Oleh : Ummu Lathifah
Walikota Surabaya Eri Cahyadi terus berupaya memberikan kehidupan yang layak bagi warga miskin dan miskin ekstrem di kota Pahlawan. Kata Pak Eri, angka kemiskinan di Surabaya cenderung menurun dua tahun terakhir. Setelah meningkat pada masa pandemi hingga 5,23% (2021), kini angka kemiskinan Surabaya menurun menjadi 4,72% (2022). Untuk menyelesaikan masalah kemiskinan ini, pemkot siapkan aplikasi khusus untuk memantau warga miskin, salah satunya adalah dengan pengadaan rumah padat karya. "Aplikasi Rumah Padat Karya (RPK), tak sekedar memberikan pekerjaan, namun juga memantau bagaimana perkembangan yang diberikan pekerjaan" (ujar Fikser, jawapos 18/7/2023). Selain melalui padat karya, Pemkot juga akan membekali masyarakat miskin dengan bantuan modal dan peralatan (gerobak, rombong, mesin jahit). Masyarakat akan diajak berwirausaha sesuai dengan kemampuan dan keinginan masing-masing.
Sebelumnya, walikota Surabaya Eri Cahyadi menargetkan 65 ribu warga miskin Surabaya yang mendapat penghasilan kurang dari standar UMK yang ada di kisaran Rp 4,5jt, mereka akan ditargetkan berpendapatan Rp 4 juta tiap kepala keluarga mulai bulan Agustus ini. Dan walikota meminta jajarannya memastikan 65ribu keluarga miskin di Surabaya harus sudah bekerja di bulan Agustus. Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi M.Fikser mengatakan, pihaknya menyiapkan aplikasi khusus untuk memantau 65ribu warga miskin yang bakal diberikan pekerjaan dan disiapkan pendapatan Rp 4juta per KK. Pejabat struktural (lurah, camat, Kabag, kepala perangkat daerah, kepala badan hingga para asisten dan sekretaris daerah) di lingkungan Pemkot Surabaya telah menyerahkan surat pernyataan yang berisi tentang komitmen mereka dalam menurunkan stunting, gizi buruk dan kemiskinan.
Kemiskinan memang selalu saja jadi PR besar bagi tiap penguasa, demikian juga bagi Pemkot Surabaya. Meski Pak Eri menyampaikan bahwa dalam satu tahun terakhir mencatat, jumlah warga miskin Surabaya turun signifikan, pada awal tahun 2022 jumlah warga miskin mencapai 1,3juta jiwa, sementara hingga akhir Desember 2022 jumlah warga miskin turun menjadi 219.427 jiwa atau 75.069 KK, namun hingga saat ini kemiskinan ini belum tertuntaskan. Pemkot tidak sungkan berjanji akan serius meng noL kan kemiskan dan stunting, seraya membius masyarakat dengan hembusan "angin surga" kesejahteraan.
Hanya saja fakta yang bicara, ternyata tsunami kemiskinan juga tidak reda. Kalaupun ada penurunan, kadang hanya klaim dan tidak sesuai kenyataan. Terlebih standar kemiskinan yang digunakan seringkali berjalan tidak sesuai kemanusiaan.
Pemkot Surabaya mencatat garis kemiskinan di surabaya mencapai Rp 690rb/bln/kapita. Angka ini dihitung dari rata-rata pengeluaran masyarakat, bukan dengan yang semestinya. Dengan standar itulah diperoleh jumlah penduduk miskin. Dengan makna bahwa, penduduk dengan pengeluaran lebih banyak dari angka tersebut sudah tidak dikategorikan miskin lagi. Padahal, di tengah kebutuhan pokok yang serba mahal, termasuk biaya pendidikan, kesehatan, listrik, BBM, air bersih, transportasi dan sebagainya, angka sekecil itu tidak mungkin bisa menutup biaya hidup normal bagi orang per orang.
Wajar jika banyak yang percaya bahwa jumlah penduduk miskin di Surabaya faktanya jauh lebih banyak dari angka-angka yang diklaim pemkot. Terlebih dari problem data yang sering bermasalah, semua indikator kemiskinan dan kesejahteraan yang biasa digunakan penguasa selalu dihitung dengan angka rata-rata. Padahal pada saat yang sama, ada gap sosial yang sangat lebar antara si miskin dan si kaya. Ada yang bisa berpenghasilan Rp8 miliar/bulan, tetapi banyak juga yang serupiah pun mereka tak punya. Sehingga PR Besar ini butuh dicermati kembali mengapa upaya yang sudah dilakukan malah justru tidak menyelesaikan masalah.
Setiap pemerintah daerah selalu mengklaim sudah berusaha keras untuk memerangi kemiskinan dan semua problem yang mengikutinya. Begitu juga walikota Surabaya sudah sejak periode nya menjalankan program memberantas kemiskinan, salah satunya adalah program memberantas kemiskinan dari pemerintah pusat yang juga dijalankan oleh Surabaya, yaitu memberantas kemiskinan ekstrem. Ini sesuai dg instruksi Presiden No 04 tahun 2022 tentang percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. Dan upaya yang dilakukannya ntara lain,
1. Pengurangan beban pengeluaran masyarakat
2. Meningkatkan pendapatan masyarakat
3. Berupaya menurunkan jumlah kantong-kantong kemiskinan, targetnya tahun 2024 kemiskinan ekstrem jadi nol persen.
Masalahnya program-program seperti ini bersifat pragmatis dan seringkali hanya menyentuh aspek cabang dari semua problem kemiskinan. Semisal bantuan padat karya itu seperti "Obat balsam" Yang hanya sekedar meredakan gejala nyeri sementara problem akarnya tidak pernah tuntas. Semestinya mudah dipahami bahwa problem kemiskinan bukanlah problem seperti persoalan budaya, mental, atau ketepatan program. Bukan pula masalah personal, lokal, regional dan nasional.
Kemiskinan adalah problem kompleks yang berakar dari penerapan sistem politik ekonomi yang asas nya rusak sehingga memproduksi berbagai kerusakan. Sistem ini diterapkan secara global dan meniscayakan muncul nya berbagai kezaliman struktural. Sistem ini nyata-nyata telah mencerabut kemandirian sekaligus melumpuhkan kemampuan negara untuk mensejahterakan rakyat nya dengan segala sumberdaya yang ada di tanah airnya.
Sistem ini meniscayakan individu-individu rakus yang tidak kenal halal-haram. Dari merekalah lahir kolaborasi kelompok pemilik modal dan korporasi internasional yang siap menyetir kekuasaan untuk melegalisasi perampokan besar-besaran terhadap kekayaan milik masyarakat. Mereka siap menggunakan semua alat dan cara apapun untuk menyukseskan target-targetnya, mulai dari lembaga internasional (PBB, WTO, IMF, WB) hingga perjanjian-perjanjian internasional. Mereka pun juga menggunakan sistem moneter dan liberalisasi pasar untuk mendikte negara-negara kecil berstatus "jajahan".
Dengan demikian, sepanjang struktur politik ekonomi global ala kapitalisme neoliberal ini tegak dan dilestarikan, maka problem kemiskinan dan segala bentuk dampaknya dijamin akan tetap ada. Gurita kapitalisme global akan terus mencengkram melalui tentakelnya yang sudah masuk pada level kekuasaan lokal, sekaligus mengkooptasi paradigma berfikir mereka dalam mempermalukan rakyatnya. Satu-satunya cara untuk keluar dari problem ini adalah dengan melakukan koreksi total atas sistem yg ada dan mengubahnya dengan sistem berbeda yang menjadi rivalnya. Sistem tersebut tidak lain adalah sistem Islam yang tegak di atas asas akidah Islam dan standart halal haram.
Di dalam salah satu kitab mutabanat, kitab nidhom iqtishod fiil islam karya Syekh Taqiyyudin bab al faqru (kemiskinan) bahwa syariat Islam telah memberikan regulasi secara detil bagaimana mengatasi problem kemiskinan yang hal ini pernah dilakukan oleh para penguasa di negara Khilafah, dan salah satu fakta pernah disalah satu kepemimpinan seorang Khalifah, tidak ditemukan rakyatnya yang mau menerima harta zakat, karena pada posisi sudah tidak berhak untuk menerimanya.
Dalam sistem Islam mendefinisikan al faqru sangat jelas yaitu suatu kondisi dimana seseorang sangat membutuhkan sehingga dengan kondisinya tersebut sampai dia tidak bisa dimintai sesuatu. Dan Islam telah memberikan filosofi untuk mengasihi orang-orang yang miskin ini sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Hajj ayat 28, Allah berfirman yang artinya
"Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telahditentukan atas rizki yang Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan sebagian lagi berikanlah untuk dumakan orang-orang yang sengsara dan fakir”,
Dari ayat ini menunjukkan bahwa Islam memberikan dorongan pada orang-orang yang memiliki rizqi lebih untuk memperhatikan orang-orang di sekitar. Islam juga memberi mekanisme solusi yaitu :
a. Mewajibkan pada kerabat terdekat yang memiliki hubungan darah untuk membantunya seperti di dalam firman Allah dalam QS. alBaqarah ayat 233.
b. Jika dia tidak memiliki saudara hubungan darah atau jika saudaranya ada namun tidak memiliki kemampuan, maka kewajibannya berpindah kepada baitul mal, pada pos zakat mal.
c. Apabila harta zakat mal digunakan juga masih kurang atau bisa jadi tidak ada dana yang cukup ungtuk disalurkan pada kelompok fakir dan miskin, maka syariat islam mengatur pengambilan nya dari pos yang lain, bisa dari harta pengelolaan kepemilikan umum atau dari harta pengelolaan kepemilikan negara.
d. jika juga masih belum optimal maka negara melakukan mekanisme pungutan dhoribah yakni ditujukan pada orang-orang kaya secara temporal sesuai peruntukannya. Jika negara sudah bisa menyelesaikan maka dhoribah ini dihentikan.
Jelas bahwa upaya apapun yang dilakukan oleh penguasa untuk mengentaskan kemiskinan, selama masih berada dalam sistem yang rusak ini, niscaya tidak akan pernah terwujud. Dengan upaya apapun seperti yang dilakukan pak Eri dengan mentarget Rp4 juta/kk juga tidak akan berhasil mengentaskan kemiskinan.
Wallahu a’lam bi showwab…