Penghapusan Skripsi, Kebijakan Efektif Mengukur Standar Lulusan Kompetensi: Benarkah?



Oleh: Ayu Fitria Hasanah S.Pd

(Pengamat Pendidikan dan Sosial Budaya)


Baru-baru ini terdapat kabar mengejutkan dari mendikbudristek Nadiem Makarim yaitu kebijakan penghapusan skripsi. Kebijakan yang tertuang dalam permendikbudristek no.53 tahun 2023 ini menuai pro kontra di tengah-tengah masyarkat, ada yang senang menyambutnya atau pun mempertanyakan efektivitasnya. Kebijakan episode 26 dari program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) ini dicetuskan dengan pandangan bahwa skripsi sebagai tugas akhir syarat kelulusan S1, tesis untuk S2 dan disertasi untuk S3 dinilai kurang efektif untuk mengukur standar lulusan kompetensi semua prodi. Dengan kata lain tidak semua prodi relevan menunjukkan kompetensinya dengan penulisan skripsi sehingga berpeluang membebani mahasiswa. Nadiem menyampaikan bahwa tugas akhir dapat berbentuk proyek, prototipe, dsb. Meskipun kebijakan ini pada akhirnya diserahkan kepada pihak kampus atau kepala prodi dalam hal opsi penentuan tugas akhir, persoalan ini pada akhirnya membawa pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya efektivitas mengukur standar capaian kompetensi lulusan.


Persoalan tugas akhir tidak harus berbentuk skripsi ternyata bukan hal baru. Di beberapa kampus telah terdapat kebijakan ini sebelum dicetuskan permendikbud no.53 2023 ini. Namun masalah sesungguhnya dari persoalan huru hara bentuk tugas akhir ini adalah para output atau lulusan mahasiswa yang hari ini tidak dirasakan kontribusinya, baik tugas akhirnya berbentuk skripsi atau pun yang lain, peran mahasiswa, intelektual, para sarjana sangat jauh terpisah dari persoalan yang dihadapi masyarkat. Misalnya seperti permasalahan kemiskinan, resesi ekonomi, semakin parah ditengah setiap tahun ribuan sarjana ekonomi lulus. Permasalahan hukum seperti kriminalitas, korupsi semakin hari semakin menjadi-jadi di tengah setiap tahun ribuan sarjana hukum lulus. Persoalan pendidikan seperti krisis moral pada pemuda, kerusakan akhlak pada anak-anak di tengah setiap tahun ribuan sarjana pendidikan lulus. Permasalahan ketahanan pangan seperti stunting, kemandirian sumber pangan di tengah setiap tahun ribuan sarjana pertanian lulus, dan sederet masalah lainnya. Dimanakah keberadaan para intelektual lulusan kampus untuk menghadapi masalah-masalah masyarakat yang sesungguhnya?


Di samping itu, tak sedikit masalah penyimpangan, perbuatan kriminal yang justru banyak terjadi dan dilakukan oleh para mahasiswa, intelektual, pejabat yang merupakan lulusan kampus, seperti masalah narkoba, miras, korupsi, seks bebas, pembunuhan dan lain-lain. Sekalipun ada yang tidak menyumbang aksi penyimpangan, banyak intelektual yang menuntut ilmu hingga lulus sekedar untuk mengejar orientasi materi, memenuhi kebutuhan pasar, memuaskan korporasi dan tutup mata dengan masalah masyarakat, mereka hanya memikirkan kesejahteraan ekonomi mereka sendiri, capaian prestasi mereka sendiri. Karena itu, persoalannya bukan sekedar pada opsi bentuk tugas akhir yang relevan atau tidak, melainkan pada standar atau ukuran capaian kompetensi lulusan yang harus dikoreksi kembali, sehingga mampu menghasilkan lulusan yang berkompeten dan mampu menyelesaikan masalah bangsa dan masyarakat, serta berakhlak mulia.


Maka dari itu, fakta miris kondisi output kebanyakan para lulusan mahasiswa, intelektual hari ini membuktikan adanya kesalahan standar-standar dalam menentukan tujuan pendidikan, standar kompetensi layak tidaknya mahasiswa untuk lulus. Realita pendidikan hari ini yang mengabaikan persoalan akhlak peserta didiknya menjadi catatan merah secara khusus, sebab seringkali standar kompetensi hanya dicukupkan pada capaian akademik. Tujuan pendidikan hari ini yang sekedar cenderung mendorong para peserta didik mampu lulus lebih cepat dan segera bekerja juga menjadi masalah besar, sebab semakin memperbanyak keberadaan intelektual yang pragmatis dan apatis. Inilah hasil output pendidikan yang dibangun berdasarkan asas sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan), dan tujuan pendidikan yang didominasi dengan kepentingan materialistis.


Berbeda dengan Islam yang memiliki pandangan yang khas dan pengaturan pendidikan yang luar biasa, pendidikannya mampu menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia atau berkepribadian islam dan unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya keberadaan lulusan dari pendidikan yang diatur dengan islam akan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada di tengah masyarakat atau masalah-masalah bangsanya. Selain itu, juga menjadi teladan dalam berperilaku, karena dilahirkan sebagai insan-insan yang bertakwa, bukan pelaku-pelaku kriminalitas, atau krisis akhlak. Ini semua karena tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk 1) membentuk kepribadian islam, 2) unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu standar yang dibangun untuk mengukur kompetensi lulusan peserta didiknya tidak sekedar capaian akademik, tidak sekedar dia mampu menjawab soal atau pun menyusun skripsi, tapi juga bagaimana akhlaknya, keterikatan terhadap hukum syara’nya, pemanfaatan terhadap ilmu dan keterampilan yang telah dikuasainya. Inilah pentingnya mengetahui asas yang dipakai dari sebuah pendidikan yang diterapkan, maka jika menginginkan perubahan kepada kebaikan maka pastikan menggunakan pendidikan yang beasaskan pandangan dan pengaturan Islam.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama