Oleh: Mamay Maslahat (Akademisi)
Ancaman Kekeringan
Bayang-bayang ancaman kekeringan melanda Indonesia pada tahun 2023, dan puncaknya diprediksi pada sekitar Bulan Agustus. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa musim kemarau 2023 akan lebih kering dibandingkan tiga tahun terakhir. Dengan kondisi tersebut, diprediksi ada beberapa daerah yang mendapatkan potensi curah hujan bulanan dengan kategori rendah. Khusus di Bulan Juli hingga Agustus 2023 di sebagian Aceh, sebagian Sumatera Utara, sebagian Jambi, sebagian Sumatera Selatan, sebagian Lampung, sebagian Banten, DKI Jakarta, sebagian Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan Selatan, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Tengah, sebagian Gorontalo, sebagian Sulawesi Utara dan sebagian Papua.
Efek domino yang akan timbul akibat kekeringan selain dari ketersediaan air yang rendah juga terjadinya kebakaran hutan, lahan dan semak serta pasokan pangan bagi masyarakat. Untuk menghadapi hal ini perlu adanya mitigasi. Mitigasi bencana adalah segala upaya mulai dari pencegahan sebelum suatu bencana terjadi sampai dengan penanganan usai suatu bencana terjadi. Diperlukan proses edukasi mitigasi bencana terhadap masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran dan kesiapsiagaaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Sehingga dapat meminimalisir jumlah korban jiwa dan harta benda. Edukasi mitigasi bencana tidak hanya berupa penyampaian informasi dan penguatan kognisi warga masyarakat tentang pentingnya mengenali potensi ancaman terjadinya bencana alam, tetapi juga peneguhan sikap dan langkah strategis yang harus dilakukan ketika terjadi bencana.
Islam dan Mitigasi Bencana
Bencana adalah kerusakan terhadap sunnatullah, keseimbangan alam maupun sosial. Perlu dilakukan kajian secara mendalam dan terintegrasi tentang bencana tersebut sehingga akan lahir para ahli/pakar yang memahami dan menguasai bidang tersebut dan menghasilkan solusi atas permasalahan bencana. QS Ar Ruum 41 menyatakan bahwa:
“Telah timbul kerusakan di daratan dan lautan akibat perbuatan tangan manusia. Allah menimpakan pada mereka sebagian akibat perbuatan (dosa) mereka, mudah-mudahan mereka akan kembali (ke jalan yang diridhai Allah swt)”.
Berdasarkan ayat ini, kita pahami bahwa sumber bencana adalah aydin naas, yang dapat diartikan ulah manusia, baik melalui perbuatan masyarakat maupun kebijakan Negara. Perbuatan manusia yang menjadi sebab datangnya bencana juga ditegaskan dalam QS. Asy-Syuraa ayat 30:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”.
Sehingga hal yang pertama harus dilakukan dalam menghadapi bencana adalah segera bertobat dan bermuhasabah untuk mengingat segala kemaksiatan yang telah dilakukan yang membuat Allah SWT murka hingga menurunkan bencana. Tobat dan muhasabah ini menjadi penjaga kesadaran dan kondisi ruhiyah masyarakat, khususnya yang berada pada daerah rawan bencana alam untuk senantiasa menjaga ketaatan pada syariah dalam lingkup individu dan masyarakat, karena bencana alam dapat datang sewaktu-waktu dan memusnahkan setiap orang yang berada di daerah tersebut baik yang taat pada syariah maupun ahli maksiat. Sebagaimana hadis Nabi Saw: “Tanda-tanda yang dikirim Allah ini tidak terjadi karena hidup atau mati seseorang, tetapi Allah membuat umatnya takut. Sehingga ketika melihat suatu bencana, mohon dan memintalah pengampunan kepada-Nya.” (HR. Bukhari).
Prespektif Islam menjadikan sistem mitigasi bencana alam termasuk kekeringan menjadi tanggung jawab penguasa sebagai pemimpin negara, sebab sudah menjadi kewajiban penguasa untuk mengurus dan melindungi rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Pemerintah atau penguasa harus bertindak tegas dalam kegiatan mitigasi dari berbagai aspek. Khusus untuk bencana kekeringan pemerintah wajib: menjamin ketersediaan air bersih untuk keperluan pangan masyarakat dan pakan untuk ternak; pengaturan tata guna lahan dalam pemanfaatan lahan yang dapat dijadikan tempat bermukim atau tidak dibolehkan sama sekali karena rawan atas kekeringan; ketahanan pangan saat kekeringan dengan menjamin amannya stok pangan atau bahkan telah mengembangkan teknologi dalam budidaya tanaman pangan yang tahan kekeringan; mengantisipasi dan telah memetakan daerah yang rawan kebakaran hutan dan kekeringan. Selain itu, Pemerintah wajib menjamin atas kerusakan akibat bencana termasuk di dalamnya kemungkinan untuk dilakukannya relokasi masyarakat ke tempat yang aman.
Jika tata kelola negara ini dilaksanakan berdasarkan penerapan Syariah Islam Kaffah, insyaa Allah akan membawa ketenangan, kenyamanan dan keberkahan. Seluruh sumber daya alam akan dimanfaatkan untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat dengan sebaik-baiknya serta dengan memperhatikan aspek lingkungan, bukan hanya dieksploitasi demi kepentingan kapitalis hingga menyebabkan terjadinya kebakaran hutan, banjir, longsor atau bencana alam lainnya. Cukup bagi kita sebagai pengingat QS Al-Araf ayat 96 yang artinya:
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”. Wallahu'alam bishawab. []