Generasi Tumbuh Karbitan, Perlukah Ilmu Kesehatan Reproduksi Diberikan?




Ruby Alamanda


Beberapa waktu lalu penulis dan beberapa guru sedang di perpustakaan, seorang guru biologi pernah bercerita siswa diminta menggambar alat reproduksi (kelamin), penulis kaget luar biasa, ada ya pelajaran seperti itu? Di kelas pun, hampir semua siswa memiliki pacar ketika ditanya. Dengan jujurly mereka menjawab punya pacar, ada yang adik kelas, ada yang kakak kelas, ada yg pacaran dengan tetangga yang alumni sekolah kami, dsb.


Pernah juga penulis menemukan kasus, di kamar mandi, seorang siswa mengunci pintu. Tubuhnya kaku, nangis luar biasa, bicara terengah-engah, merasakan kekecewaan yang mendalam, tidak mau ketemu pacarnya, pacarnya mendekat terus, tidak mau bicara dengan pacarnya, mau putus, mau bunuh diri, tidak mau disuruh pulang. Penulis sebagai wali kelasnya tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah seperti sinetron saja. Atau sinetron yang mirip mereka. Meskipun akhirnya bisa ditangani oleh guru BK senior.


Kedewasaan karbitan, penulis merasa anak-anak SMP sekarang makin glowing, makin pintar berhias, makin liar, makin berani, makin mudah sekali untuk bercengkrama dengan lawan jenisnya. Karena ilmu yang didapatkan itu jauh lebih lambat direspon daripada merespon keadaan sekitar.


Pergaulan yang bebas, tidak mengetahui mana baik buruk, yang ada di kepalanya hanya main, motor, HP, uang, dan kesenangan. Banyak orang tua yang mengeluh dengan pergaulan anaknya, pergi dari rumah pulang malam dan beberapa hari melakukan seperti itu. Padahal tiap hari ke sekolah diantar, masih kecolongan, nekat naik motor tanpa ijin dari orang tua. Kebangetan sekali.


Dirumah orang tua sudah sangat protektif, diluar anak bisa bebas main dengan teman laki-laki dan perempuan tidak kenal waktu.
Dilingkungan sebagian masyarakat abai terhadap pergaulan anak-anak, apalagi mereka memilih tempat yang jauh dari keramaian desa, misalkan di sungai, di gunung, di laut. Maka tidak adanya kesadaran dari diri anak juga mendukung semakin parahnya pergaulan mereka.


Skala besar negara tidak mempunyai 'satpam' dalam hal pergaulan, bebas tanpa batas. Tidak sekedar pergaulan, tetapi dalam hal apapun rakyat dibiarkan mikir sendiri, kerja sendiri.
 

Jika melihat fakta yang demikian memang kurikulum kesehatan reproduksi sangat diperlukan, akan tetapi dalam pelaksanaannya perlu ditinjau lebih mendalam, alih-alih menjadi ilmu yang bermanfaat bagi mereka, takutnya justru seperti memberikan contoh yang kurang benar dalam pergaulan mereka.
 

Jikapun tidak diberikan ilmu kesehatan reproduksi, maka harusnya keluarga telah sejak dini memberikan ilmu tersebut kepada anak bukan blak-blakan dalam penyampaian ilmu reproduksi tetapi melaksanakan beberapa aturan Islam didalam rumah, misalnya sejak dini anak-anak diajarkan untuk menutup aurat dengan baik, memisahkan tempat tidur mereka, dan membatasi pergaulan pria wanita. Di dalam rumah juga ada aturan yang harus dilaksanakan anak putri, jika keluar rumah harus dilatih menggunakan jilbab dan kerudung, begitupun dengan anak laki-laki, menutup aurat dengan baik.
 

Insyaallah jika hal ini dilakukan dengan baik maka anak-anak akan bisa menjaga pergaulan mereka baik dirumah, disekolah maupun di lingkungan sekitar.
 

Masyarakat juga peduli terhadap pergaulan anak-anak, mau untuk speak up jika memang dirasa anak-anak melakukan kesalahan. Dan andil negara harus luar biasa, karena efek dari pergaulan ini berpengaruh kuat, jika dibiarkan maka pasti ada sisi buruk yang lebih dahsyat akibatnya.
 
 
Maka intinya harus ada banyak action untuk merubah keadaan, tidak hanya sebuah program yang besar atau kelihatan bagus saja, atau hanya slogan saja. Tetapi kerja nyata dalam mengatur mulai dari akar hingga  kebaikan perilaku benar-benar bisa terwujud nyata. Sehingga mereka para generasi muda menjadi generasi yang bebas dari pergaulan bebas dan menjadi insan mulia disisi Allah Azza Wa Jalla. Wallahu a' lam bissowab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama