Oleh: Desi Maulia
Beberapa waktu yang lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan target penurunan kemiskinan ekstrem pada tahun 2024. Hal tersebut kemudian kembali dibahas oleh Presiden Joko Widodo. Jokowi mengaku masih optimis bahwa rencana pemerintah untuk menghapus kemiskinan ekstrem di Indonesia dapat tercapai pada tahun 2024. Hal ini disampaikan Jokowi usai menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Sekolah Partai, Jakarta Selatan, pada Selasa (6/6/2023) (Bisnis.com, 6/6/2023).
Optimisme ini Jokowi dilandasi dengan adanya sistem data yang sudah dimiliki pemerintah. Menurutnya, pemerintah kini sudah mempunyai nama dan alamat bagi individu yang masuk kategori kemiskinan ekstrem. Apalagi disupport dengan anggaran bantuan sosial yang cukup besar. Dengan support ini akan bisa menyelesaikan permasalahan ini. Meski Jokowi juga menyampaikan bahwa penyelesaian atas persoalan ini perlu konsolidasi antar kementerian. Optimisme Jokowi untuk menghapus kemiskinan ekstrem ini telah tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2024 (CNBC.com, 6/6/2023).
Namun optimisme Jokowi ini ternyata dipadang sulit oleh beberapa tokoh. Diantaranya oleh Profesor Arief Anshory Yusuf seorang peneliti dari SDGs Center, Universitas Padjadjaran, Bandung. Beliau berpendapat bahwa optimisme Presiden Jokowi terkait penghapusan kemiskinan ekstrem ini bertabrakan dengan realitas. Hal ini dikarenakan angka kemiskinan ekstrem di tanah air masih cukup tinggi pada tahun ini. Beliau menambahkan bahwa pemerintah akan kesulitan menurunkan angka kemiskinan ekstrem satu persen dalam kurun waktu satu tahun. Apalagi, target yang menjadi sasaran dalam program ini tidak mudah diidentifikasi dan dijangkau karena beberapa diantaranya adalah kelompok masyarakat yang terpinggirkan seperti para perempuan, orang-orang yang tinggal di daerah terpencil, dan juga orang-orang yang memiliki disabilitas (voa.indonesia.com, 10/6/2023).
Keraguan akan kemampuan untuk menurunkan kemiskinan ekstrem ini juga disampaikan oleh Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios). Beliau menanggapi bahwa target tersebut terlalu berat bagi pemerintah Indonesia. Bhima memperkirakan bahwa angka kemiskinan ekstrem 0 persen baru akan terwujud pada 5-8 tahun lagi setelah tahun 2024. Beliau menjelaskan saat ini kemiskinan ekstrem sulit mencapai target karena efek pandemi Covid-19 membuat masyarakat banyak jatuh pada kemiskinan. Mulai dari sulitnya mencari lapangan pekerjaan, kenaikan harga kebutuhan pokok (inflasi). Beliau memberi saran bahwa sebaiknya pemerintah mempertajam alokasi belanja infrastruktur dan memfokuskan kepada pembangunan infrastruktur di daerah miskin. Seperti memperbaiki irigasi, jalan desa, akses listrik yang stabil, hingga infrastruktur pendidikan dan kesehatan (tempo.co.id, 8/6/2023).
Dalam persoalan kemiskinan ini maka seharusnya pemerintah berupaya mencari akar penyebabnya apa. Dengan demikian pemerintah akan bisa mengurai permasalahan tersebut sehingga bisa mendapatkan solusi atas kemiskinan tersebut. Sehingga keinginan pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem ini bisa sejalan dengan penyebab yang melingkupinya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat pun akan bisa menjadi solusi yang tepat atas persoalan yang ada.
Jika didetili secara seksama kemiskinan yang terjadi saat ini bukan semata kemiskinan personal tapi kemiskinan tersistem. Di sistem Kapitalisme saat ini kemiskinan tidak semata disebabkan oleh individu yang tidak mau bekerja. Namun disebabkan kondisi yang memaksanya menjadi miskin. Mulai dari tidak adanya kesempatan bekerja, harga yang melambung tinggi sehingga meskipun bekerja tapi tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Ditambah lagi dengan kebutuhan lainnya seperti biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi. Juga banyaknya kriminalitas yang memungkinkan berkurang dan hilangnya penghasilan seorang setelah bekerja. Dengan kondisi ini tentu sulit bagi masyarakat untuk bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, lebih-lebih menjadi sejahtera. Kesejahteraan pun hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja.
Di sisi lain dalam sistem Kapitalisme kesejahteraan hanya diukur dari angka dan angka. Pemerintah pun dalam upaya mengentaskan kemiskinan hanya berputar pada target demi target. Tidak ada upaya yang menyeluruh untuk melakukan pengentasan kemiskinan. Hal ini wajar karena dalam sistem ekonomi Kapitalisme, penguasa hanya berperan sebagai regulator semata. Bukan sebagai penanggung jawab atas nasib rakyatnya.
Ini berbeda dengan sistem Islam. Islam memberikan jaminan kebutuhan bagi orang per orang dengan berbagai mekanisme yang dilakukan sesuai dengan aturan Allah SWT. Allah SWT memerintahkan pada laki-laki baligh untuk mencukupi kebutuhan hidup bagi dirinya, keluarga dan tanggungannya. Maka pemerintah berkewajiban untuk membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja misal cacat atau tua renta dan tidak ada keluarga yang mencukupinya maka negara bertanggung jawab untuk mencukupinya. Di sisi lain pemerintah akan menciptakan suasana perekonomian yang memungkinkan setiap orang untuk bisa mencari rizki yang halal. Sehingga perekonomian tidak hanya berputar pada orang-orang kaya saja.
Selain itu, pemerintah juga akan memberikan edukasi kepada rakyatnya dengan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Sehingga setiap orang yang hendak melakukan aktivitas dilandasi oleh ketaqwaan kepada Allah SWT. Begitupun bagi penguasa. Hendaknya pengentasan kemiskinan tidak hanya menjadi target angka saja. Tapi ini semua dilakukan untuk menjalankan perintah Allah SWT. Dengan demikian maka akan ada upaya yang maksimal agar kesejahteraan bisa diraih oleh semua rakyatnya. Wallahu 'alam bish showab.[]