SLOW LIVING, ISLAMIKAH?




Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Aktivis Muslimah)


Gaya hidup kini kian berkembang seiring tren. Di tengah tuntutan hidup yang menyesakkan dan tekanan ekonomi yang menghimpit, akhirnya manusia berlomba mencari solusi agar tidak stres. Muncullah tren Slow Living ini.


Apa Slow Living itu? Slow living atau menjalani kehidupan dengan lambat dan santai mungkin terdengar klise di era terburu-buru seperti saat ini. Tapi, melansir Purewow, Slow Living memiliki konsep tidak menyerah dengan kehidupan yang berjalan cepat, tapi memperlambat dan fokus pada hal-hal kecil yang biasanya diabaikan. Menjalani hidup slow living berarti lebih fokus pada rutinitas, menyediakan waktu untuk melakukan hobi yang benar-benar disukai, bahkan menikmati alam tanpa harus bersama telepon genggam, menjauh dari smartphone sementara waktu (www.cnnindonesia.com, Jumat 21 Juli 2023).


Benarkah Slow Living bisa menjadi solusi mengatasi stres? Jawabnya : tidak menjamin. Karena saat ini kondisi berparadigma sekuler kapitalistik memaksa orang untuk menjadi “economic animal” alias diperbudak oleh kepuasan materi. Sibuk bekerja sampai tak kenal waktu, sehingga tak sempat mengkaji Islam, tak sempat silahturahmi pada orang tua, tak sempat berbuat baik pada tetangga. Sehingga Slow Living hanya bisa dilakukan sesaat untuk menghibur diri. Kata anak muda sekarang, untuk “healing”.

Mengalihkan fokus pada hal-hal kecil, melakukan hal-hal yang bersifat hobi, justru sebetulnya bertentangan sistem kapitalisme yang menganggap waktu adalah uang; sedangkan hal itu dianggap “buang-buang waktu”. Karena tidak semua orang bisa menekuni hobi. Bagi mereka yang ekonomi pas-pasan, waktu adalah untuk bekerja untuk bertahan hidup. Jika tidak bekerja, tidak bisa makan. 


Slow Living sebetulnya lebih tepat jika diletakkan sebagai bagian kecil dari hidup, yang kadangkala kita butuh merenung. Tidak lantas banting stir mengubah gaya hidup secara totalitas. Tapi wajib memang kita mengubah paradigma ideologi yang kita bangun dalam memandang kehidupan itu sendiri. Bahwa bukan sekuler kapitalisme yang kita butuhkan yang justru menjadi sumber stres karena kita makin jauh dari agama dan membuat keringnya iman. Karena hidup adalah hakikatnya untuk ibadah. Sesuai firman Allah :
“Tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah pada-Ku” (Az-Zariyat : 56).


Slow Living, karena masih dalam bingkai sekuler kapitalisme, membuat orang lari dari kenyataan. Enggan mengambil posisi yang penuh resiko karena dianggap sumber stres, fokus melakukan hal remeh tapi dianggap penting. Padahal kita sebagai hamba Allah, dituntut terikat pada aturan-Nya sebagai konsekuensi iman pada-Nya; yang memang dianggap penuh resiko di alam yang serba bebas dari aturan agama saat ini. Saat kita diperintahkan shalat wajib lima waktu sehari, jelas berbenturan dengan kesibukan orang-orang sekuler (memisahkan agama dari kehidupan). Seperti ada yang dituntut bekerja 12 jam dan hanya diberi waktu istirahat sebentar untuk makan saja, sedangkan untuk shalat tidak cukup waktunya. Atau perintah untuk menutup aurat bagi muslimah dengan memakai kerudung dan jilbab (gamis) dianggap tekanan karena berbeda dengan pandangan orang umum bahwa menutup aurat cukup memakai kerudung dan menutup aurat walau pakaiannya ketat. 


Dalam hidup memang kita harus melihat di sekitar kita. Sehingga perlu memang kita melambat untuk melihat fakta yang ada. Bukan berarti akhirnya ritme hidup kita ikut melambat. Tapi fakta yang kita cermati, kita cari solusi secara tepat dan jitu sesuai Islam. Dan gawai adalah sarana untuk mendalami fakta, sehingga keberadaannya tentu tidak bisa disingkirkan. Karena Islam berasal dari Allah Sang Pencipta, pasti mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya. Dalam ilmu Islam, ini dikatakan sebagai “tatabu dan tathiqul manath” alias memperdalam fakta, yang ini dibutuhkan dalam proses intinbath/ijtihad (penggalian hukum) dalam Islam, yang kemudian diiiringi dengan penguasaan ilmu hadis dan Al-Qur’an untuk penguasaan dalil, serta ilmu fikih ; sehingga Islam akan selalu mampu memberikan solusi problem kekinian. 


Slow Living juga menuntut mengingkirkan gawai, tentu ini juga tidak mungkin. Karena gawai sudah menjadi tuntutan modernitas. Keberadaannya memudahkan untuk memahami fakta dengan mengakses berita secara cepat, juga mempermudah komunikasi dan koordinasi. Sehingga perannya sebatas alat. Masalah akan digunakan untuk hal negatif atau positif, itu bergantung pada keimanan penggunanya


Sedangkan mendalami hobi mubah (boleh) selama tidak melanggar Syariat dan tidak mengalihkan dari melakukan hal-hal yang fardhu (wajib). Sehingga yang menjadi poros hidup adalah pelaksanaan Syariat yang fardhu, bukan hobi. Dan healing Islami bisa diwujudkan dengan tadabur alam, dzikir, tadarus Al-Qur’an, melakukan amalan sunah nafilah seperti melakukan shalat tahajud, dhuha, dan lain-lain; yang sifatnya mampu menyemangati diri untuk melakukan yang wajib. 

Slow Living adalah sebuah tren yang akan membuat orang menjadi terlena dari perjuangan hakiki dari kehidupan, yaitu perjuangan untuk menerapkan Islam kafah dalam naungan Khilafah di tengah kehidupan. Karena sistem sekuler kapitalisme saat ini rusak dan merusak, serta sumber kesengsaraan. Bisa dilihat banyaknya kemiskinan, pengangguran meningkat, kriminalitas merajalela dan semakin ekstrim, seks bebas dimana-mana, umat Islam semakin teraniaya di Rohingya, Uighur, Palestina, dan lain-lain. Hanya dengan penerapan Islam kafah, hal ini bisa teratasi dengan tuntas. Dan Khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan Islam, akan menerapkan Islam secara sempurna, yang berperan sebagai junnah (pelindung dan perisai) bagi manusia yang teraniaya. Hal ini telah terbukti dalam catatan sejarah, bahwa selama 13 abad kejayaan Khilafah mampu menjadi adidaya dunia yang menebarkan syiar Islam ke seluruh penjuru dunia, dengan luas jangkauan wilayah 2/3 peta dunia. Tapi hal ini dipadamkan oleh pendengki Islam, di mana Khilafah terakhir di Turki dihancurkan pada 23 Maret 1924. Sejak saat itu cahaya Islam telah padam dan umat manusia hidup dalam keterpurukan. Sehingga mendakwahkan Islam kafah dalam naungan Khilafah, haruslah menjadi agenda utama umat. Tak ada lagi waktu untuk bersantai. Harus mempompa semangat dakwah dan segera melayakkan diri sebagai hamba Allah yang layak diberi nasrullah (pertolongaj Allah) agar Islam kafah dan Khilafah segera tegak di muka bumi. Maka “Fast Living” dalam dakwah lebih layak menjadi pilihan daripada “Slow Living”.

Wallahu’alam Bishshawab


Catatan Kaki :
(1) https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20230329160320-277-930905/lagi-ngetren-apa-itu-slow-living#

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama