Oleh: Tania Regita Cahyani (Mahasiswi)
Syarat sebuah negara antara lain adanya penduduk, wilayah dan pastilah memiliki struktur pemerintah, yang setelahnya akan diakui secara internasional oleh negara-negara lain (katadata.co.id) Dalam menjalankan dan mengamankan kesejahteraan rakyat dari suatu negara pastilah memerlukan pemerintah. Menurut KBBI pemerintah merupakan sekumpulan orang yang bertanggung jawab untuk menjalankan kekuasaan secara bersama-sama. Pemerintah juga bertugas untuk mengadministrasi dan meregulasi negara, dengan tanggung jawab yang berbeda-beda tergantung pada tingkatan jabatannya, pada beberapa zaman dipilih berdasarkan usia, kekuatan fisik, dan juga bisa masa jabatannya berlangsung seumur hidup (britannica.com).
Di Indonesia sendiri, pemerintah akan bertanggung jawab sesuai dengan tingkat jabatan serta jangka waktu yang dimiliki untuk menggunakan kekuasaannya. Dan pada 2024 ini, akan terjadi pemilihan umum (pemilu) yang sesuai dengan pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 2017, terkait pemilihan umum maka masyarakat Indonesia harus memilih antara lain:
1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
2. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
3. Presiden dan Wakil Presiden
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik provinsi maupun kota.
Tentunya dengan banyaknya struktur kepemerintahan yang harus dipilih, maka banyak pula calon yang mendaftarkan diri untuk dipilih pada 2024 nanti. Pada tahun 2023 ini, sudah banyak kemunculan calon-calon yang mendaftarkan diri mereka untuk maju ke dalam struktur pemerintahan tadi. Namun, dalam pencalonan yang sekarang terdapat polemik akibat adanya kelonggaran pada mantan pelaku korupsi yang boleh mencalonkan diri menjadi caleg. ICW (Indonesian Corruption Watch) menyatakan bahwa setidaknya ada 15 orang yang pernah menjadi mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri. Mengutip dari kumparan.com ditemukan 68 caleg yang menjadi mantan pelaku korupsi.
Ketika KPU dimintai keterangan akan fakta ini, KPU menyatakan bahwa dalam mendaftar tidak perlu mencantumkan data mantan terpidana dan ICW menyayangkan tindakan KPU yang seolah tutup mata akan fakta ini serta enggan mengungkapkannya kepada publik. KPU menyatakan bahwa untuk mengungkapkan latar belakang para caleg ini harus sesuai dengan izin dari individu yang bersangkutan dan tentu saja partai politik yang mengusungnya (voaindonesia.com).
Sementara itu untuk dapat mendaftarkan diri menjadi calon legislatif yakni DPR, DPD, dan DPRD tertuang pada Pasal 240 ayat 1 huruf g pada UU No. 7 Tahun 2017, menyatakan bahwa “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Namun, ayat ini jugalah yang menjadi perdebatan dikalangan aktivis HAM yang akhirnya dikaji ulang oleh MA & MK sebab dianggap bertentangan dengan pasal 43 ayat 1 dan pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan larangan yang diberlakukan oleh KPU bukan oleh undang-undang yang kedudukannya lebih kuat.
Dari sini dapat terlihat bahwa keadilan sudah tidak lagi berlaku pada negara ini, sebab revisi kebijakan terkait persyaratan caleg ini seolah menjadi bukti bahwa mereka yang punya banyak harta saja yang boleh menjadi caleg, meskipun sudah melakukan kesalahan yang merugikan. Sehingga masyarakat yang tidak memiliki apapun tidak layak mengemban amanah dan tanggung jawab untuk mengelola negara. Sebab, untuk mencalonkan diri dan mengkampanyekan diri mereka kepada masyarakat tidak menelan biaya yang sedikit, serta koneksi yang luas. Inilah realita bagaimana jalanya demokrasi di Indonesia.
Secara tersirat menunjukkan bahwa para caleg ini ingin mengamankan tahta mereka yang pernah runtuh dan bukannya tidak mungkin mereka akan berlaku yang sama kembali seperti dulu. Apalagi dengan fakta bahwa hukum di Indonesia mudah dibeli dengan uang, tidak berefek apapun kepada pelaku, dan malah merugikan masyarakat. Tidak peduli meskipun banyak masyarakat maupun LSM yang mengkritisi keputusan hukum ini.
Sebagai seorang muslim tentunya kita berpegang dengan bagaimana Islam memandang syarat untuk menjadi seorang wakil umat, yaitu merupakan orang yang beriman dan bertakwa agar dapat menjalankan amanah perannya yang merupakan penyambung lidah rakyat dengan baik. Itulah yang hilang pada orang yang mengisi pemerintahan kita saat ini. Bagaimana tidak, mereka dilantik dengan nama Allah tapi mengingkarinya, apalagi janji - janji kampanye kepada manusia.
Dan tentunya dalam hukum Islam, wakil rakyat ketika berbuat kesalahan juga harus mendapatkan hukuman yang sesuai dengan perbuatan dan sama dengan rakyatnya, tidak berbeda sedikitpun. Dalam sistem hukum Islam sangat jelas bahwa hukuman itu harus tegas dan bersifat menjerakan pelaku kejahatan apapun, sehingga mereka dapat benar-benar bertobat. Apalagi sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus dosa (jawabir). Wallaahu a'lam bis showaab.[]