Oleh: Irta Roshita (Pengasuh Majelis Taklim Diari Kamila Bekasi)
Indonesia memiliki tanah yang subur. Sebagai negara tropis, Indonesia menjadi negara terbesar di dunia penghasil minyak sawit mentah yang dikenal dengan CPO (Crude Palm Oil) sebanyak 44,5 juta MT (Metrik Ton) pada periode 2022/2023, mengungguli Malaysia yang hanya menghasilkan sebanyak 18,8 juta MT.
Letak geografis Indonesia yang berada di wilayah tropis memberikan keuntungan tersendiri. Perkebunan kelapa sawit tersebar luas, seperti di Pulau Kalimantan, Riau, Jambi, dan Aceh. Setiap tahun, Indonesia memiliki 10 juta hektar lahan untuk tanaman kelapa sawit. Hasilnya adalah 51,4 juta ton pada tahun 2021, dengan mayoritas diekspor ke luar negeri sebanyak 34,23 juta ton, baik dalam bentuk CPO olahan maupun oleokimia.
Dengan populasi penduduk mencapai 275,5 juta orang, Indonesia adalah negara keempat terbesar di dunia, setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Fakta ini menunjukkan bahwa negara ini memerlukan pengelolaan sumber daya alam yang efektif serta manajemen pemerintahan yang solutif, yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan menawarkan solusi untuk permasalahan yang ada.
Pada bulan Februari lalu, masyarakat dihebohkan oleh kelangkaan minyak goreng, yang merupakan bahan pokok pangan. Minyak goreng menjadi langka dan harganya melambung tinggi, bahkan melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp. 14.000,-.
Pemerintah mengambil kebijakan untuk mendorong perusahaan produksi minyak agar memenuhi kuota ekspor dengan memproduksi minyak kemasan murah berlabel "MinyaKita". Semakin besar produksi, semakin besar pula kuota ekspor yang diberikan.
Namun, saat ini muncul masalah baru ketika para pengusaha ritel mengancam untuk menghentikan pasokan minyak goreng. Ancaman ini muncul karena belum ada kejelasan dari pemerintah terkait pembayaran selisih harga minyak goreng sebesar Rp. 344 miliar dalam program satu harga pada tahun 2022 (sumber: www.cnnindonesia.com).
Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey, mengatakan bahwa mereka akan melakukan protes terhadap pemerintah dengan mengurangi pembelian minyak goreng, memotong tagihan distributor, dan menghentikan pembelian dari produsen. Mereka bahkan mengancam akan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika masalah ini tidak segera terselesaikan. Hal ini tentu akan berdampak pada ketersediaan minyak goreng di pasaran.
Kesalahan dalam pengelolaan ini telah menyebabkan kelangkaan minyak goreng, yang menjadi beban bagi masyarakat, terutama ibu-ibu yang kesulitan memenuhi kebutuhan rumah tangga, pengusaha UMKM, dan pedagang kecil seperti pedagang gorengan yang harus menaikkan harga jualannya. Situasi ini adalah cerminan dari ketidakadilan yang dialami oleh rakyat.
Penyebab kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng telah menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Menurut Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), permintaan CPO sedang menurun, sehingga produsen mengurangi produksi. Namun, mereka tetap harus menutupi biaya produksi untuk memenuhi produksi MinyaKita. Ada dugaan bahwa hal ini mungkin disengaja agar masyarakat beralih ke minyak non-subsidi. Pendapat ini didukung oleh beberapa pengamat seperti Rahardiansyah.
Terdapat juga indikasi penimbunan yang dilakukan oleh oknum tertentu yang menghambat distribusi dan mengakibatkan kenaikan harga. Pendapat berbeda datang dari Roy Sasmita, seorang Analis Senior Indonesia, yang menilai bahwa kegagalan pemerintah dalam memberikan jaminan bahan baku menjadi salah satu faktor penyebab.
Semua masalah ini adalah akibat dari penerapan sistem kapitalisme di mana peran negara sebagai pengatur sangat minim, dan negara tampak abai terhadap urusan rakyatnya. Jelas terlihat bahwa ada kesalahan dalam tata kelola pengelolaan dan distribusi kebutuhan rakyat. Korporasi swasta tampaknya lebih mengedepankan keuntungan daripada kebutuhan rakyat. Tidak ada sanksi tegas bagi oknum-oknum yang terlibat dalam masalah ini, dan distribusi pun diserahkan sepenuhnya kepada sektor swasta, yang akhirnya mengakibatkan kelangkaan dan lonjakan harga.
Dominasi Korporasi
Kebijakan pemberian subsidi MinyaKita jelas menguntungkan bagi pihak distributor, yang tentunya berorientasi pada keuntungan semata. Jika ada potensi kerugian, mereka akan mencari cara untuk mengimbangi dengan mencari keuntungan dari berbagai sisi.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, negara hanya berperan sebagai regulator, dan sektor swasta (korporasi) yang mengatur urusan rakyat. Tidak mengherankan jika sektor swasta berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, dan hasilnya adalah kenaikan harga berbagai kebutuhan rakyat yang dipengaruhi oleh korporasi.
Sangat kontradiktif bahwa Indonesia, sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar dan sumber pendapatan negara kedua terbesar setelah pajak, belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan baik, malah lebih mengutamakan ekspor. Ini menunjukkan bahwa negara tampaknya lebih mementingkan kepentingan korporasi daripada kebutuhan rakyatnya.
Terlihat jelas bahwa negara seharusnya lebih peduli terhadap kebutuhan rakyatnya dan tidak hanya fokus pada kepentingan korporasi. Rakyat akan merasakan manfaat yang lebih besar jika negara mengambil alih pengelolaan dan distribusi kebutuhan mereka. Dalam sistem Islam, ini bisa diatasi dengan dua langkah.
Pertama, negara harus memainkan peran aktif dalam mengatur urusan rakyatnya. Negara harus menjamin kesejahteraan dan kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk menciptakan lapangan kerja. Kedua, negara harus mengendalikan distribusi dan penyaluran kebutuhan pangan langsung kepada rakyatnya, bukan menyerahkannya sepenuhnya kepada sektor swasta. Kehadiran sektor swasta dapat membantu dalam proses distribusi, tetapi kendali penuh harus tetap ada di tangan negara.
Dengan sistem seperti ini, distribusi dan pengelolaan kebutuhan rakyat akan lebih efisien dan efektif. Rakyat akan merasakan kesejahteraan yang lebih baik dan kemudahan dalam mendapatkan bahan pokok dengan harga yang terjangkau. Ini adalah salah satu cara di mana Islam dapat memberikan solusi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, karena ia bersumber dari ajaran Allah SWT.
Sebagai penutup, kita dapat merenungkan Firman Allah dalam Surat Al-Ma'idah (5:50), yang mengingatkan kita bahwa hukum Allah adalah yang terbaik bagi mereka yang meyakininya: "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
Sistem Islam memberikan solusi yang adil untuk mengatasi permasalahan ini dengan memposisikan negara sebagai pengelola yang bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyatnya. Dengan pendekatan ini, kita dapat mengharapkan kesejahteraan dan kemakmuran yang lebih besar dalam kehidupan sehari-hari. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk yang benar kepada kita semua. Wallahu'alam bi showab.[]