Save Hutan Indonesia!



Oleh: Tri S, S.Si


Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) BPBD Kalimantan Selatan melaporkan luas total sementara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalsel mencapai 163,15 hektare hingga Sabtu (24/6) kemarin.


Berdasarkan data yang dihimpun tim BPBD, karhutla telah melanda sebagian wilayah pada satu kota dan enam kabupaten di Kalsel. Sementara itu, Manager Pusdalops-PB BPBD Kalsel Ricky Ferdyanto memaparkan wilayah yang telah dilanda karhutla, yakni Kota Banjarbaru dan 6 kabupaten lainnya. Lebih lanjut, wilayah kabupaten tersebut, yakni Tanah Laut, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong.


Ricky mengungkapkan ribuan titik api tersebut menyebabkan karhutla telah melahap hingga 163,15 wilayah di Kalsel. Ia menuturkan data tersebut berdasarkan laporan tim Pusdalops-PB BPBD Kalsel.


Pada Sabtu, Ricky juga mengatakan karhutla melanda puluhan hektare lahan di Kota Banjarbaru, Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Banjar. Menurut Ricky, luas lahan yang terdata kemarin masih sekitar 17 hektare.


Karhutla pada Sabtu kemarin diperkirakan menjadi kejadian kebakaran terluas pada 2023. Berdasarkan prakiraan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kalsel, wilayah Kota Banjarbaru terpantau mengalami cuaca cerah dengan terik matahari yang menyebabkan karhutla cukup rawan terjadi (kumparanNews, 25/06/2023).


Sungguh penderitaan yang luar biasa bernafas di tengah udara beracun. Terutama bagi bayi, ibu hamil, dan manula. Sejumlah penelitian menunjukkan udara beracun karhutla menyulitkan bernafas, mata terasa perih, tenggorokan kering, pusing, hilang kesadaran, dan kematian.Meskipun demikian disayangkan sikap pemerintah yang menganggap bahwa dampak yang ditimbulkan tidak separah yang diberitakan. Penyebab bencana ini adalah akibat pemerintah tidak mampu mencegah pembakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut ribuan hektare oleh pemilik hak konsesi. Ini di satu sisi, di sisi lain pemerintah sendiri menjadi penyedia ceruk bisnis puluhan juta ton Crude Palm Oil (CPO) per tahun melalui pengarusan agenda hegemoni climate change khususnya biodiesel/biofuel sawit. Sehingga, para korporasi perkebunan sawit makin tidak peduli kelestarian gambut, sebagai satu-satunya lahan dan hutan dalam jumlah luas yang tersisa bagi industri sawit. 


Disinyalir ini salah satu bentuk kelalaian negara dalam memberikan hak konsesi kepada korporasi perkebunan adalah faktor penting penyebab keganasan kabut asap karhutla yang berulang selama puluhan tahun. Di saat yang bersamaan, korporasi diberi kewenangan begitu luas. Tidak saja menghalangi individu lain memanfaatkan lahan dan hutan yang berada dalam kawasan konsesi, namun juga negara tidak dibenarkan melakukan intervensi apapun sekalipun demi kemaslahatan publik. Berikutnya, karena berkomitmen menjalankan agenda hegemoni climate change, khususnya program biodiesel/biofuel sawit. Seperti pada pertemuan G20 baru-baru ini di Osaka-Jepang. Sementara, sejumlah bukti meyakinkan menunjukkan program biofuel sawit climate change sebagai solusi pemanasan global hanyalah dusta belaka. Biofuel sawit justru menimbulkan jejak karbon ratusan kali lebih besar dari pembakaran energi fosil. Tidak saja menjadi sumber kesengsaraan bagi jutaan orang, negara sebagai regulator, pemberian hak konsesi berikut program moratorium, jelas kelalaian negara yang diharamkan Islam. 


Eksistensi agenda hegemoni climate change khususnya program biofuel sawit yang penuh dusta dan merusak, tidak dapat dipisahkan dari karakter sistem kehidupan sekuler yang rentan agenda hegemoni. Khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Sehingga, konsep-konsep batil ini harus diakhiri segera. Adakah aturan yang mampu memecahkan persoalan karhutla?


Mencermati uraian di atas, jelaslah akar persoalan berlarut-larutnya keganasan kabut asap karhutla adalah karena sistem kehidupan Islam tidak diterapkan. Artinya, hanya dengan kembali pada kehidupan Islam, Khilafah Islam terwujud zero karhutla, sehingga tidak akan ada lagi keganasan kabut asap karhutla. Ini di satu sisi, di sisi lain tersedia secara sempurna ruang untuk normalisasi fungsi ekologi dan hidrologi gambut yang dibutuhkan dunia. Ada beberapa prinsip terpenting dalam Islam yang wajib diterapkan, antara lain: Pertama, hutan gambut tropis Indonesia terluas di dunia memiliki fungsi ekologis dan hidrologis termasuk sebagai paru-paru dunia yang dibutuhkan oleh puluhan juta jiwa. Karenanya, pada hutan dan lahan gambut –sebagaimana hutan pada umumnya– melekat karakter harta milik umum. Kedua, negara adalah pihak paling bertanggung jawab menjaga kelestarian fungsi hutan dan lahan gambut. Rasulullah (saw.) menegaskan, artinya, “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Muslim). Artinya, apapun alasannya, negara haram sebagai regulator bagi kepentingan korporasi perkebunan sawit. Sebaliknya, negara wajib bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan dan dan lahan gambut. Termasuk pemulihan fungsi gambut yang sudah rusak serta antisipasi pemadaman bila terbakar. Ketiga, selain sumber bencana bagi jutaan orang, yang diharamkan Islam, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).


Keempat, agenda hegemoni Climate Change biofuel sawit wajib diakhiri, sebab Islam mengharamkan penjajahan apapun bentuknya. Allah swt berfirman dalam QS. An-Nisa (4): 141, artinya, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”. Jadi, apalagi yang ditunggu? Hanya Islam yang mempunyai solusi sedemikian rinci untuk menyelesaikan masalah karhutla ini. 


Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam melalui dua pendekatan: pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijrâ’i (praktis). Secara tasyrî’i, Islam menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). Rasul saw. bersabda: "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api"(HR Abu Dawud dan Ahmad).


Sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Dengan ketentuan ini, akar masalah kasus kebakaran hutan dan lahan bisa dihilangkan. Dengan begitu kebakaran hutan dan lahan bisa dicegah sepenuhnya sejak awal. Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, tentu harus secara lestari. Dengan dikelola penuh oleh negara, tentu mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat dan kelestarian hutan. Negara juga harus mendidik dan membangun kesadaran masyarakat untuk mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya untuk generasi demi generasi. Jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka wajib segera ditangani oleh Pemerintah. Karena Pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyatnya dan memelihara kemaslahatan mereka. Pemerintah akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di dunia dan di akhirat.


Adapun secara ijrâ’i, Pemerintah harus melakukan langkah-langkah, manajemen dan kebijakan tertentu; dengan menggunakan iptek mutakhir serta dengan memberdayakan para ahli dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dampak kebakaran yang terjadi. Mengakhiri kebakaran hutan dan lahan secara tuntas dengan dua pendekatan, tasyrî’i dan ijrâ’i, hanya bisa diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan syariah Islam dalam sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus sesegera mungkin diwujudkan oleh seluruh kaum Muslim negeri ini. Dengan itu berbagai bencana akibat ulah manusia, termasuk bencana kabut asap, bisa diakhiri.[] 

 

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama