Harga Telur Tidak Akan Pernah Stabil Dalam Sistem Ekonomi Kapitalis

 


Oleh: Eva Lingga Jalal 


Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (DPP IKAPPI) menyayangkan harga telur di pasaran terus melonjak. IKAPPI menyebut harga telur di wilayah Jabodetabek berada di kisaran Rp 31.000 hingga Rp 34.000 per kg, sedangkan di luar Pulau Jawa atau wilayah Timur Indonesia tembus Rp 38.000 per kg, bahkan lebih dari Rp 40.000 per kg.


Sekretaris Jenderal DPP IKAPPI, Reynaldi Sarijowan, menilai pemerintah tidak berbuat banyak terhadap kenaikan harga telur tersebut.“Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia menyayangkan harga telur di pasaran terus merangkak naik tidak terdapat upaya melakukan upaya penurunan harga telur, sehingga harga telur secara nasional naik,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (18/5).


Dia mengatakan, harga telur mengalami kenaikan sejak beberapa minggu terakhir, di mana IKAPPI sendiri menemukan ada dua hal yang menjadi fokus perhatian pihaknya. Pertama adalah karena faktor produksi, yang disebabkan oleh harga pakan yang tinggi. Kedua adalah akibat proses distribusi yang tidak sesuai dengan kebiasaan, yang biasanya di distribusikan ke pasar.


Tingginya harga telur ayam saat ini sangat berdampak terhadap pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan masyarakat pada umumnya. Selama ini, telur merupakan satu dari sembilan bahan pokok (sembako) yang jika mengalami kenaikan harga, secara umum akan mengakibatkan multiplier effect terhadap sisi konsumsi pada dunia industri, terutama UMKM.


Sebenarnya ketakstabilan harga pangan pokok (termasuk telur) sudah menjadi persoalan lama yang sulit diselesaikan. Menurut Guru Besar FEM IPB Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, politik perekonomian nasional Indonesia berada dalam ekosistem oligopolistik, termasuk industri unggas. Produk kebutuhan pangan sebagian besar memiliki struktur oligopoli, bahkan Menkeu Sri Mulyani mengatakan hanya dua perusahaan di Indonesia yang menguasai industri unggas dari hulu ke hilir.


Perusahaan integrator itu merupakan perusahaan peternakan unggas besar terintegrasi. Mereka menguasai mulai dari produksi, pakan, daily old chick (DOC), sapronak, budi daya ayam, budi daya telur, sampai produk olahan. Wajar saja harga bisa dikendalikan dan peternak unggas kecil dirugikan.


Seperti yang dikeluhkan para peternak ayam terkait harga pakan yang tinggi. Tentu ini sangat berpengaruh terhadap harga telur. Pasalnya, peternak ayam layer (petelur) lebih banyak membutuhkan pakan dari pada peternak ayam pedaging (potong). Walhasil, kenaikan harga pakan sangat berdampak pada peternak layer.


Sementara itu, bahan baku utama pakan ternak, yaitu jagung, sebagian besarnya diimpor. Tentu harganya bisa dikendalikan importir. Belum lagi fakta bahwa hampir seluruh produksi jagung tanah air dikuasai oleh perusahaan integrator. Jadilah harga pakan sangat tinggi.Sudahlah harga pakan tinggi, peternak pun harus membeli DOC dan sapronak yang mahal sebab semuanya dikuasai perusahaan besar. Ongkos produksi pun mahal. Inilah yang menyebabkan harga telur naik.


Akhirnya, ibu-ibu menjerit. Pangan pokok berprotein tinggi nan murah itu kini harganya selangit. Apalagi UMKM yang berbahan baku telur, sangat terpukul, bahkan banyak di antara mereka yang terpaksa berhenti produksi.


Bagaimana peternaknya? Jangankan diuntungkan, mengambil sedikit saja keuntungan sudah bagus sebab penguasaan industri unggas dari hulu ke hilir dikuasai pemilik modal.


Sebenarnya, sudah banyak yang mengeluhkan adanya praktik monopoli dan oligopoli di industri unggas ini. Asosiasi Peternak Ayam Rakyat Indonesia (Aspasi) sendiri sudah melaporkan dugaan praktik monopoli dan oligopoli yang dilakukan perusahaan terintegrasi dalam usaha budi daya ayam kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).


Sebelumnya, KPPU telah memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah untuk membenahi kembali aturan soal bisnis perunggasan yang didominasi oleh perusahaan besar dari hulu ke hilir.


Hal ini sangat berpotensi membuat persaingan usaha jadi tidak sehat dan pada gilirannya harga pangan tidak stabil karena dikendalikan korporasi. Namun demikian, praktik oligopoli dan monopoli masih saja langgeng meski laporan sudah sampai pada pemangku kebijakan.


Lantas, mengapa perusahaan tersebut masih tetap eksis bahkan penguasaannya makin bertambah dan meluas? Semua ini akibat tata kelola yang amburadul, yakni sistem ekonomi kapitalistik menjadi platform perekonomian negara. Negara hanya memposisikan diri sebagai regulator yang menghubungkan kepentingan swasta dan kebutuhan rakyat. Negara seperti tidak memiliki kuasa untuk mampu menindak praktik oligopoli.


Walaupun pada teorinya praktik monopoli itu buruk dan harus dicegah agar terjadi keseimbangan pasar, tetapi siapa yang mampu mencegahnya? Bukan rumor lagi, penguasa sesungguhnya negeri ini adalah para pemilik modal. Lihatlah, kebijakan pemerintah kerap memberi karpet merah pada pemilik modal, seperti kebijakan peternakan yang kian hari malah berpihak pada korporasi.


Dalam UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, misalnya, dibolehkan bagi perorangan atau badan hukum menjalin kerja sama dengan asing. Pada saat itulah lalu lintas peternakan menjadi makin semrawut. Mafia ternak yang memiliki penguasaan dari hulu ke hilir pun berdatangan.


Walhasil, jangankan KPPU yang keberadaannya dianggap formalitas dalam mengawasi usaha belaka, pemerintah pun dalam sistem kapitalisme menjadi mandul dalam melindungi rakyatnya. Selain sekadar berperan sebagai regulator, politik transaksional dalam demokrasi pun telah menyandera para penguasa, alih-alih bisa melahirkan kebijakan yang pro umat.


Oleh karenanya, mahalnya harga telur dan semrawutnya perniagaan unggas tanah air sejatinya lahir dari sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi pijakan dalam tata kelolanya. Hingga kapan pun, praktik oligopoli bahkan monopoli yang membuat pasar menjadi tidak seimbang akan terus hadir, bahkan keberadaannya dilindungi oleh penguasa.


Stabilitas harga pangan sangat penting demi terpenuhinya kebutuhan umat akan makanan sehat, terlebih pangan pokok seperti telur yang mengandung protein tinggi dan menjadi bahan baku banyak olahan makanan. Terkait hal itu, Islam memiliki beberapa aturan.


Pertama, peran negara harus hadir sepenuhnya dalam pengaturan pangan sebab hal ini merupakan kebutuhan dasar rakyat. Dari mulai produksi, distribusi, hingga impor, semua dikelola negara. Negara harus menjaga keseimbangan suplai dan demand (penawaran dan permintaan). Contohnya, ketika jagung sebagai pakan utama ternak kurang, negara harus menjaganya dengan produksi masif agar lepas dari ketergantungan impor.


Kedua, rantai usaha pertanian pangan ini boleh dilakukan individu/swasta, tetapi negara harus memastikan mekanisme pasar berjalan dengan sehat dan baik. Kuncinya adalah penegakan hukum ekonomi Islam dan melarang atau menghilangkan semua distorsi pasar, seperti penimbunan, permainan harga oleh pedagang besar untuk merusak pasar; juga pelaksanaan fungsi kadi hisbah yang secara aktif dan efektif memonitor transaksi di pasar. Dengan ini, penimbunan atau pemusnahan ayam agar harga jual tinggi bisa cepat ditindak. Hanya saja, semua ini bisa berjalan dengan baik jika sistem ekonomi Islam diterapkan dengan sempurna.

Wallahu alam bishawab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama