Lesunya Ekonomi Cina di Balik Kuatnya Konsumsi Domestik Indonesia, Milenial Jadi Tumbal, Memalukan!

 



Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.


Kondisi ekonomi Cina yang lesu akan memberikan dampak terhadap ekonomi Indonesia, terutama dari sisi perdagangan. Namun, Bank Indonesia menilai, dampaknya tidak besar karena pertumbuhan ekonomi masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang kuat, terutama dari kalangan milenial. Meski demikian, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo optimistis kinerja perekonomian Indonesia masih akan kuat pada tahun ini (2023) dan tahun depan (2024). Ia juga menilai, pelemahan ekonomi Cina memang mempengaruhi kinerja ekspor, tetapi ekonomi Indonesia masih aman karena ditopang oleh konsumsi domestik. (Katadata[dot]co[dot]id, 24-8-2023).


Sebagai informasi, beberapa waktu lalu, Perdana Menteri Cina Li Qiang memastikan, pemerintah Cina akan mengambil langkah untuk kembali mendorong laju pertumbuhan ekonomi pada sisa 2023, berhubung per Juli 2023 lalu data-data ekonomi menunjukkan besarnya risiko penurunan ekonomi Cina dari target tahun ini yang besarnya 5%. (CNBC Indonesia, 17-8-2023).


Semakin lesunya ekonomi Cina terlihat dari indeks harga konsumen yang mengalami deflasi pada Juli 2023. Kinerja perdagangan Cina juga lesu. Ekspor Cina anjlok 14,5% pada Juli 2023 dibandingkan 2022, dan ini adalah penurunan terdalam sejak Februari 2020. Impor juga anjlok hingga mencapai angka 12,4% yang merupakan penurunan terdalam sejak Mei 2020.(Katadata[dot]co[dot]id, 24-8-2023).


Perekonomian Indonesia


Lebih lanjut, Perry menegaskan saat ini nilai ekspor Indonesia masih bagus. Terlebih, katanya, sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia berasal dari sektor domestik. Dalam hal ini adalah tingginya konsumsi rumah tangga, terutama di sektor jasa atau tersier, seperti perdagangan, akomodasi, makanan dan minuman.


Belum lagi dukungan generasi milenial yang persentasenya mencapai 70% dari total penduduk Indonesia. Generasi milenial ini, menurutnya, pendapatannya semakin tinggi dan ini menjadi daya dukung perekonomian Indonesia. 


Pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri pada triwulan II 2023 masih tercatat sebesar 5,17% secara tahunan. Berdasarkan rincian, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan tersebut ditopang oleh kenaikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi.


Angka tersebut (5,17%) meningkat dibandingkan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya, yang besarnya 5,04%. Diperkirakan, ekonomi Indonesia pada triwulan III ini pun masih akan mampu tumbuh di kisaran 5,1% meski ekonomi global tidak menentu.


Konsumerisme, Penjajahan Ekonomi


Sebesar 70% persentase kalangan milenial selaku penduduk Indonesia memang boleh dikatakan potensi ekonomi yang strategis, yakni dari sisi jumlah pendapatannya. Namun tentunya, yang selanjutnya terjadi tidak hanya hal itu. Pasalnya, ketika potensi ekonomi milenial itu dipetakan menurut kacamata kapitalistik, jelas ada implikasi yang harus diwaspadai, terutama adanya perubahan perilaku masyarakat -khususnya milenial- ke arah konsumerisme. Bagaimana pun konsumerisme ini adalah bagian dari payung besar penjajahan ekonomi.


Konsumerisme adalah gaya hidup dan mentalitas yang boros, menghabiskan barang dan jasa secara berlebihan, serta suka menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak penting. Konsumerisme muncul karena adanya pergeseran orientasi masyarakat dalam aktivitas konsumsi. Ditambah dukungan globalisasi, dunia ini bagai tanpa sekat yang membuat bermacam akses informasi, termasuk aktivitas belanja/konsumsi, menjadi sangat mudah. Akibatnya, tidak heran, konsumerisme juga berkembang pesat di kalangan masyarakat. 


Masalahnya, tanpa harus mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi pun konsumerisme sudah menjadi tren kehidupan generasi milenial. Sebab, merekalah pemain peradaban saat ini. Mereka acap kali menganggap bahwa hidup ini hanya untuk kenikmatan saja (hedonis) sehingga mereka akan mencari-cari barang/jasa yang dapat memuaskan dirinya (materialis) yang akhirnya mengakibatkan perilaku konsumeristis atau pemborosan.


Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Semu 


Lebih parahnya, perilaku konsumerisme adalah ladang cuan yang subur bagi pertumbuhan ekonomi versi kapitalisme. Dampak selanjutnya tentu saja inflasi, yang meniscayakan semakin banyaknya uang yang beredar di tengah masyarakat secara terus-menerus hingga jangka waktu tertentu. Jika sudah begini, uang semakin tidak ada nilainya. 


Ini artinya, pemborosan pendapatan melalui tindakan konsumerisme kalangan milenial jelas meningkatkan inflasi. Sayangnya, kondisi ini pula yang dianggap sebagai indikator meningkatnya pertumbuhan ekonomi, padahal di baliknya ada realitas pahit, yakni harga-harga barang/jasa yang semakin mahal. Jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin juga semakin lebar. Finalnya, terjadi peningkatan angka kemiskinan, bahkan kerawanan pangan hingga kelaparan juga tidak terhindarkan. 


Semua ini menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi hanyalah indikator semu terhadap kesejahteraan masyarakat. Realitasnya, tidak semua individu masyarakat itu merupakan kalangan milenial dan tidak semuanya juga berpendapatan tinggi. Alih-alih mampu berperilaku boros, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja keuangan mereka sudah kembang kempis. Jika mereka melakukan kegiatan belanja/konsumsi, semata karena barang/jasa yang bersangkutan memang benar-benar mereka butuhkan. Namun ironisnya, kalangan yang seperti ini tidak pernah masuk hitungan radar kesejahteraan, apalagi pengungkit pertumbuhan ekonomi. 


Profit Korporasi, Pemerintah Lepas Tangan


Andai kita jujur menyadari, pertumbuhan ekonomi yang selama ini pemerintah banggakan pun tidak serta merta berbanding lurus dengan upaya penyejahteraan pemerintah bagi rakyatnya secara menyeluruh. Sejatinya, profit dari hasil konsumerisme kalangan milenial justru masuk kepada korporasi yang bertengger di pasar, lebih-lebih di pasar digital.


Kita tentu ingat, sistem ekonomi kapitalisme dengan narasi neoliberalismenya, meniscayakan penguasa hanya sebagai fasilitator dan regulator untuk memberikan segala kemudahan birokrasi bagi kepentingan korporasi. Neoliberalisme sendiri adalah upaya pelumpuhan peran negara menuju corporate state (korporatokrasi). Pada titik ini, negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha sehingga keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, melainkan korporat (domestik maupun asing). Akibatnya, pemerintah pun semakin lepas tangan dari tanggung jawab utamanya mengurusi urusan rakyatnya, dan ini jelas bukan karakter negara mandiri. 


Sebaliknya, korporasi itulah yang menjadi pengendali produksi, distribusi, dan harga barang/jasa di pasaran melalui mekanisme pasar. Tidak heran, hanya konsumen/rakyat yang berpendapatan tinggi sajalah yang mampu terlibat dalam aktivitas konsumsi di pasar ini. Berdasarkan nominal pendapatannya, kalangan milenial tadi jelas sangat potensial untuk bisa memasuki pasar tersebut.


Dengan kata lain, pemilik kepentingan utama di balik segala narasi pertumbuhan ekonomi sejatinya adalah korporasi. Kalangan milenial yang pada umumnya juga sosok melek teknologi namun sekaligus rawan konsumerisme, jelas sasaran empuk untuk menjadi target pasar bagi produk-produk milik korporasi. 


Memalukan! 


Memposisikan pendapatan milenial sebagai indikator pertumbuhan ekonomi triwulanan sejatinya adalah narasi memalukan. Terlebih jika hal itu dilakukan secara legal oleh penguasa. Penguasa semestinya berperan sebagai perisai dalam tata kelola ekonomi negara sehingga mampu melindungi seluruh aktivitas transaksi ekonomi masyarakat dari cengkeraman kepentingan korporasi. Terlebih jika hal itu sampai harus menumbalkan pendapatan sebagian kalangan rakyat, sebagaimana yang terjadi pada kalangan milenial tadi, demi reputasi pertumbuhan ekonomi.


Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam/Khalifah itu junnah (perisai), orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim). 


Sungguh, semua itu berbeda dengan sistem Islam. Syariat Islam memberikan batasan yang jelas antara kebutuhan (needs) dengan keinginan (wants). Pemahaman akan hal ini mampu menyeleksi kebutuhan ekonomi masyarakat sehingga menghindarkan mereka dari perilaku konsumerisme. Prioritas belanja mereka juga tepat guna, tidak disetir oleh tren yang sedang terjadi. Pasalnya, godaan e-commerce, harbolnas (hari belanja online nasional), pinjol, serta beragam transaksi ekonomi berbasis riba, tampil begitu gencar di gawai/smartphone masing-masing individu.


Lebih dari itu, negara Islam (Khilafah) menjamin dan memfasilitasi secara gratis berbagai urusan publik seperti kesehatan, pendidikan, rumah/properti, juga transportasi (energi dan fasilitas kendaraan umum). Hal ini membuat perilaku konsumtif massal bisa semakin berkurang, karena masyarakat tidak harus mengeluarkan biaya demi kebutuhan publik tersebut. Masalahnya di era kapitalistik pada saat ini, kebutuhan publik tersebut juga menjadi lahan subur kapitalisasi oleh penguasa dengan sekutunya yakni para pengusaha. 


Di sisi lain, Khilafah jelas tidak menjadikan pendapatan milenial sebagai indikator pertumbuhan ekonomi. Khilafah justru bertanggung jawab menumbuhkembangkan ekonomi dalam rangka kesejahteraan rakyat, bukan malah sebaliknya mendorong rakyat berjuang sendiri untuk menumbuhkan ekonomi negara. Selain memiliki beragam sumber pemasukan negara beserta segala aset yang mampu membiayai kebutuhan masyarakat baik itu berupa fasilitas umum maupun kebutuhan individual bagi rakyat, Khilafah wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui mekanisme distribusi harta bagi mereka berdasarkan kebutuhan individu per individu. Inilah indikator pertumbuhan ekonomi yang hakiki. 


Sumber pemasukan Khilafah antara lain harta fai’, ghanimah, kharaj, usyur, jizyah, khumus, dan tambang. Khilafah juga memiliki sejumlah aset berupa tanah yang bisa digunakan untuk kepentingan umum, bahkan Khilafah boleh memberikan sebidang tanah kepada individu rakyat yang mampu mengelolanya (menghidupkannya). Pajak, sekali pun pada kondisi-kondisi terdesak bisa dipungut dari para orang kaya, tetapi pajak tetap tidak menjadi sumber pemasukan utama Khilafah. 


Khatimah


Jelas, perilaku konsumerisme bukanlah perilaku yang disyariatkan di dalam Islam. Perilaku konsumerisme justru berpijak pada konsep ekonomi neoliberal, anak kandung kapitalisme. Hal ini semestinya disadari dan dipahami oleh kalangan milenial sehingga mereka tidak mudah terjebak perilaku konsumerisme, sebaliknya harus bangga dengan berbagai muamalah syar’i yang bersumber dari sistem ekonomi Islam, sekaligus terlibat dalam perjuangan penerapannya secara kaffah. 

Wallahualam bissawab. []

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama