MEWASPADAI TREN BARU FRUGAL LIVING




Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Aktivis Muslimah)



Media Sosial menjadi sarana berkembangnya tren baru, termasuk Frugal Living yang menjadi isu hangat akhir-akhir ini.

Frugal Living adalah tren untuk menyiasati harga-harga barang mulai dari fesyen hingga properti, seperti rumah yang memiliki nilai jual yang tinggi, karena perubahan tren berbelanja sangat cepat dan membuat masyarakat konsumtif (www.cnnindonesia.com, Senin 24 Juli 2023) (1). Mengutip Kemenkeu, Frugal Living merupakan sebuah gaya hidup hemat atau irit terhadap pengeluaran dengan melakukan sejumlah perencanaan, agar dapat menabung lebih banyak.

Pada faktanya harga barang dan semakin terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah, adalah dampak dari adanya ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi ini yang membuat rakyat dimiskinkan secara sistemik. Tapi Frugal Living malah menuntut rakyat irit. Faktanya rakyat sekarang hidup irit karena terpaksa, karena semua harga melambung di luar jangkauan mereka. Bukankah seharusnya solusi yang diambil adalah membuat harga kebutuhan terjangkau oleh rakyat?

Ditambah lagi mental generasi hari ini selalu ingin mengikuti tren akibat sindrom FOMO atau Fear of Missing Out, yaitu rasa takut merasa tertinggal karena tidak mengikuti tren kekinian saat ini. Seperti tren makanan, busana, dan budaya K-Pop Korea yang membuat boros. 

Frugal Living jika hanya diartikan sebatas tidak boros dalam menggunakan uang, justru sesuai dengan ajaran Islam. Tapi jika obyek pelakunya hanya diperuntukkan untuk masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah karena mereka tidak dapat mengakses barang yang membutuhkan biaya tinggi, maka justru keliru. Karena obyek pelakunya adalah untuk para Aghniyaa’ (orang yang berkecukupan/kaya). Harusnya diteladankan oleh para pemimpin, pejabat dan kaum berharta. Faktanya rakyat jelata disuruh Frugal Living, tetapi para pejabat malah Flexing (pamer harta dan bermewah-mewah, bergaya hidup hedonisme). 

Frugal Living tentu tidak bisa diterapkan jika dalam hal kebutuhan pokok, yang tentu pemenuhannya sesuai kebutuhan. Misalnya untuk pendidikan, kesehatan, rumah, sandang, pangan dan papan. Jika makan, tentu harus halal dan thayyib (baik untuk kesehatan). Jika kurang kualitas dan kuantitas pangan alias harus diirit ala Frugal Living, akan berefek pada stunting dan malnutrisi seperti yang menjamur saat ini. Juga pendidikan misalnya. Tidak semua anak bisa mengenyam bangku pendidikan, karena mahalnya biaya sekolah yang tidak bisa dijangkau semua rakyat. Rakyat diisuruh Frugal Living di bidang pendidikan? Ya memang terpaksa rakyat irit untuk mengeluarkan biaya pendidikan, bahkan banyak yang putus sekolah karena tidak ada biaya.

Berbeda dalam Islam. Para pejabat di masa kejayaan Islam dalam masa Khilafahan memberikan teladan yang luar biasa. Mereka bijak dan sangat berhati-hati dalam menggunakan harta negara. Khawatir jika harta negara terpakai untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Bahkan menolak makan enak jika rakyat sedang kesulitan makanan. Berbeda dengan pejabat saat ini yang minim empati pada rakyat. Saat rakyat menjerit harga sembako meroket, mereka meminta rakyat untuk hidup sederhana. Cabai mahal, rakyat protes, pemerintah malah menyuruh rakyat menanam cabai.

Gaya hidup Frugal Living juga mengajarkan untuk tidak mengeluarkan uang, kecuali pada hal yang memberi keuntungan jangka panjang, atau lebih baik menabungnya. Berbeda dalam Islam, seorang muslim diperintahkan mengeluarkan harta, misalnya untuk sedekah, berwakaf, memberi makan anak yatim, mengeluarkan zakat, berkurban, dan menginfakkan harta untuk jihad fi sabilillah. Tentu ini bertentangan dengan prinsip Frugal Living yang berfokus pada investasi untuk kepentingan materi jangka panjang versi dunia, bukan jangka panjang versi Islam yaitu hingga ke akhirat kelak. 

Frugal Living ternyata sebatas solusi pragmatis, pengalihan isu dari kerusakan ekonomi kapitalisme yang menjadi biang kerok melambungnya semua harga kebutuhan manusia. Inilah sistem rusak yang harus dibuang, diganti Islam, agar harga kebutuhan terjangkau bahkan gratis. 

Dengan mencampakkan sekuler kapitalisme, maka satu-satunya pilihan adalah menerapkan Islam sebagai sebuah ideologi, menerapkan Syariat secara kafah. Ini akan memberi peluang umat Islam kembali meraih kejayaannya, dengan potensi penganut agama mayoritas dunia otomatis sebagai pangsa pasar terbesar. Otomatis berpotensi mempunyai kekuatan ekonomi global. 

Bisa dibayangkan jika umat Islam yang tersebar di lebih dari 56 negara bersatu sebagai satu kesatuan umat dalam satu institusi politik, negara-negara muslim di dunia berpeluang untuk menjadi adidaya dunia. Sangat dahsyat kekuatan umat Islam. Dengan potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang luar biasa pula, maka Khilafah akan bisa menghadirkan kesejahteraan hakiki. Dan ini terbukti dan tercatat dengan tinta emas sejarah peradaban dunia, Khilafah benar-benar sejahtera dengan cakupan wilayah cukup luas (2/3 peta dunia lama). Terbukti telah mampu menyejahterakan hampir seluruh penduduk dunia.


Dengan kekuatan umat Islam dalam naungan Khilafah yang luar biasa, maka solusi Frugal Living jelas tidak dibutuhkan lagi.


Catatan Kaki :
(1) https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20230724201327-277-977296/patut-dipraktikkan-apa-itu-frugal-living

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama