Langkah Jitu Mendidik Generasi Tangguh: Stop Menjadi Orang Tua Toxic



Endah Sulistiowati (Dir. Muslimah Voice)


Di era modern saat ini, didukung dengan sistem kapitalisme sekular, rapuhnya generasi muda juga tidak terlepas dari perang orang tua dalam mendidik anak. Meskipun orang tua berusaha mencarikan sekolah dan pondok pesantren terbaik, namun perannya sebagai sekolah pertama untuk anak-anak tidak bisa dibuang begitu saja. 


Bahkan dari orang tualah awal karakter anak ini terbentuk. Anak-anak ibarat buku kosong, catatan di dalamnya tergantung bagaimana orang tuanya. Rasulullah SAW bersabda, bahwa:


“Anak yang baru lahir diibaratkan sebuah kertas putih yang masih bersih, suci, berpotensi, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R.'Abdul Bar).


Mungkin saat ini sudah banyak orang tua yang sudah tidak pernah menyakiti anaknya secara fisik. Disadari atau tidak, tapi terkadang orang tua menyakiti anak secara verbal. Keduanya sama-sama menyakiti dan cenderung menjadi toxic atau racun bagi anak-anak. Dan parahnya racun ini bisa mereka turunkan ke anak-anak mereka nanti. Astaghfirullah. 


Untuk itu dalam tulisan ini akan coba kita bahas seberapa jauh akibat menjadi orang tua toxic bagi anak. Kemudian kita coba bersama uraikan solusi-solusinya, tentu saja dalam kaca mata Islam.


Dalam materi ini, setidaknya ada tiga hal yang akan dibahas, yaitu: 


1) Seperti apakah orang tua yang masuk pada kategori toxic parents? 


2) Apa bahaya dari toxic parents ini? 


3) Bagaimana strategi mendidik anak menjadi bahagia dan tangguh?


Orang Tua yang Masuk Kategori Toxic Parents


Seperti yang diketahui jika setiap orangtua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Meski toxic parents kerap berdalih untuk kebaikan sang buah hati, terkadang keinginannya justru dapat menyakiti perasaan sang anak. 


Toxic parenting didefinisikan sebagai penerapan pola asuh orangtua yang mengacu pada perilaku yang tidak baik dan berdampak buruk bagi anak, baik secara mental maupun fisik anak. Sebab, segala sesuatu yang bersifat toxic hanya akan menjadi penyakit yang pada akhirnya dapat berdampak pada diri sendiri dan orang lain.


Dari berbagai literasi yang penulis baca, setidaknya ada beberapa poin yang mengindikasikan bahwa hal tersebut adalah toxic bagi anak, yaitu: 


1) Ekspektasi yang terlalu tinggi untuk anak, tanpa memperhatikan kemampuan anak. 


Siapa sih yang tidak ingin punya anak yang selalu bintang kelas, punya bejibun prestasi. Hafal Al-Qur'an di usia dini, pandai ceramah, dsb. Sah-sah saja orang tua ingin begini dan begitu untuk anaknya. 


Tapi cobalah memahami, apakah anak benar-benar memiliki kemampuan tersebut? Apakah anak-anak nyaman dengan target-target yang ditentukan oleh orang tua? 


Hal ini harus dibicarakan dengan anak dari hati ke hati. Apakah mereka mampu dan dengan lapang hati menjalankannya. Jangan-jangan hal tersebut adalah keinginan orang tua semata, untuk menunjukkan kebanggaan dan kesenangan mereka semata. Sehingga ketika ekspektasi itu dipupuk tinggi namun yang terjadi tidak sesuai, ujung-ujungnya kecewa dan menyalakan anak. Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah. 


2) Egois. Orangtua terkadang lupa bahwa anak terus bertumbuh dan berkembang, yang akhirnya dia berhak memiliki pilihannya sendiri. Sayangnya banyak orang tua yang selalu menganggap kalau diri anak masih kecil, sehingga semua harus sesuai dengan keinginan atau yang ditentukan orang tua. 


Bahkan, ketika anak sudah beranjak dewasa, sering kali toxic parents masih ingin ikut campur dalam urusan anaknya dengan merampas kebebasan anak untuk berpendapat dan melakukan apa pun yang mereka suka termasuk dalam berkeluarga, tentu dengan catatan sesuai norma agama. Yaa, meskipun wajar saja bila orangtua merasa khawatir dengan kondisi anaknya, tapi rasa khawatir yang berlebihan malah justru membuat anak tidak leluasa dan memicu stres. Perilaku toxic inilah yang sebaiknya dihindari oleh para orangtua.


3) Membicarakan keburukan anak. 


Kadang orang tua lupa, sering membicarakan keburukan anak. Bahkan di depan anak sendiri. Hal ini bisa membuat mereka tidak percaya diri. Menjudge bahwa mereka tidak mampu. Ujung-ujungnya mereka enggan berbicara ataupun bercerita pada orang tua karena stempel buruk dari orang tua untuk dirinya. 


4) Membanding-bandingkan dengan saudara atau anak lain. 


Ingat masing-masing anak memiliki kekurangan dan kelebihan sendiri. Kita tidak bisa menginginkan nilai yang sama untuk setiap anak, meskipun mereka bersaudara. Hal ini juga bisa memicu kekecewaan pada anak.


5) Menjadi orang tua yang perhitungan. 


"Bunda sudah habis banyak ya untuk nyekolahin kamu, ngelesin kamu, kalau kamu tetap seperti ini rugi", ataupun kalimat-kalimat senada yang kadang sebenarnya untuk memacu mereka agar lebih rajin belajar, namun akhirnya mereka menganggap orang tua tidak ikhlas, atau yang lebih ekstrim mereka menganggap ini adalah utang bagi mereka kepada orang tua. Padahal memberikan pendidikan terbaik adalah kewajiban orang tua dan hak anak.


6) Selalu menyalahkan anak. 


"Kamu ini tidak pernah belajar", misalnya. Baik dengan kata halus ataupun kasar. Hal itu bisa menjudge anak bahwa mereka memang begitu. Sehingga mereka merasa "yo wis lah, aku memang begini". 


7) Selalu membenarkan anak. 

Kalau yang diatas selalu menyalahkan, poin ini selalu membenarkan ternyata juga toxic. Karena terkadang anak salah pun tidak ditegur, "biarlah mereka masih kecil, masih belajar", ataupun dengan alasan-alasan senada. Ternyata hal tersebut juga sangat berpengaruh pada kondisi anak. Bisa jadi membuat mereka keras hati jika diingatkan suatu hari nanti. 


Bagaimana, semoga kita semua terhindar dari sikap sebagai orang tua toxic. Karena serendah-rendahnya kadar racun akan berefek pada yang diracun, termasuk anak kita.


Bahaya Toxic Parents bagi Anak


Toxic parents tentu memiliki pengaruh buruk bagi anak. Sehingga perlu dihindari bagi orang tua jika ingin anak-anaknya menjadi anak-anak yang bahagia. Adapun pengaruhnya, antara lain: 


1) Membuat anak kurang percaya diri dan tersiksa secara mental. 


Karena tekanan-tekanan dari orang tua bisa jadi anak-anak yang tersiksa secara mental, bisa jadi secara fisik mereka berhasil, tercapai apa yang menjadi target kedua orangtuanya, namun tidak bagi psikis si anak. Apalagi jika tidak dibarengi dengan dasar aqidah yang kuat. 


2) Anak tumbuh menjadi anak pembangkang.


Beberapa kasus yang pernah penulis tangani, karena pembatasan-pembatasan yang terlalu ketat. Target-target yang ditentukan oleh orang tua, bahkan cenderung keras orang tuanya. Membuat anak cenderung membangkang. Ternyata sifat pembangkang ini adalah bentuk protes si anak karena kurang perhatian dari kedua orangtuanya. Karena orang tua lebih memperhatikan prestasi dan prestis. 


3) Anak akan bisa menjadi toxic untuk keturunannya nanti. 


Ini yang paling menakutkan, sikap toxic ini bisa diturunkan jika tidak diputus mulai sekarang.


Para orang tua harus segera menyadari jika ada kategori sikap toxic pada dirinya. Agar toxic ini tidak turun menurun nantinya. Karena bagaimanapun kita ingin generasi-generasi yang menggantikan kita adalah generasi tangguh yang hebat.


Strategi Mendidik Anak tumbuh Bahagia dan Tangguh 


Sebagai umat muslim, kita patut bersyukur semua yang ada di dunia hingga akhirat telah dijelaskan dalam kitab Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga kita memiliki pedoman hidup yang sudah pasti dengan kebenarannya. Begitu pun dengan makna kebahagiaan yang sesungguhnya. Lalu, apa sih arti bahagia itu? 


Bahagia itu adalah sebuah pikiran atau perasaan yang ditandai dengan rasa kecukupan, kepuasan serta cinta terhadap suatu hal. Sedangkan bahagia menurut pandangan Islam adalah saat kita sebagai umat muslim dapat mempertahankan keimanan atau keyakinan dan mampu melaksanakan perilaku yang sesuai dengan keyakinan tersebut. Tentu, hal ini berkaitan dengan sejauh apa kita yakin terhadap ketentuan-ketentuan yang Allah SWT berikan di setiap langkah kehidupan kita, baik atau buruknya yang kita jalani, itu adalah tanda kasih sayang-Nya terhadap kita semua. Intinya, bahagia itu adalah ketika kita mampu meraih ridho Allah SWT.


Makna bahagia itulah yang harus kita sampaikan kepada anak-anak. Sehingga ketika seluruh anggota keluarga memiliki pemahaman yang sama tentang kebahagiaan, barulah kita mulai langkah-langkah untuk meraih kebagian tersebut. Karena kebahagiaan pada diri anak adalah satu langkah maju mendidik mereka sebagai generasi tangguh.


Islam adalah agama yang sempurna. Di dalamnya ada ajaran dan tuntunan mendidik anak agar menjadi generasi emas peradaban. Sistem pendidikan Islam mencakup metode, sarana dan prasarana, media dan alat, sumber belajar, dan lain sebagainya.


Dalam mendidik anak, Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Maknanya, kita perlu melihat aspek kekinian alias perkembangan zaman dalam proses mendidik anak kita dengan terus memasukkan pemahaman syariat Islam kafah.


Menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. ada tiga rentang usia anak berkaitan dengan bagaimana kita memperlakukan anak, yaitu pertama, kelompok 7 tahun pertama (usia 0-7 tahun), perlakukan anak sebagai raja. Kedua, kelompok 7 tahun kedua (usia 8-14 tahun), perlakukan anak sebagai tawanan. Ketiga, kelompok 7 tahun ketiga (usia 15-21 tahun), perlakukan anak sebagai sahabat.


Pada tulisan kali ini kita akan fokus pada pembahasan kelompok 7 tahun ketiga, yaitu saat anak-anak kita remaja dan menginjak akil balig. Ini adalah masa anak-anak kita berhadapan langsung dengan pergaulan yang saat ini cenderung bebas dan sekuler. Kematangan anak dalam berpikir dan bersikap sangatlah dibutuhkan. Gemblengan di fase kedua sebelum masuk ke fase ketiga ini sangat penting untuk menjadi bekal mereka. Bagaimana kita memperlakukan anak remaja kita seperti sahabat?


Pertama, orang tua menjadi pendengar yang baik. Setiap hari pasti ada pengalaman baru bagi anak, baik dari sekolah, teman bergaul dan lainnya. Akan sangat baik jika anak mau menceritakan apa yang dia lihat dan rasakan kepada orang tua sehingga orang tua bisa mengeksplore apa yang terjadi pada anak. Menjadi pendengar yang baik butuh belajar dan latihan juga. Terkadang karena kesibukan orang tua sehingga melupakan kebiasaan ini yang sebenarnya manfaatnya sangat besar.


Kedua, memberikan ruang lebih kepada anak dalam berpendapat. Kebiasaan bermusyawarah di dalam keluarga sangat baik untuk membentuk pribadi anak yang berani mengutarakan opininya dan membentuk karakter pemimpin. Dengan memberi ruang lebih ini, maka anak tidak merasa dipaksa untuk mengambil pilihan-pilihan hidupnya dan orang tua tidak terkesan otoriter di mata anak.


Ketiga, membiasakan berbicara dari hati ke hati. Hal ini sangat penting apalagi saat anak menghadapi masalah. Jika kebiasaan ini bisa kita mulai sejak dini harapannya anak tidak akan membuat “jarak” dengan orang tua. Jika anak mulai merahasiakan kehidupannya dari orang tua, maka jangan langsung memberondong pertanyaan dan menginterogasi. Namun kita bisa melakukan upaya pendekatan-pendekatan secara perlahan. Dalam hal ini penting juga kita mengetahui pergaulan anak, dengan siapa dia berinteraksi, siapa sahabat karibnya, dan sejenisnya.


Keempat, memberikan tanggung jawab yang lebih besar. Ada kalanya anak-anak dihadapkan pada pilihan hidup. Misalnya, harus memilih sekolah, mengatur jadwal kegiatan harian atau mengelola keuangan sendiri. Peran orang tua adalah memberikan arahan dan masukan serta berikan gambaran tentang konsekuensi dari pilihannya tersebut. Latih anak untuk mulai mengatur hidupnya. 


Keempat, bekali anak dengan keahlian hidup, termasuk di dalamnya keahlian berkuda, memanah, dan berenang. Dari Jabir bin Abdillah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung zikrullah merupakan perbuatan sia-sia, senda gurau, dan permainan, kecuali empat (perkara), yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan berenang.” (HR. An-Nasa’i).


Berkuda akan memberikan anak keahlian (skill) sehingga memiliki jiwa kepemimpinan dan pengendalian diri yang baik. Berenang akan menjadikan anak selalu bersemangat, tidak mudah menyerah dan “tahan banting” (survive). Sedangkan memanah akan mengajarkan anak berpikir (thinking) tentang merencanakan masa depan dan menentukan target hidupnya.


Kelima, ingatkan anak bahwa kita sebagai orang tua mungkin tidak bisa menemaninya seumur hidupnya dan penuh keterbatasan dan kekurangan. Pahamkan anak bahwa sahabat terbaik yang tidak akan pernah mengecewakan kita adalah Allah Swt. yang setiap detik menemani hidup kita, selalu peduli, menolong hamba-Nya setiap saat dan mengabulkan semua doa kita. Maka, penting untuk terus mengajak anak senantiasa mendekat kepada Allah Swt. sampai kapan pun.


Khatimah 


Mendidik anak tidak hanya dengan asumsi. Apalagi jika asumsi-asumsi itu bisa menjadi toxic bagi anak. Orang tua harus segera sadar jika apa yang mereka lakukan ternyata adalah racun bagi anaknya. Karena toxic tersebut bisa membuat anak-anak justru kehilangan jati dirinya, stres, atau bahkan menjadi anak-anak pembangkang. Islam sebagai agama paripurna memiliki teladan yang tepat dalam mendidik dan mengasuh anak. Sehingga mereka tumbuh menjadi generasi tangguh yang hebat, yang berkepribadian Islam. Wallahu'alam. 


Daftar bacaan 


https://muslimahnews.net/2022/08/13/9981/



*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama