Ummu Mafaza
Marah adalah salah satu perwujudan gharizah baqa (naluri mempertahankan diri). Namun tidak semua rasa marah itu kita salurkan dengan bentuk berteriak, membentak, berbuat anarkis, dsb. Energi marah bisa juga disalurkan dalam hal yang lebih positif. Misalnya bersih-bersih rumah, menjahit, menulis, ataupun dengan bentuk yang lebih produktif lainnya.
Pada suatu hari, seorang Muslim bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apa yang dimaksud dengan bertarung wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pertarungan sesungguhnya adalah jika seseorang marah lalu amarahnya makin memuncak, wajahnya memerah, dan kulitnya merinding, dan pada saat itulah ia mampu menaklukkan amarahnya.” (HR. Ahmad bin Hambal)
Rasulullah SAW memberikan nasehat kepada kita agar dapat mengendalikan kemarahan. Salman al-Farisi ra berkata, “Janganlah marah! Kalaupun Anda marah, kendalikan lisan dan tangan Anda.”
Dalam riwayat Abu Darda ra disebutkan bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku sebuah amal perbuatan yang dapat memasukkanku ke surga.” Dengan singkat beliau berkata, “Jangan marah, engkau pasti masuk surga.”
Boleh-boleh saja kita marah. Tidak ada yang melarang, asal marahnya ini masih dalam kendali akal sehat. Marah yang tidak membabi buta. Marah yang masih dalam keadaan terkontrol. Sehingga marah kita pun tidak merugikan orang lain.
Marah inilah yang disebut marah produktif. Seseorang yang bisa mengarahkan rasa marah pada hal-hal yang positif. Menyalurkan rasa marah dengan karya yang ciamik. Sehingga benar-benar kita bisa keluar menjadi sang pemenang. Karena mampu mengendalikan rasa marah dan mengubahnya menjadi energi dan kreativitas.
Tapi ingat, beda lagi ketika kita melihat kemungkaran, kedzaliman, ataupun melihat penghinaan orang kafir terhadap Rasulullah. Memang sudah selayaknya kita harus marah. Tapi marah yang seperti apa. Akan kita bahas ditulisan berikutnya. []