WASPADAI JEBAKAN HUTANG CINA LEWAT KCJB




Oleh : Irawati Tri Kurnia

(Aktivis Muslimah)


Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan (LBP), mengaku gagal. Tidak biasanya. Cina ternyata bersikeras pada tuntutannya agar APBN Indonesia menjadi penjamin atas utang proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang jumlahnya terus membengkak (cost overrun). (1)


Pada saat yang sama, LBP pun mengaku telah gagal melakukan negosiasi soal besaran bunga yang harus dibayarkan. Pihak Cina menetapkan jumlah bunga utang yang wajib dibayar sebanyak 3,4%. Padahal sebelumnya LBP berharap, bunga utang bisa berkisar sekitar 2% saja.


Sejak masih berupa gagasan, kasus yang menimpa proyek KCJB ini sebetulnya sudah menuai kontroversi. Diprediksi pesimistis oleh banyak pihak. Ekonom UI, Faisal Basri menyebutkan ini proyek merugi. Beliau juga menyampaikan saat rapat koordinasi di level pemerintah, bahwa rancangan proyek ini sempat ditolak berdasarkan hasil kajian dari Boston Consulting Group. Konsultan yang dibayar Bappenas senilai USSD 150.000 hanya untuk dua minggu ini, memang secara tegas menolak dua proposal proyek besar, salah satunya proyek KCJB.


Anehnya, pihak pemerintah tetap begitu berambisi untuk mengegolkan proyek ini. Awalnya Presiden Jokowi memastikan bahwa pembiayaan proyek mercusuar ini tidak akan mengganggu APBN, karena skema proyeknya telah diubah menjadi Bussines to Bussines (B to B) alias diswastanisasi. Disepakati skema investasinya 60% milik pihak Indonesia yang diwakili PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) sebagai representasi konsorsium BUMN, sedangkan pihak BUMN Cina—antara lain Sinohydro, China Railway International (CRIC), China Railway Engineering Corporation (CREC) dan tiga perusahaan lainnya—memiliki 40% saham.


Sebelum dengan Cina, Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) sempat menawarkan proposal proyek kereta cepat ini. Bahkan sejak 2014 Jepang sempat menggelontorkan dana jutaan dolar untuk melakukan studi kelayakan sebagai bukti keseriusan. Namun, belum selesai lobi dengan Jepang, pemerintah justru menerima Cina yang datang menawarkan nilai investasi yang lebih rendah. Bahkan Cina berani meniadakan syarat penjaminan dari pemerintah. Maka Presiden segera mengesahkan kesepakatan dengan Cina ini dengan menerbitkan Perpres No. 107/2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta-Bandung.


Prediksi buruknya proyek ini akhirnya terjadi juga. Selain masifnya migrasi tenaga asing yang sangat merugikan rakyat karena menyebabkan semakin tingginya pengangguran, akhir 2019 dunia termasuk Indonesia dilanda pandemi Covid-19 yang memperparah kondisi ekonomi. Dampaknya proyek yang ditarget selesai pada 2019 menjadi molor. Pembiayaan pun membengkak. Awalnya diperkirakan US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,5 triliun (dengan kurs Rp14.280 per dolar AS), pada tahun 2021 ternyata membengkak sekitar Rp27,74 triliun menjadi US$8 miliar atau setara Rp114,24 triliun. Karenanya Presiden Jokowi menganulir pernyataannya dengan membuka opsi pendanaan dari APBN, yang spontan menuai polemik. Indonesia kena jebakan!


Jebakan utang Cina ini sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari. Karena selama ini Cina memang dikenal punya rekam jejak gemar menjebak negara-negara miskin atau berkembang melalui kucuran dana investasi pada proyek-proyek strategis nasional. Modus yang digunakan adalah menawarkan skema B to B, yang seakan-akan urusan proyek bukanlah urusan negara. Padahal investor asal Cina adalah representasi BUMN Cina yang berkait erat dengan Partai Komunis Cina yang menguasai negara.


Salah satu proyek ambisius yang sedang digarap Cina adalah Jalur Sutera Maritim yang dikenal sebagai Belt Road Initiatives (BRI) dan jalurnya melewati Indonesia. Proyek yang diluncurkan sejak 2013 ini sejatinya adalah proyek penjajahan ekonomi Cina, mengingat proyek ini mampu menjerat negara-negara sasaran dengan “utang tersembunyi”. Yakni utang swasta yang diajak bekerja sama dan tidak terbaca dalam neraca keuangan negara, tetapi tiba-tiba membengkak dan akhirnya menjadi kewajiban negara.


Pihak Cina menolak tuduhan bahwa skema BRI dan pinjaman-pinjaman dana yang diberikan adalah bagian dari “diplomacy debt trap”. Dalam situs resmi mereka (http://eu.china-mission.gov.cn) disebutkan bahwa pinjaman Cina adalah pembiayaan berkelanjutan yang dapat digunakan untuk mendukung negara-negara berkembang dalam mengejar industrialisasi dan modernisasi. Bahkan pihak Cina menuding bahwa narasi itu adalah propaganda media Barat yang  menyudutkan Cina.


Faktanya, banyak negara-negara yang berutang pada Cina, pada akhirnya tidak bisa lepas dari kendalinya. Persyaratan utang Cina tampak hanya menguntungkan mereka. Contoh, negara mitra wajib membeli 70% bahan baku dan tenaga kerja dari Cina, serta mewajibkan penggunaan mata uang Cina untuk transaksi luar negeri dengan Cina. Lalu ketika pihak mitra kewalahan membayar utangnya, dengan mudah Cina mengambil alih pengelolaannya untuk jangka waktu yang sangat panjang. Dampaknya, selain hilang kedaulatan, negara tergadai karena utang yang tidak mampu terbayar. Inilah yang terjadi pada Sri Lanka yang kini dilanda krisis, serta beberapa negara di Afrika seperti Uganda, Kenya, dan Maladewa. Bahkan tidak terkecuali juga dengan Malaysia, dan kini Indonesia.


Menghadapi kritik keras dan masukan dari rakyatnya, anehnya, pemerintah diwakili LBP masih jalan terus. Dalihnya penerimaan pajak kita benar-benar lancar. Pada tahun lalu saja penerimaan pajak negara naik 48,6 persen. Ia ingin menegaskan bahwa APBN kita masih dalam keadaan aman. Padahal sumber penerimaan pajak pada APBN adalah uang dari kantong rakyat. Otomatis makin menumpuk utang negara, peluang mencekik kembali rakyat dengan kebijakan pajak tentu makin besar. Yang paling berbahaya dari itu, kedaulatan negara tergadai akibat utang.


Fakta miris seperti ini semestinya tidak terjadi jika negara tidak berkiblat pada sekuler kapitalisme neoliberal. Posisi ini berdampak menjadi objek yang dikendalikan oleh para kapitalis, baik lokal maupun internasional. Kondisi ini diperparah oleh keberadaan penguasa sistem sekuler kapitalis neoliberal yang kerap kali memosisikan diri sebagai mitra kapitalis. Jelas ingin mengeruk keuntungan. Tidak ada makan siang gratis. 


Jangan berharap mereka memaksimalkan usaha mencari cara menyejahterakan rakyat dengan mengelola seluruh potensi kekayaan yang ada di negaranya. Yang ada mereka malah asyik menjadi makelar proyek atau turut berburu rente dari proyek-proyek pembangunan negara. Mereka juga memberi dukungan atas proyek pembangunan infrastruktur karena akan memuluskan bisnis mereka tanpa harus mengeluarkan modal banyak. Seperti pembangunan infrastruktur jalan, jalur kereta, bandara, dan fasilitas lain; yang memudahkan arus orang, barang, dan jasa terkait bisnis-bisnis mereka.


Akhirnya wajar mereka begitu ambisius mengejar dan mempertahankan kursi kekuasaan. Demokrasi meniscayakan hal demikian, karena kekuasaan identik dengan uang. Kekuasaan adalah alat mengumpulkan kekayaan, dan kekayaan adalah modal untuk meraih kekuasaan. Jangan berharap rakyat akan disejahterakan dengan sistem rusak ini.


Islam menegaskan bahwa haram bagi umat Islam membiarkan dirinya dikendalikan kekuatan luar, serta haram untuk menjatuhkan diri dalam kebinasaan. Sesuai dengan firman Allah SWT :

“Dan Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.”

Juga pada hadis Nabi :

“Tidak boleh melakukan perbuatan (mudarat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain“. (Hadis hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruqutni dari Abu Said Al Khudri ra.).


Umat Islam dan para penguasa muslim harus waspada dan menolak setiap upaya penjajahan yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Termasuk diplomasi jebakan utang dari mana pun itu berasal, apakah dari Cina, Eropa, Amerika, maupun yang lainnya. Negara-negara besar ini jelas memiliki kepentingan ekonomi dan politik jangka panjang. Yakni demi membangun kejayaan dan hegemoni bangsanya atas dunia. Terlebih negara semacam Eropa dan Amerika memang memiliki sejarah panjang permusuhan ideologis dengan Islam dan umat Islam di seluruh dunia.


Penguasa di negeri-negeri Islam harus menyadari beratnya tanggung jawab kepemimpinan yang mereka pikul. Pengurusan atas setiap jiwa rakyat yang mereka pimpin akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Maka manakala amanah tidak tertunaikan, mereka akan dimatikan dan dibangkitkan sebagai pemimpin yang khianat. Padahal hukuman bagi pemimpin khianat, sungguh sangatlah berat.


Allah SWT menurunkan syariat Islam justru untuk mempermudah para pemimpin dalam menjalankan amanah yang berdimensi akhirat ini. Syariat Islam memberi tuntunan yang komplet bagaimana menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Dari hal yang sepele seperti adab ke kamar mandi, sampai hal yang kompleks seperti mengatur ekonomi negara; termasuk masalah utang negara.


Sumber-sumber kekayaan alam yang melimpah ruah dan beraneka ragam sejatinya adalah pemberian Allah untuk mencukupi kebutuhan manusia. Jika aturan Islam diterapkan secara keseluruhan, termasuk aturan ekonomi Islam dalam mengelola sumber-sumber kekayaan alam, dipastikan negara akan mampu menyejahterakan rakyatnya, termasuk membangunkan seluruh fasilitas umum yang dibutuhkan rakyat; sehingga negara tidak akan pernah berpikir untung berhutang. Negara yang menerapkan syariat Islam, yaitu Khilafah sebagai satu-satunya institusi yang mampu menerapkan Islam kaffah, akan menjadi negara yang mandiri dan berdaulat alias menjadi negara adidaya; tidak bergantung pada musuhnya.


Negara dan pemimpin seperti ini, bukan mustahil kembali diwujudkan. Syaratnya, umat Islam harus mau mencampakkan sistem sekuler kapitalisme neoliberal yang menafikan peran Tuhan, dan menggantinya dengan sistem Islam yang dikenal dengan Khilafah Islamiah. Selama 13 abad lamanya umat Islam hidup dalam sistem yang mulia ini, yang telah mampu menjadi mercusuar dunia dan menorehkan tinta emas peradaban cemerlang sepanjang jaman. Sepanjang itu pula umat Islam tampil sebagai umat terbaik dan negaranya tampil menjadi negara pertama, mandiri, berdaulat, sekaligus menebar rahmat.


Tentu semua ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Membutuhkan proses dakwah yang masif dan berkesinambungan, agar masyarakat mau mengambil Islam sebagai sebuah ideologi, sistem dan aturan kehidupan. Bukan sekadar agama ruhiyah (sebatas mengatur ritual ibadah) yang tidak memberi pengaruh pada kehidupan. Upaya dakwah ini hanya akan sukses membawa pada perubahan sistem yang diinginkan jika dan hanya jika kita mencontoh metode dakwah Rasulullah saw; yang bersifat pemikiran, politis, terorganisasi, dan tanpa kekerasan. Wallahu’alam bishshawab.[]


Catatan Kaki :

(1) https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/04/10/biaya-bengkak-pemerintah-utang-560-milliar-dollar-as-untuk-kereta-cepat-jakarta-bandung?utm_source=kompasid&utm_medium=whatsapp_shared&utm_content=sosmed&utm_campaign=sharinglink

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama