Oleh Diyani Aqorib
(Aktivis Muslimah Bekasi)
Rempang bergejolak. Kenyamanan hidup masyarakat di Pulau Rempang terusik oleh ulah oligarki yang tamak. Mereka diminta angkat kaki dari tanah yang telah mereka diami selama ratusan tahun. Tempat di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan, serta mencari penghidupan. Namun, kini hanya rasa sedih dan kecewa pada para penguasa yang telah rela menggadaikan tanah mereka demi kepentingan oligarki.
Demi terwujudnya program strategis nasional berupa Rempang Eco-City kawasan Pulau Rempang pun harus dikosongkan. Hal ini mau tidak mau akan menggusur ribuan anggota masyarakat adat dari 16 suku Melayu Tua di wilayah tersebut. Padahal mereka telah menetap di daerah itu sejak 1834. Menghadapi rencana zalim ini mereka pun tak tinggal diam. Masyarakat Rempang mengadakan penolakan yang puncaknya terjadi bentrokan antara warga dan aparat pada Kamis (7/9). (republika.co.id, 8/9/2023)
Meskipun ada penolakan dari masyarakat Rempang, tampaknya hal tersebut tidak memengaruhi jalannya proyek raksasa ini. Para pengusaha yang tidak mau rugi dan para penguasa yang tuli justru mendukung para oligarki. Buktinya janji pengosongan lahan pada tanggal 28 September akan tetap dilaksanakan. Semua demi terealisasinya proyek Rempang Eco-City senilai 11,6 miliar dolar AS yang telah digelontorkan para investor.
Menurut Anggota Bidang Kebijakan Strategis BP Batam, Enoh Suharto, sesuai komitmen awal bahwa investasi 11,6 miliar dolar AS akan digunakan untuk pembangunan industri silika kaca dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Bahkan, target industri selanjutnya adalah sebesar Rp381 triliun untuk penggunaan lahan seluas 7000 hektar. (republika.co.id, 13/9/2023)
Kejamnya Kapitalisme
Pulau Rempang memiliki potensi sumber daya alam berupa pasir silika atau pasir kuarsa. Di mana pasir silika merupakan bahan utama dalam industri pembuatan kaca dan panel surya. Inilah yang dilirik oleh perusahaan Cina Xinyi Group. Tak tanggung-tanggung mereka berani menanamkan investasi sebesar Rp381 triliun guna mendirikan pabrik kaca yang konon akan menjadi yang terbesar kedua di dunia. Serta pembangunan panel surya di Pulau Rempang, Batam.
Dilansir dari cnnindonesia.com, 21/9/2023, bahwa penandatanganan nota kesepahaman (MoU) telah dilakukan antara Xinyi Group dan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pada 28 Juli 2023 di Chengdu, Cina. Ini berarti apa pun yang terjadi, entah penolakan ataupun protes dari masyarakat luas tidak akan memengaruhi perjanjian yang telah disepakati. Apalagi pemerintah beralasan dengan hadirnya pabrik kaca di Rempang akan menghasilkan keuntungan. Karena menurut Undang-Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah menyatakan bahwa hasil tambang non logam merupakan kewenangan daerah.
Namun, permasalahannya pembangunan Rempang Eco-City justru menggusur penduduk Rempang yang sudah turun temurun tinggal di wilayah tersebut. Lalu, janji pemerintah bahwa mereka akan direlokasi ke Dapur Tiga Sijantung, Pulau Galang nyatanya belum siap. Baik sarana maupun prasarananya. Masyarakat Rempang dijanjikan akan diberikan rumah tipe 45 dengan nilai Rp120 juta secara cuma-cuma ternyata masih dalam tahap pembangunan. Lalu, jika mereka harus hengkang sebelum tanggal 28 September 2023, mereka akan tinggal di mana?
Hal ini justru membuktikan bahwa sistem kapitalisme hanya akan berpihak pada orang-orang kaya. Hanya mereka yang berduitlah yang berkuasa. Semua dapat dikendalikan sesuai keinginan para oligarki. Tak peduli masyarakat menjerit kesusahan dan meminta keadilan atas hak tanah yang mereka miliki.
Kebusukan dan kekejaman kapitalisme terlihat nyata dalam kasus Rempang. Sudah saatnya sistem rusak ini diganti dengan sistem yang berasal dari Ilahi Rabbi, yaitu sistem syariat Islam yang hakiki.
Hanya Islam Solusinya
Dalam Islam pengaturan atas tanah diatur sesuai syariat Islam yang agung. Setiap individu rakyat boleh memiliki tanah dengan jalan yang halal. Seperti melalui jual beli, waris, menghidupkan tanah mati, ataupun pemberian dari khalifah. Jika ada tanah yang didiamkan tidak ditanami atau diurus oleh pemiliknya selama lebih dari tiga tahun, maka siapa saja yang menanami atau menggarapnya berhak memilikinya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: "Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan bagi keringat yang zalim tidak ada hak atasnya." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Lain lagi jika negara berencana membuat sebuah proyek. Jika proyek tersebut mengenai tanah warga, maka negara harus menggantinya sesuai harga yang disepakati. Baik dalam bentuk rumah dan tanah, atau uang. Namun, jika warga tidak rela tanahnya digunakan untuk proyek tersebut, maka negara tidak boleh memaksa. Jadi tidak boleh ada pemaksaan apalagi pengusiran. Karena itu adalah bentuk kezaliman penguasa terhadap rakyatnya. Tentu hal ini didasarkan pada aturan Allah Swt. yang melarang merampas tanah orang lain tanpa hak. Seperti dalam hadis: " Tidaklah salah seorang dari kamu mengambil sejengkal tanah tanpa hak, melainkan Allah akan mengimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat kelak." (HR. Muslim No. 3024).[]