Indonesia Bebas Korupsi, Mungkinkah

 


Oleh: Tri Setiawati, S.Si


Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, diamankan Komisi Pemberantasan Korupsi. Yana Mulyana diamankan KPK hanya empat hari menjelang setahun memimpin Kota Bandung. Yana Mulyana ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) atas dugaan pengadaan barang dan jasa CCTV dan jaringan internet pada program Smart City Kota Bandung. Karena kasus ini, Yana Mulyana pun menambah daftar Walikota dan Bupati di Jawa Barat yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK (jabar.tribunnews.com,27/4/2022). 


Masalah utama dan membudaya saat ini adalah korupsi dikalangan pejabat Indonesia. Korupsi saat ini menjadi masalah utama negara. Hampir di semua lini terjadi korupsi, mulai level desa sampai pejabat tinggi. Tak ada lembaga negara yang absen dari kasus korupsi. Korupsi telah menjadi budaya. Jual beli jabatan, proyek, sampai suara seolah hal yang lumrah. Dengan adanya kebijakan ini, keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi patut dipertanyakan.


Inilah realitas hukum sekuler yang tidak berpijak pada halal dan haram, begitu mudah menoleransi sebuah kejahatan. Kejahatan bukan berdasarkan benar atau salah, tetapi berdasarkan hitung-hitungan materi. Akibatnya, akan muncul anggapan bahwa tidak apa-apa korupsi, asal sedikit. Lebih parah lagi, tidak mengapa korupsi, asal tidak ketahuan. Jika anggapan ini meluas di masyarakat, kehancuran negeri akan tinggal menghitung waktu.


Dahulu, sebelum Islam datang, apabila ada  yang mencuri akan mendapatkan hukuman yang berat. Menegakkan hukum Islam dengan tegas. Rasulullah SAW., bersabda: “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah manakala ada orang yang terpandang (terhormat) dari mereka mencuri, mereka pun membiarkannya.”


“Namun jika ada orang yang lemah dan hina di antara mereka ketahuan mencuri, dengan segera mereka melaksanakan hukuman atasnya.” (HR Muslim).


Hari ini pun demikian adanya. Jika rakyat kecil yang mencuri hanya untuk bertahan hidup, sanksi berat mereka dapatkan. Sedangkan, jika pejabat yang mencuri uang negara, mereka justru mendapatkan keringanan hukuman. Kondisi ini, akan bisa berujung pada kehancuran negeri sebagaimana sabda Rasulullah SAW di atas.


Tentu berbeda jika penentuan kejahatan korupsi berdasarkan halal dan haram sebagaimana dalam sistem Islam. Karna dalam syariat Islam, korupsi adalah haram, baik sedikit atau pun banyak. Rasulullah SAW bersabda: 


“Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji). Maka, yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR Abu Dawud).


Korupsi terkategori ghulul, baik berupa mengambil harta yang bukanlah haknya dari uang negara, riswah atau suap menyuap, hadiah untuk pejabat dan keluarganya atau gratifikasi, dan lain-lain. Semuanya itu haram


Rasulullah SAW. bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Ahmad).


Islam sangat tegas terhadap pelaku kejahatan, meski dia seorang bangsawan atau pejabat. Dalam sistem Islam untuk mencegah terjadinya korupsi dengan melakukan seleksi para pejabat dari orang-orang yang bertakwa. Negara melakukan penghitungan terhadap harta pejabat sebelum menjabat dan sesudahnya. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, akan dilakukan pembuktian terbalik. Para pejabat harus bisa membuktikan sumber hartanya, apakah dari jalan yang benar atau tidak. Tindakan korupsi masuk dalam kategori takzir, yaitu uqubat (sanksi-sanksi) yang dijatuhkan atas kemaksiatan. Dengan demikian, sanksi takzir bagi koruptor bisa sampai berupa hukuman mati, jika ijtihad pemimpin menentukan demikian Koruptor akan mendapatkan sanksi sosial berupa sanksi ekonomi berupa pemiskinan.


Penerapan hukuman ini sangatlah tegas, tak ada privilese untuk para pejabat tinggi maupun orang dekat penguasa. Inilah realitas hukum Islam tidak ada toleransi sedikit pun terhadap tindakan korupsi. Tanpa memandang dalam hal apapun. Hukum ditegakkan dengan seadil adilnya. Kasusnya akan diusut tuntas dan pejabat yang terbukti korupsi akan mendapatkan sanksi yang tegas dan membuat efek jera bagi pelaku. Keadilan pun niscaya terwujud sehingga rakyat merasa aman dan tenteram. Tanpa terulang lagi kasus korupsi.


Sebagai antitesis dari penerapan Kapitalisme, Islam jadi jawabannya. Penerapan sistem Islam dengan basis ketakwaan kepada Allah Swt. melahirkan individu-individu yang menjadikan halal haram sebagai standar hidupnya. Sehingga kecil kemungkinan terjadi berbagai praktik manipulatif di dalam lembaga pemerintahan.


Islam telah menggariskan bahwasanya setiap muslim yang diamanahi menjadi pemimpin, maka ia akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak. Dan tentu ini memberikan dampak psikologis yang luar biasa bagi seseorang yang benar-benar bertakwa kepada Allah Swt. Alhasil, jika dari akarnya diperbaiki, dirombak, diubah sesuai fitrah manusia, maka bukan tidak mungkin korupsi lenyap dari proses pemerintahan. Bahkan, para pemimpin yang hadir di tengah-tengah masyarakat pun adalah para pemimpin yang begitu dicintai rakyatnya.


Di samping penerapan sistem yang mumpuni, Islam pun telah menetapkan langkah-langkah bagaimana supaya kasus korupsi tidak menjamur di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.


Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintahan sebagai pelayan rakyat, ia berkewajiban menunaikan tugasnya dengan sempurna. Memberikan pelayanan yang optimal. Namun, mereka pun tetaplah manusia yang mempunyai kebutuhan hidup. Sehingga negara wajib memberikan gaji yang layak supaya aparatur pemerintah bisa fokus bekerja dan tidak tergoda berbuat curang.


Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Tentang suap Rasulullah bersabda, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad).


Ketiga, perhitungan kekayaan. Khalifah Umar bin Khathab pernah melakukan perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik dan ini menjadi cara yang ampuh untuk mencegah korupsi. Semasa menjabat pun, Khalifah Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, maka diminta membuktikan bahwa kekayaannya itu didapat dengan cara yang halal.


Keempat, keteladanan pemimpin. Pemimpin berkewajiban untuk melakukan ri’ayah syu’unil ummah (mengatur urusan umat) dan pengaturan ini harus dicontohkan kepada bawahannya. Sebagaimana Khalifah Umar pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena didapati tengah digembalakan bersama di padang rumput miliki baitulmal dan ini dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.


Kelima, hukum yang tegas. Penegakkan hukum dalam Islam tidak tebang pilih. Tanpa memandang apakah ia keluarga, kerabat atau kolega. Sebagaimana yang akan dilakukan Rasulullah kepada puterinya, jika benar Fatimah anaknya yang mencuri, “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari). 


Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat berperan sebagai kontrol sosial yang mempunyai kewajiban untuk senantiasa melakukan muhasabah ke berbagai elemen. “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan (tindakan atau kekuasaan)nya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Barang siapa yang tidak mampu melaksanakannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan hatinya. Dan yang terakhir itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)


Paripurnanya Islam yang memberikan syariat dari hulu ke hilir, tercatat telah berhasil meminimalisasi tindak kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Sistem ini mampu mengantarkan negara menjadi sebuah peradaban yang gemilang pada masanya. Bila sudah begini, apakah sistem Kapitalisme dengan berbagai nilainya yang rusak itu akan tetap dikukuhkan sebagai sistem tata negara? Wallahu alam.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama