Ekspor Pasir Laut Legal" Apakah Untung? atau Malah Buntung?



Eka Ummu Ahnaf


Lagi-lagi pemerintah menuai banyak kritik akibat menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan sedimentasi di laut. Kebijakan ini diklaim sebagai upaya untuk menyelamatkan ekosistem laut. Jubir Kementrian Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi menjelaskan  sedimentasi laut menyebabkan alur laut dan biodiversitas laut terganggu serta bisa menyebabkan kedangkalan.


Tidak hanya itu, pemerintah juga mengklaim bahwa sedimentasi ini bisa menyebabkan double impact pertama keuntungan biota laut kedua keuntungan yang diperoleh negara. Dalam laporan bulan April 2022 Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa penggunaan sumber daya pasir meningkat hingga tiga kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Angkanya bisa mencapai 50 miliar metrik ton diekstraksi tiap tahun. 


Namun dibalik potensi keuntungan tersebut tentu ada harga yang harus dibayar yaitu kerusakan ekosistem. Para ahli dan akademisi mengingatkan hal ini. Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Indonesia (WALHI). Parid Ridwanuddin menyatakan bahwa hal ini beresiko mengurangi pulau-pulau kecil di Indonesia. Sebab sedimen bisa menyebabkan kerusakan ekosistem pantai sebab bisa menyebabkan Abrasi. Menurut catatan WALHI ada sekitar 20 pulau-pulau kecil di Riau, Maluku serta disekitar kepulauan lainnya yang sudah tenggelam. 


Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Rignolda Djamaludin menyatakan dia tidak bisa memahami kebijakan pemerintah tersebut. Pengerukan sedimen dengan menggunakan alat berat berefek merusak ekosistem laut. Begitu pula lingkungan disekitar laut tersebut. Kualitasnya akan menurun karena bahan-bahan alamiah yang dibutuhkan ekosistem akan hilang. 


Selain itu pengerukan sedimen mengubah kontur dan sedimen dasar perairan yang dipastikan akan mengubah dinamika oceanodemografinya apalagi pada wilayah yang pulaunya kecil. Mindset Kapitalisme yang mengedepankan keuntungan materi membuat pemerintah menjadi abai terhadap potensi kerugian ini. 


Alih-alih menghentikan, pemerintah justru melanjutkan program tersebut. Mereka hanya memberikan janji akan menghentikan program tersebut jika menimbulkan kerusakan lingkungan dan membahayakan kelangsungan hidup di wilayah perairan. 


Pemerintah juga mengklaim bahwa pasir yang dikuras tidak di pesisir pulau-pulau kecil yang terancam tenggelam. Sejak tahun 2003 lalu kebijakan ekspor pasir telah dilarang melalui Kepmenperin Nomor 117 tahun 2003. Larangan ekspor itupun dipertegas di tahun 2007.


Ekspor pasir menyebabkan Pulau Nipah dan Sebatik sempat hilang karena pasir yang ada dikeruk untuk dijual ke Singapura. Karena itu proyek sedimentasi yang diklaim untuk penyehatan ekosistem, sejatinya hanya kebijakan yang memuluskan kepentingan ekonomi para kapital. 


Hal ini berbeda dengan paradigma Islam dalam mengelola sumber daya alam. Terkait pengelolaan lingkungan Allah SWT memerintahkan untuk menggunakan sesuai kebutuhan. Sesuai dengan firman-Nya:

Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan padanya sumber-sumber kehidupan untuk keperluanmu, dan (Kami ciptakan pula) makhluk-makhluk yang bukan kamu pemberi rezekinya. (TQS Al Hijr: 19-20)


Selain itu, manusia juga dilarang untuk melakukan kerusakan lingkungan sesuai dengan firman Allah dalam Qur'an surat Al A'raf ayat 56: Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik.


Berdasarkan ayat ini maka Negara seharusnya mencegah sedimentasi jika memang hal itu bisa merusak ekosistem laut. Dan hanya Negara Khilafah yang menerapkan sistem islam secara kaffah yang mampu mewujudkannya. 

Allahua'lam bishowab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama