Oleh: Anita Humayroh
Paham kebebasan dalam berperilaku, disadari atau tidak telah menjadi hal lumrah. Akal dan naluri manusia tidak dikawal dengan pemahaman agama. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang terus menjadi ancaman bagi setiap manusia. Segala perilaku rusak ini akibat dari penghambaan terhadap syahwat dan pengkerdilan akal yang mementingkan pemuasan nafsu semata.
Kasus terbaru, yang masih menjadi topik bahasan kali ini menimpa seorang gadis remaja berusia 16 tahun. Diketahui RO menjadi korban pemerkosaan oleh 11 pria pada April 2022 hingga Januari 2023. Yang membuat kasus ini menjadi lebih geram adalah dimana pelaku pemerkosaan terdiri dari guru sekolah dasar, petani, kepala desa, wiraswasta, dan termasuk seorang anggota brimob yang seharusnya menjadi pelindung bagi rakyat. (Kompas.com, 020623).
Fenomena kekerasan seksual yang terus merebak bahkan menyasar anak-anak amatlah memprihatinkan. Ibarat gunung es, yang tampak hanya dipuncaknya saja, sedangkan bagian bawahnya luar biasa dahsyat bahkan sulit dideteksi. Motif yang mendorong kekerasan seksual makin masif dapat dilihat dari berbagai faktor. Faktor internal saja misalnya seperti minimnya pengawasan dari orang tua. Zaman yang semakin modern seperti ini, tingkat pengawasan orang tua terhadap anak justru semakin berkurang. Terutama pengawasan dalam penggunaan gadget, medsos dan informasi yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan anak. Belum lagi hal yang dirasa menambah parah dikala orang tua, terutama ibu sibuk bekerja dan anak hanya diserahkan pada nenek atau lembaga-lembaga penitipan anak. Orang tua pergi pagi, pulang larut dan dalam keadaan lelah. Tak ada waktu untuk sekedar bercanda dan saling bercerita. Akhirnya peran penting ibu hilang dan terganti oleh dunia maya. Belum lagi masyarakat yang makin individualis. Rendahnya kepedulian masyarakat, mengakibatkan predator anak dapat dengan leluasa menjalankan aksi bejatnya. Hal yang menambah buruknya permasalahan kekerasan seksual pada anak ini adalah sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku kejahatan sama sekali tidak efektif dan tidak sedikit pun memberikan efek jera, bahkan tidak sedikit kasus pelecehan dan kekerasan seksual baik umum maupun pada anak-anak khususnya, seringkali proses hukumnya tidak ada kejelasan, dan hal ini membuat kasus-kasus asusila ini terkesan dipandang sebelah mata.
Padahal, kasus seperti ini, bukanlah hanya permasalahan sosial, akan tetapi bagi anak-anak yang menjadi korban dapat berdampak buruk dalam jangka panjang, misalnya saja hilangnya rasa kepercayaan pada orang dewasa, trauma secara seksual, perasaan yang menganggap diri tidak berguna, dan berbagai stigma negatif masyarakat yang menghantui.
Semua keburukan yang dihasilkan dari permasalahan kejahatan seksual ini adalah buah dari diadopsinya paham batil yang menjadi cikal bakal rentetan permasalahan berikutnya yang pastinya jauh lebih mengerikan. Karena paham sekuler saat ini telah dengan nyata memutus rasa kemanusiaan dalam diri masyarakat yang hidup didalamnya. Sungguh memang betapa rusaknya sistem dengan paham kebebasan yang mereka agung-agungkan. Na'udzubillah.
Kebobrokan sosial yang terus menerus terjadi bermuara pada hilangnya penjaga keimanan, pengabaian hukum syariah dan pemisahan agama oleh negara. Negara dalam hal ini semestinya memiliki tanggung jawab penuh dalam pencegahan maupun persanksian. Bukan sekedar memberikan kecaman dan setelah itu berujung pada aksi damai. Sekulerisme yang memisahkan peran agama dari kehidupan akan menjadikan ketaqwaan individu semakin tergerus. Orang-orang yang lemah imannya merasa dirinya boleh melampiaskan nafsunya kepada siapa pun. Di sisi lain dorongan seksual terus menerus dimunculkan di berbagai ruang masyarakat. Libéralisme melegalkan berbagai komoditas seksual, baik pornografi maupun pornoaksi.
Hal semacam ini, sangat berbanding terbalik dengan hukum Islam. Dalam sistem Islam yang diturunkan oleh Allah dengan seperangkat aturan hidup bagi ummat manusia haruslah menjadi pijakan dalam menuntaskan berbagai persoalan dalam kehidupan, tak terkecuali mencegah timbulnya gejolak seksual dan pemenuhannya yang tidak tepat, sehingga anak terlindungi dari segala bentuk kejahatan seksual. Peran individu, keluarga, dan masyarakat pun harus unjuk gigi menjadi garda terdepan dalam perlindungan anak dengan segala kesempurnaan aturan yang memang sudah dimiliknya.
Peran negara tentu yang paling besar. Karena, pada hakekatnya negara mempunyai kemampuan untuk membentuk kesiapan individu, keluarga, dan masyarakat. Diantara peran yang seharusnya dilakukan oleh negara adalah wajib menjaga susana taqwa di tengah-tengah masyarakat. Dalam sistem persanksian pun sangatlah sempurna. Dalam sistem Islam, hukuman atau sanksi diberikan kepada para pelaku secara tegas dan mampu memberi efek jera kepada pelaku pedofilia/pencabulan pada anak. Dengan penerapan aturan dan sanksi yang tegas inilah, dapat menjadi pencegah agar tak ada individu yang berani melakukan kekerasan seksual pada anak. Sistem sanksi dalam islam menetapkan pemerkosa dicambuk 100 kali bila belum menikah, dan dirajam bila sudah menikah. Penyodomi dibunuh. Termasuk juga melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan dikenai denda 1/3 dari 100 ekor unta, atau sekitar 750 juta rupiah, selain hukuman zina (Abdurrahman Al Maliki, 1990, hal 214-238).
Begitulah Islam dengan segala kesempurnaan ya menjadi sebuah keniscayaan sebuah kehidupan yang damai dan penuh dengan ketakwaan bagi siapapun yang hidup didalamnya. Wallahu'alam bisshowaab.