dolar sangat bergantung kepada kebijakan moneter AS, sedangkan negara lain memiliki keterbatasan dalam mengontrol kebijakan yang dipengaruhi oleh mata uang mereka sendiri.
Kedua, risiko devaluasi dolar. Secara definisi devaluasi mata uang adalah kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk melakukan penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar negeri. Dalam kapasitas negara, kemampuan pemerintah AS untuk mencetak lebih banyak dolar dan tingkat utang yang meningkat dapat menyebabkan depresi mata uang dalam jangka waktu tertentu. Devaluasi ini sebenarnya bisa mengikis daya beli negara-negara yang masih memiliki cadangan dolar yang signifikan dan meningkatkan risiko ketidakstabilan keuangan negara.
Ketiga, tingginya dampak fluktuasi nilai tukar. Fluktuasi nilai dolar AS bisa berdampak signifikan pada perdagangan global dan pasar keuangan. Perubahan bisa saja tiba-tiba dalam menilai dolar AS dan hal ini bisa menciptakan ketidakpastian dan volatilitas, memengaruhi daya saing ekspor – impor, investasi asing, dan pembayaran utang.
Keempat, pengaruh geopolitik. Dominasi dolar memberikan AS memiliki pengaruh geopolitik yang kuat. Penggunaan sanksi ekonomi dan potensi pengucilan dari sistem keuangan berbasis dolar AS bisa memberikan tekanan yang kuat pada negara-negara dan membatasi ekonomi negara-negara tersebut.
Dedolarisasi yang Ideal
Dedolarisasi yang ideal adalah dengan menggunakan mata uang emas dan perak sebagai standar. Alasannya, jika dedolarisasi masih tetap menggunakan mata uang kertas maka tidak akan sempurna di dalam melindungi ekonomi negara. Otoritas bank sentral dalam memberikan keluasan mencetak uang kertas kadang melebihi pasar, sehingga memberikan peluang terjadinya gelembung ekonomi. Selain itu, pencetakan uang kertas yang lebih banyak daripada kebutuhan akan berdampak pada inflasi ekonomi yang merugikan orang-orang yang memiliki simpanan.
Berbeda dengan mata uang emas dan perak yang memiliki banyak keunggulan. Salah satunya adalah memastikan jumlah uang dalam negara akan sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang membuat laju pertumbuhannya menjadi nyata dan berkelanjutan. Ekonomi berstandar emas dan perak ini melarang bunga yang tidak akan menciptakan kredit sehingga menjamin integritas dalam perekonomian negara. Dalam status kedudukan negara, maka wajib mata uang cadangannya 100% adalah emas bukan sebagai opsional.
Khatimah
Pada dasarnya standar mata uang emas dan perak ini sudah dijalankan berabad-abad lamanya oleh institusi negara Islam, mulai dari jamannya Rasulullah saw. sebagai kepala negara pertama di Madinah, khulafah rasyidin sampai khilafah setelahnya. Basis emas dan perak akan menjamin kestabilan kondisi ekonomi negara. Jika digunakan saat ini, maka mata uang emas dan perak akan menjaga keseimbangan neraca pembayaran antar negara secara spontan, tanpa campur tangan bank sentral yang melakukan intervensi setiap kali nilai tukar tidak stabil di antara mata uang asing. Inilah keistimewaannya standar mata uang emas dan perak dan standar ini tidak akan bisa berjalan kecuali menerapkan syariat Islam sebagai asas institusi negaranya. Wallahu’alam bishshawab. []
Catatan:
1. GDP (Gross Domestic Product) atau Produk Domestik Bruto (PDB) adalah salah satu metode dalam menghitung pendapatan nasional dalam sebuah negara. Definisi lain, GDP adalah jumlah produk barang dan jasa, yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah negara (domestik) selama satu tahun. GDP juga merupakan salah satu indikator ekonomi negara. Cara menghitung GDP adalah dari jumlah nilai barang dan jasa akhir, yang dihasilkan seluruh unit perekonomian suatu negara. Rumusnya yaitu GDP = C + I + G + (X - M). Artinya C = konsumsi pribadi, I = Investasi Bisnis, G = pengeluaran pemerintah, X = ekspor, M = Impor.
2. Volatilitas adalah ukuran seberapa cepat atau lambat harga suatu aset berubah dari waktu ke waktu.