Pertunangan Lucinta Luna, Bukti Kaum Pelangi Makin Berani Menantang Aturan Ilahi





Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.

Selebritas transgender Lucinta Luna kembali menebar sensasi. Sebagaimana kutipan dari Jawapos (30-7-2023), Lucinta Luna bertunangan dengan kekasih bulenya, Arten Boltian alias Alan, pada Jumat (28-7-2023) di Bali.

Bukan yang Pertama

Pertunangan transgender sebagaimana Lucinta Luna sejatinya bukan yang pertama terjadi. Selebritas transgender lain, Millen Cyrus, April lalu juga bertunangan dengan kekasihnya asal AS. Millen, yang diketahui tidak melakukan operasi ganti kelamin (dari laki-laki menjadi perempuan), bahkan sempat menuturkan bahwa dirinya juga ingin menikah dan memiliki anak kandung melalui mekanisme surrogate mother (ibu pengganti alias sewa rahim) yang rencananya akan ia lakukan di Barat. 

Sungguh, kedua peristiwa pertunangan selebritas transgender ini jelas harus menjadi keprihatinan bersama kita, terlebih negeri kita adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Pertunangannya saja sudah menunjukkan gaya hidup liberal, apalagi aktivitas selanjutnya yakni berupa pernikahan sejenis dan juga surrogate mother yang tentu saja makin menegaskan gaya hidup tanpa batas itu. Benar-benar tidak hanya mengerikan, tetapi juga menjijikkan.

Sedikit berkaca dari Jepang, sebagaimana kutipan dari Tempo (30-5-2023), pengadilan Jepang pada 30 Mei 2023 memutuskan bahwa tidak mengizinkan pernikahan sesama jenis adalah tidak konstitusional. Tentu saja keputusan ini disambut gembira oleh para aktivis dan pendukung kaum pelangi sebagai langkah menuju kesetaraan pernikahan. Pasalnya, selama ini Jepang dikenal sebagai satu-satunya negara G7 yang tidak memiliki perlindungan hukum untuk serikat sesama jenis. Terlebih realitasnya, lebih dari 300 kotamadya di Jepang yang mencakup sekitar 65% populasi, mengizinkan pasangan sesama jenis untuk melakukan perjanjian berpasangan.

Namun di balik itu semua, kita tidak boleh lupa bahwa Jepang juga tengah dilanda krisis jumlah penduduk. Tingginya angka bunuh diri serta keengganan penduduk Jepang untuk menikah dan punya anak, memang faktor awal penyebab krisis tersebut. Hanya saja, krisis ini jelas makin parah ketika pernikahan sejenis dilegalkan di Jepang. Jika sudah begini, lantas apa yang mau Jepang banggakan untuk menyambut masa depan negerinya sementara kepunahan penduduk justru menjadi ancaman yang sudah siap menyongsong mereka di depan mata? 

Jangan Kalah dengan Rusia

Tidak hanya perihal krisis penduduk di Jepang, kita juga harus bercermin dari Rusia. Mengutip Kompas[dot]tv (26-7-2023), Presiden Rusia Vladimir Putin meneken UU anti-L687 baru yang melarang perubahan gender dan prosedur pergantian kelamin. UU ini juga memuat sejumlah pasal sebagai langkah memberangus komunitas L687.

Di samping itu, kantor catatan sipil Rusia pun dilarang untuk mengubah gender di dokumen resmi warga negara. Operasi kelamin hanya dibolehkan untuk penanganan medis bagi kelainan bawaan lahir. UU itu juga memutuskan pernikahan antara pihak yang mengubah gender menjadi tidak sah. Transgender pun dilarang mengadopsi atau mendapatkan hak asuh anak.

Meski latar belakang lahirnya UU tersebut adalah untuk melindungi nilai-nilai tradisional Rusia, namun setidaknya bisa menjadi motivasi bagi negeri kita untuk tegas terhadap kaum pelangi. Jangan kalah dengan Rusia yang landasannya bukan syariat. Status negeri kita sebagai negeri muslim terbesar di dunia, semestinya menjadi landasan yang jauh lebih kuat dari Rusia dalam melarang pernikahan sejenis karena Islam sudah memberikan seperangkat aturan yang lengkap dan tegas tentang L687. 

Hukum Positif di Indonesia

Sekadar komparasi dengan Jepang dan Rusia, ada baiknya kita mengetahui status pernikahan sejenis menurut hukum positif di Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 UU Perkawinan, yang dimaksud perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Mengutip laman Hukumonline[dot]com (8-5-2023), status pernikahan sesama jenis di Indonesia masih sangat mempertimbangkan tinjauan agama. Hal ini patut kita syukuri. Dari sisi agama Islam, perkawinan antara sesama jenis secara tegas dilarang. Hal ini sebagaimana firman Allah Taala, “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS Al-A’raf [7]: 80-81).

Dalam kompilasi hukum Islam (KHI), ketentuan mengenai perkawinan juga disebutkan antara pria dan wanita. Demikian halnya dalam agama selain Islam, seperti Katolik, pernikahan sejenis juga dilarang. Sama sekali tidak ada indikasi kebolehan pernikahan sejenis. Akan tetapi, apa jadinya jika pertunangan selebritas transgender tadi selanjutnya diposisikan sebagai role model baru bagi pernikahan di Indonesia? Bukankah paham liberal akan selalu mencari jalan demi bisa menghalalkan perbuatan haram? 

Islam Tegas Perihal L687

Meski hukum positif di Indonesia telah tegas melarang pernikahan sejenis, namun kita tidak bisa menampik jika suatu saat hukum tersebut mengalami perubahan (revisi). Sebabnya, bagaimana pun hukum positif tersebut adalah buatan manusia. Sementara, terjadinya pertunangan/pernikahan sejenis adalah bukti bahwa kaum pelangi makin berani unjuk gigi meski harus menantang aturan Ilahi.

Pelaku L687 akan selalu mencari celah untuk bisa diakui atas nama hak asasi. Mereka menyatakan dirinya sebagai wujud perbedaan, bukan penyimpangan, padahal perbuatannya jelas-jelas pelanggaran aturan Islam. Di dalam syariat Islam, penyimpangan orientasi seksual termasuk tindak kejahatan yang besar (jarimatul kubra) yang solusinya hanya taubatan nasuha. Jika tidak bersedia melakukan taubatan nasuha, maka sanksi tegas telah tersedia. Allah Taala berfirman dalam ayat, “Sesungguhnya Kami akan menurunkan azab dari langit atas penduduk kota ini karena mereka berbuat fasik.” (QS Al-Ankabut [29]: 34).

Perilaku L687 sebagaimana perbuatan kaum Nabi Luth ‘alaihis salam, adalah perbuatan fahisyah, yakni suatu perbuatan yang sangat hina dan mencakup berbagai macam kehinaan serta kerendahan. Perilaku ini haram dan pernikahan sejenis juga haram. Pelakunya bahkan layak disebut penjahat seksual karena telah melakukan kejahatan (kriminal) dalam menyalurkan hasrat seksual mereka di tempat yang terlarang. Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. bersabda, “Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth, beliau sampaikan sampai tiga kali.” (HR Ahmad).

Khatimah

Sungguh, sikap terang-terangan kaum L687 menunjukkan bahwa peringatan syariat seolah tidak mempan bagi mereka. Dengan dalih hak asasi, mereka menghalalkan yang haram. Mereka manusia-manusia tebal muka, sudah sirna rasa malunya terhadap perbuatan menjijikkan tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR Bukhari). 

Oleh karena itu, kaum muslim tidak semestinya berdiam diri hingga membiarkan perilaku L687 merebak. Hal ini telah Allah Taala ingatkan dalam ayat, “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Anfal [8]: 25).
Wallahualam bissawab. 

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama