Suryani
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Statistik Indonesia 2022 yang salah satunya berisi daftar angka perceraian di Indonesia. Perceraian adalah putusnya pernikahan yang dapat terjadi karena talak (cerai talak) atau berdasarkan gugatan perceraian (cerai gugat). Cerai talak adalah permohonan seorang suami yang beragama Islam untuk menceraikan istrinya kepada pengadilan agar mengadakan sidang guna menyaksikan ikrak talak. Sementara cerai gugat adalah gugatan cerai yang diajukan oleh istri atau kuasanya yang sah kepada pengadilan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa pengajuan perceraian harus ada cukup alasan antara suami dan istri tidak akan dapat rukun sebagai pasangan.
BPS mencatat jumlah perceraian di Indonesia pada th 2021 mencapai 447.743, dengan rincian 110.400 cerai talak dan 337.343 cerai gugat. Angka ini lebih tinggi dari dua tahun sebelumnya, yaitu 291.677 pada tahun 2020 dan 493.002 pada tahun 2019.
Hubungan rumah tangga kerap kali dilanda oleh berbagai masalah. Mulai dari pasangan yang tidak setia, masalah ekonomi, hingga ketidakcocokan visi-misi dalam hidup. Semua ini kemudian menjadi penyebab kehancuran rumah tangga. Tapi ternyata, dari sekian banyak alasan, penyebab utama dari kerusakan rumah tangga bukan perselingkuhan.
Menurut psikolog dan seksolog John Gottman, lewat buku "What Predicts Divorce?", ada empat penyebab perceraian dalam rumah tangga. Yakni, penghinaan, kritik, sifat defensif, dan juga stonewalling. Jawaban ini dia dapatkan setelah melakukan penelitian terhadap 40.000 pasangan selama lebih dari 50 tahun.
"Dari keempatnya, prediktor terbesar dari hubungan yang gagal adalah penghinaan," kata Gottman seperti dikutip CNBC Make It, Jumat (10/3/2023).
Menurut Gottman, penghinaan akan bermuara menjadi perkataan yang negatif. Saat itulah salah satu pasangan menyatakan bahwa mereka lebih pintar atau lebih baik, sementara yang lain merasa direndahkan dan tidak dicintai.
Ia mencontohkan, misalnya tindakan terus menyela perkataan pasangan dengan tidak sopan. Hal itu mengindikasikan bahwa seseorang memandang pasangannya tidak memiliki sesuatu yang menarik atau penting untuk dikatakan.
"Ketika perilaku ini menjadi lebih sering terjadi, hubungan apa pun, apalagi pernikahan, berada dalam masalah."
Penghinaan pun akhirnya akan membuat pasangan tidak merasa adanya saling support di antara keduanya. Pasalnya, pasangan yang seharusnya menjadi mitra akan terasa sebagai musuh.
Pernikahan menurut Islam
Dalam ajaran islam, perkawinan merupakan ikatan suci yang agung dan kokoh antara seorang laki-laki dan perempuan sesuai ketentuan hukum Allah SWT untuk hidup bersama sebagai suami istri. Di dalam Al Quran disebutkan mitsaaqan ghaliza yakni perjanjian Allah dengan para nabi. Hanya tiga kali Allah menggunakan kata tersebut dalam Al Quran, yakni ;
Dalam surah An-Nisa’ ayat 154, yaitu ketika Allah SWT berjanji dengan Bani Israil untuk mengangkat Bukit Tursina di atas pundak mereka yang siap untuk memusnahkannya.
Kedua dalam surah Al-Ahzab ayat 7:
Artinya :"Dan (ingatlah) ketika kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh."
Yang dimaksud dengan perjanjian yang teguh adalah kesanggupan dalam menyampaikan agama kepada umatnya masing-masing.
Dan di dalam surah An-Nisa’ ayat 21, ketika Allah mengabadikan perjanjian sebuah perkawinan. Sedangkan menurut hukum pernikahan Kristen Protestan dan Katolik, perkawinan itu lembaga suci yang asalnya dari Tuhan dan ditetapkan olehnya untuk kebahagiaan masyarakat.
Adapun pemahaman makna perkawinan dalam konteks religius ini diadopsi secara yuridis menurut peraturan perundang-undangan yang ada. Perkawinan bukanlah perjanjian dan kontrak perdata biasa, tetapi suatu ikatan lahir batin antar seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan merupakan lembaga sakral yang harus dijaga dan dihormati. Lantaran begitu sakral dan sucinya hubungan perkawinan, maka berbagai cara harus ditempuh untuk menyelamatkan sakralitas dan keutuhannya. Atas dasar itulah pada prinsipnya perceraian dilarang dalam Islam, kecuali berbagai upaya untuk menyelamatkannya itu sudah diupayakan, namun tetap tidak berhasil. Hal ini dapat dilihat dari isyarat Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya :
اَبْغَضُ الْحَلَالِ اِلَى اللهِ الطْلَاقِ (رواه ابو داود, ابن ماجه, الحاكيم)
Artinya : “Sesuatu perbuatan yang paling dibenci Allah adalah thalak” (H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, Al Hakim)
Berdasarkan isyarat itu, ulama sepakat mengatakan bahwa perceraian merupakan solusi terakhir sebagai pintu darurat yang boleh ditempuh, manakala bahtera rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya, sifatnya sebagai alternatif terakhir. Islam menunjukkan, sebelum ditempuh jalan terakhir tersebut, tempuhlah usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, baik melalui “Hakam” (Arbitrator) dari kedua belah pihak maupun melalui tindakan-tindakan tertentu yang bersifat pengajaran.
Perceraian dalam Islam
Ada dua kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutus perkawinan, yaitu:
1. Terjadinya “Nusyuz dari salah satu pihak.
"Nusyuz” (ketercelaan) tersebut datang dan tumbuh dari pihak isteri, maka suami berkewajiban terlebih dahulu untuk memberi pengajaran kepada isterinya dengan tindakan sebagai berikut :
Isteri diberi nasihat tentang berbagai kemungkinan negatif dan positif (at-tarhib wa tarhib) Apabila usaha dan langkah pertama tidak berhasil, langkah kedua adalah pisah tempat tidur suami dengan isteri, meskipun masih dalam satu rumah. Cara ini dimaksudkan agar dalam “kesendirian tidurnya” ia memikirkan untung rugi dari semua perilakunya.
Apabila langkah kedua tersebut tidak juga berubah pendirian si isteri, maka langkah ketiga adalah melakukan tindakan pemukulan, namun tidak sampai pada tataran melukai dan membahayakan. Ketiga langkah ini diatur dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi:
...وَالَّتِى تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَاِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا اِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا (النسآء:34)
Artinya: “Isteri-isteri yang kamu khawatirkan akan melakukan perbuatan nusyuz maka nasihatilah mereka, pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka sudah sadar, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka, sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar.” (An-Nisa’ ayat 34).
Sedangkan kalau nusyuz itu muncul dari pihak suami, maka Islam memberikan solusi agar isteri melakukan pendekatan damai dengan suaminya. Menurut Ahmad Rafiq, pendekatan damai yang dilakukan isteri tersebut dapat dengan cara isteri merelakan haknya dikurangi oleh suami untuk sementara agar suami bersedia kembali kepada isterinya dengan baik.
Dalil yang dijadikan dasar solusi “Nusyuz” suami adalah surah An-Nisa ayat 128 yang berbunyi :
وَ اِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوْزً أَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ ... (النسآء:128)
Artinya : “Jika seorang isteri khawatir akan nusyuz atau sikap acuh tak acuh suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian. Yang sebenarnya perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia pada hakikatnya bersifat kikir.” (An-Nisa ayat 128)
2. Terjadi perselisihan dan cekcok antara suami dan isteri.
Manakala terjadi percekcokan dan perselisihan rumah tangga, maka Islam memberikan jalan keluar agar masing-masing suami isteri menyediakan juru pendamai (hakam) dari kalangan keluarga untuk menyelesaikan konflik dan persengketaan rumah tangga tersebut.
Ketentuan ini diatur dalam surah An-Nisa’ ayat 35 yang berbunyi:
وَ اِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا (النسآء:35)
Artinya : “Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal.” (An-Nisa’ ayat 35)
Kedua kemungkinan di atas alternatif penyelesaiannya bertujuan agar perkawinan tidak putus, kecuali apabila upaya-upaya tersebut mengalami kegagalan, maka penyelesaiannya adalah perceraian.
Solusi untuk Menghindari Perceraian
Ada beberapa cara mencegah perceraian dalam islam, diantaranya adalah sebagi berikut:
1. Menyelesaikan dengan kasih sayang.
Dengan melihat kembali tujuan perkawinan bukan sebatas kegiatan transaksional. Baik istri maupun suami merupakan makhluk yang berakal budi dan memiliki hak yang adil dalam keluarga. Di mana istri bukan hanya objek seksual serta alat reproduksi suami dan sebaliknya.
2. Mengendalikan emosi sebaik mungkin. Selayaknya saling mengerti bahwa dengan memperturutkan emosi tidak akan menciptakan solusi dalam permasalahan rumah tangga.
3. Saling memberi nasehat dengan lemah lembut. Akan lebih baik lagi jika masing-masing suami istri menyediakan juru pendamai (hakam) dari kalangan keluarga untuk menyelesaikan konflik dan persengketaan rumah tangga.
4. Saling memaafkan satu sama lain.
5. Saling menyadari hakikat dan kodrat diri masing-masing.
6. Menjaga komunikasi dan saling percaya.
Selain diatas, kedua belah pihak bisa coba lagi mempertimbangkan apa saja kerugian yang harus ditanggung setiap anggota keluarga ketika keputusannya adalah bercerai. Anak-anak bisa menjadi korban. Anak merupakan korban yang paling terluka ketika orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Anak dapat merasa ketakutan karena kehilangan sosok ayah atau ibu mereka.
Selain anak-anak, orang tua dari pasangan yang bercerai juga tidak menutup kemungkinan terkena imbas dari keputusan untuk bercerai. Sebagai orang tua, mereka akan merasa khawatir anaknya akan menderita atau merasa risih karena akan menjadi bahan pergunjingan orang-orang sekitarnya.
Dalam hal pengasuhan anak pun, akan ikut berpengaruh. Jika hak asuh anak jatuh pada salah satu pihak, maka secara otomatis akan mendapat peran ganda sebagai ayah sekaligus ibu. Tentu saja, ini bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih jika anak sudah memasuki masa remaja yang penuh gejolak dan tantangan.
Masih ada dampak lain yang akan muncul, mulai dari masalah keuangan yang tadinya suami sebagai pencari nafkah, maka setelah bercerai istri akan mencari pendapatan sendiri. Juga bahaya menghadapi masa remaja kedua (puber). Pasangan yang baru bercerai sering mengalami masa remaja kedua. Mereka merasakan kebebasan baru untuk mencari-cari hubungan asmara dengan tujuan untuk mengusir kesepian. Tebar pesona agar dipandang sudah memiliki kehidupan yang lebih baik pasca perceraian. Hal ini bisa menimbulkan problem baru yang lebih buruk dan tragis karena tidak mempertimbangkan baik-baik langkah yang dilakukan.
Maka sudah sepatutnya untuk menimbang ulang sebelum memutuskan untuk bercerai. Mengingat banyak sekali yang harus dikorbankan. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa perkawinan yang bermasalah masih bisa diselamatkan tanpa perlu bercerai.
Hikmah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin yang paling sakral yang harus dipertahankan, berbagai usaha harus diupayakan agar keutuhan rumah tangga tersebut dapat dijaga. Namun begitu, tidak tertutup kemungkinan segala usaha untuk mempertahankannya tidak berhasil. Sebagai jalan keluar penyelesaiannya, Islam dan Peraturan Perundang-Undangan menyediakan institusi perceraian sebagai pintu terakhir.
Meski begitu, ada juga beberapa alasan yang dapat membuat pengadilan tidak mengabulkan gugatan cerai. Seperti kurangnya bukti yang kuat, tidak adanya alasan yang sah untuk bercerai, atau salah satu pihak masih berupaya untuk mempertahankan pernikahannya.
Agar perceraian tidak dilakukan secara sembrono dan tanpa alasan, maka Peraturan Perundang-Undangan mengharuskan setiap perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Tujuan keharusan tersebut disamping karena harus adanya tuntutan alasan yang harus dibuktikan, juga mengacu kepada kesakralan perkawinan tersebut, dimana perkawinan dilakukan dengan tujuan makruf, maka penyelesaiannya pun harus dilakukan dengan cara makruf.
Wallohualam bishshawab.[]
Referensi :
-10 Daerah Dengan Angka Perceraian Tertinggi di Indonesia.2023. Kompas.com
-Rafiq Ahmad.Hukum Islam di Indonesia.Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2000. Cet.ke 4.