Oleh: Ummu Zamzama
Muntilan Memanas. Kapolresta Magelang Kombes Pol Ruruh Wicaksono mengungkapkan dugaan terjadinya bentrok antarmassa. Kejadian tersebut berlangsung di Jl. Magelang-Jogja KM 13 Kalangan, Pabelan, Mungkid, Magelang pada 15 Oktober 2023 sore hari. Akibat kejadian itu, setidaknya 11 kendaraan roda dua mengalami kerusakan. Ada juga rumah warga yang pecah kaca jendelanya akibat lemparan batu. Polisi menduga, penyebab kejadian itu karena tak terima bleyeran dari salah satu kelompok. Bentrok diduga melibatkan laskar PDIP Jogja dan Gerakan Pemuda Kakbah Militan.
Bentrok dan konflik jelang tahun politik seolah menjadi pemandangan rutin di negeri ini. Karenanya, pihak kepolisian pun melakukan kegiatan simulasi dalam rangka mengantisipasi kejadian tersebut. Seperti yang dilakukan Polres Ponorogo. Kegiatan simulasi dilakukan dalam rangka pengamanan menjelang tahun 2024 mendatang. Menurut Kapolres Ponorogo AKBP Wimboko, kegiatan bertujuan untuk memastikan kesiapan petugas keamanan dalam menghadapi Pemilu 2024 di wilayah Polres Ponorogo. Ada sekitar 500 anggota diterjunkan pada kegiatan simulasi sistem pengamanan kota (Sispamkot) dengan nama Ops Mantap Brata 2023-2024. (inews.id/17-10-2023). Hal yang sama juga dilakukan di wilayah Purwakarta dan tidak menutup kemungkinan untuk wilayah yang lainnya.
Sementara itu di Jakarta, bukan simulasi, melainkan terjadi bentrok atau tawuran sungguhan antar kelompok di Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan. Melansir Kompas.com (25-10-2023) salah seorang warga bernama Asraf mengatakan bahwa bentrok seperti itu biasanya meningkat jelang kontestasi pemilu. Ia juga mengakui adanya peningkatan bentrok jelang pemilu tidak terjadi kali ini saja. Hal itu ia amati sejak tahun 2000.
Miris!
Fenomena bentrok atau tawuran seakan menjadi penyakit menahun yang tak kunjung bisa disembuhkan. Penyakit ini menjangkiti masyarakat kita baik di desa maupun kota. Baik remaja, pemuda, maupun orang dewasa. Penyakit ini juga seolah ditularkan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sungguh miris ini terjadi di negeri yang telah merdeka lebih dari tujuh dekade. Dan mirisnya lagi, terjadi di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Pertanyaannya, apakah tidak ada ‘dokter’ yang mampu mendiagnosa? Atau tidak ada ‘obat’ untuk menyembuhkannya? Jika penyakit ini terus kambuh tiap waktu, bagaimana cita-cita hidup aman dan damai itu bisa diwujudkan? Di Usia kemerdekaan yang tak lagi muda, seharusnya negeri ini bersikap dewasa. Membiarkan penyakit konflik berlarut-larut sama saja dengan membiarkan bangsa ini dilanda bahaya akut. Bahaya yang mengancam persatuan dan kesatuan bahkan keutuhan wilayah. Apa ini tidak bahaya?
Menurut pengakuan pemerintah, pihaknya telah melakukan berbagai upaya preventif maupun kuratif dengan menghukum pelaku. Upaya pencegahan dilakukan dengan dialog antara warga dan aparat keamanan. Tapi, jika melihat realitasnya, kita patut meninjau ulang upaya yang ada. Harus ada upaya alternatif. Upaya itu tentunya berdasarkan akar persoalan, bukan hal-hal cabang semata.
Kalau kita cermati, konflik ini lebih dipicu sentimen golongan/kelompok/partai. Dalam Islam, namanya ashobiyah. Sikap ashobiyah sangat dilarang dalam Islam. Dalam konteks jelang pemilu misalnya, keberpihakan rakyat pada partai hari ini dapat diterjemahkan dalam bahasa emosional, simbolistik, dan figuritas, yang mayoritasnya tidak memahami arah dan tujuan partai. Relasi seperti ini rawan menimbulkan friksi horizontal di masyarakat lantaran ego sektoral dan sentimen buta. Pemicu konflik biasanya adalah hal-hal yang amat sepele, seperti kasus Muntilan di atas. Mirisnya, bentrok lazim terjadi di akar rumput, padahal para elite partai justru berkoalisi demi tercapainya tujuan. Persis ungkapan, “tidak ada teman sejati, yang ada adalah kepentingan sejati”
Waktunya Sadar
Sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar, sudah waktunya umat Islam menyadari dan memahami tujuan yang hendak diraih dan waspada terhadap pihak-pihak yang memanfaatkan suara rakyat untuk kepentingan individu atau kelompok. Untuk itu, PR umat Islam adalah membangun kesadaran politik yang hakiki. Caranya dengan menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam membangun persatuan umat. Islam tidak melarang berpartai. Justru Islam membuka lebar bagi terbentuknya banyak partai politik sebagai sarana muhasabah terhadap penguasa terkait kebijakan publik. Bukan semata sebagai pemeriah ajang kontestasi dalam pemilu. Muhasabah partai terkait aktivitas politik penguasa bukan asal ceplos, melainkan tetap terikat dengan aturan Allah. Sehingga, akan terwujud nuansa saling menghormati dalam menjalankan tugas kepartaiannya, yakni melayani urusan umat, bukan melayani kepentingan partai semata.
Allah SWT berfirman, “(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (Islam), yang memerintahkan kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali Imran: 104) Firman Allah inilah yang semestinya dijadikan acuan dalam berpolitik, berkelompok, dan berjamaah. Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari sikap ashobiyah. Wallahua’lam.[]