Oleh Ummu Qiya
Direktur Utama Waskita Karya Destiawan Soewardjono yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi oleh Kejaksaan Agung ternyata memiliki pundi-pundi kekayaan cukup fantastis. Ia diduga terlibat dalam penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan dari beberapa bank yang dilakukan oleh Waskita dan anak usahanya PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP). Kejagung menyebut, Destiawan melawan hukum memerintahkan dan menyetujui pencairan dana Supply Chain Financing (SCF). Modusnya dengan menggunakan dokumen pendukung palsu yang kemudian digunakannya sebagai pembayaran utang-utang perusahaan yang diakibatkan oleh pencairan pembayaran proyek-proyek pekerjaan fiktif.
Seakan tak kunjung usai, praktek korupsi tiap hr mewarnai berita media di negeri ini, bahkan semakin menjadi. Bahkan meski ada badan khusus untuk mengatasi korupsi, yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), korupsi seolah sudah menjadi tradisi tak terpisahkan dalam sistem kapitalisme demokrasi saat ini. Terbukti bukannya teratasi, tetapi semakin menjadi. Di sisi lainpun , hal ini menjadi bukti rusaknya moral individu negeri ini. Individu kian menghamba pada materi, berlomba-lomba mencari harta, tanpa melihat halal haramnya. Yang penting terus memperkaya diri.
Islam menjadikan korupsi sebagai satu kemaksiatan karena korupsi adalah perampasan harta, dan menetapkan hukuman yang jelas dan memberikan efek jera bagi pelakunya. Islam juga memiliki mekanisme yang ampuh untuk mencegah dan memberantas korupsi hingga tuntas ke akar-akarnya. Ketegasan sistem Islam dalam memberantas korupsi tidak terlepas dari sifat sistem persanksian dalam Islam, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, maka sanksi tersebut dapat menebus dosanya.
Di samping itu, sistem Islam secara holistik akan meniscayakan ketakwaan dalam diri setiap individu. Hal ini jelas memudahkan proses hukum pada pelaku. Dengan ketakwaan yang dimiliki, pelaku tindak kriminal tidak akan tahan berlama-lama menyimpan kesalahan. Dirinya meyakini bahwa hukuman di akhirat akan lebih dahsyat. Oleh karena itu, pelaku akan menyerahkan diri pada pihak berwenang dan mengakui kesalahannya. Dirinya pun ridha dengan sanksi yang menjadi konsekuensi untuk dia terima.
Tetapi mari kita lihat para koruptor saat ini. Alih-alih tobat nasuha, begitu dirinya bebas dan ada kesempatan lagi, dirinya malah tidak segan untuk mengulangi tindak korupsi, yang kalau bisa dengan jumlah yang lebih fantastis. Astagfirullah
Wallahu a'lam bishshawwab.[]