Oleh Diyani Aqorib
(Aktivis Muslimah Bekasi)
Amerika Serikat sebagai negara adidaya sedang dilanda gejolak ekonomi. Di tengah krisis perbankan yang berkepanjangan dan adanya potensi gagal bayar pada 1 Juni 2023 mendatang, membuat sejumlah negara mempertimbangkan untuk meninggalkan dollar AS dalam bertransaksi. Kondisi ini dibenarkan oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva. Menurutnya dollar AS telah kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan utama dunia. Sehingga diperkirakan beberapa mata uang siap menggantikan dollar AS sebagai mata uang cadangan. Antara lain euro Uni Eropa, poundsterling Inggris, yen Jepang, dan yuan Cina. (cnbcindonesia.com, 6/5/2023)
Fenomena dedolarisasi atau buang dollar sebenarnya sudah mulai dilakukan beberapa negara di dunia. Salah satunya Indonesia, yang telah mengurangi ketergantungan terhadap dollar sejak 2018. Selanjutnya India, sejak April 2023 mengeluarkan kebijakan untuk semakin meningkatkan penggunaan rupee dalam perdagangan. Antara lain dengan Malaysia dan Uni Emirat Arab (UEA).
Bahkan Indonesia sendiri sudah menggencarkan penggunaan mata uang lokal melalui _settlement currency_ atau _local currency settlement_ (LCS) dalam transaksi perdagangan bilateral dengan beberapa negara mitra. Indonesia pertama kali mengimplementasikan LCS dengan Thailand dan Malaysia pada tahun 2018. Dilanjutkan pada Agustus 2020 kerja sama serupa dilakukan dengan Jepang. Kemudian menyusul pada September 2021 kerja sama LCS sudah efektif diimplementasikan dengan Cina. (cnbcindonesia.com, 6/5/2023)
_Local Currency Settlement_ (LCS) adalah penyelesaian transaksi bilateral antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara. Di mana _settlement_ transaksinya dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah negara masing-masing. Untuk memperluas transaksi, maka LCS akan diganti menjadi _Local Currency Transaction_ (LCT). Sehingga jangkauan transaksinya tidak hanya perdagangan, tapi meliputi investasi dan transaksi di pasar uang. Nantinya LCT tidak hanya dilakukan oleh Indonesia dan negara mitra, tapi juga antar negara mitra. Sistem ini akan membantu mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS.
Kelebihan melalui sistem LCT akan memudahkan masyarakat dalam bertransaksi, terutama bagi para pengusaha ekspor impor dan masyarakat yang ingin berwisata ke luar negeri. Sehingga tidak perlu repot-repot membawa uang dalam jumlah besar dalam bentuk dollar AS atau negara setempat. Karena kini mereka bisa menggunakan mata uang rupiah. Apalagi negara bilateral yang melakukan kerja sama transaksi LCT telah menyediakan QR Code, sehingga memudahkan dalam bertransaksi. Kekurangannya hanya di masalah teknis. Karena transaksi bilateral ini melalui digital, maka kemungkinan adanya gangguan jaringan internet dapat menghambat kelancaran dalam bertransaksi.
Monopoli Dollar terhadap Keuangan Dunia
Penggunaan dollar AS di banyak negara serta menjadi mata uang cadangan negara-negara di dunia dimulai dari munculnya mata uang Negeri Paman Sam tersebut. Dollar AS pertama kali dicetak pada tahun 1914. Pencetakan uang dollar AS dilakukan setahun setelah pembentukan _Federal Reserve_ _(The Fed)_ sebagai bank sentral. Pertama kali dollar AS dijadikan mata uang cadangan dunia yaitu tiga dekade setelah pencetakan uang tersebut pertama kalinya di tahun 1914.
Sebelum Perang Dunia pertama (PD I) sebagian negara maju menyimpan cadangan dalam bentuk emas untuk menjaga stabilisasi mata uang mereka. Namun, ketika pecah PD I di tahun 1914 banyak negara meninggalkan standar emas. Sehingga mereka membayar belanja militer dengan uang kertas, yang pada akhirnya mendevaluasi mata uang mereka.
Awal mula dollar AS menjadi cadangan mata uang dunia ketika terjadi Perjanjian Bretton Woods pada tahun 1944. Negara-negara maju bertemu di Bretton Woods, New Hampshire, untuk mematok nilai tukar mata uang negaranya terhadap dollar AS. Karena pada masa itu Amerika Serikat (AS) adalah negara yang memegang cadangan emas terbesar di dunia.
Amerika Serikat pun menjadi debitur dari banyak negara yang ingin membeli obligasi berdenominasi dollar AS. Hal tersebut dilakukan karena menurut mereka ini adalah cara yang paling aman untuk menyimpan uang. Maka sejak saat itu ketergantungan negara-negara di dunia terhadap dollar AS sangat tinggi. Semua transaksi dilakukan berdasarkan dollar AS. Kondisi ini pun dimanfaatkan oleh AS untuk semakin mendominasi dunia dan menancapkan hegemoninya, terutama di negara-negara berkembang. Salah satunya melalui utang. Adanya skema utang luar negeri dan pematokan semua transaksi berdasarkan dollar AS, maka hal ini akan menjerat negara-negara miskin dan berkembang sehingga semakin sulit untuk bangkit.
Dengan begitu Amerika Serikat dengan ideologi kapitalisme nya yang penuh dengan kerakusan dapat dengan mudah mengontrol dan melakukan hegemoni kepada negara tertentu sesuai dengan kepentingan dan keinginannya.
Sistem Mata Uang Daulah Islam
Khilafah sebagai institusi yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh menetapkan penggunaaan mata uang berdasarkan standar emas dan perak, yaitu dinar dan dirham. Aktivitas transaksi di tengah masyarakat akan ditopang dengan cadangan emas dan perak yang ada. Seandainya daulah mencetak mata uang substitusi, tetap harus bersandar pada emas dan perak. Sehingga negara akan terhindar dari bahaya inflasi, karena nilai emas dan perak yang stabil.
Begitu pun dengan transaksi yang dilakukan daulah dengan negara-negara luar. Semua harus menggunakan standar emas dan perak. Apalagi kekayaan alam yang dimiliki daulah sangatlah besar, seperti minyak bumi yang dibutuhkan seluruh negara di dunia. Mau tidak mau negara-negara luar akan membeli hasil olahan minyak bumi tadi dalam bentuk mata uang emas. Dari sini Khilafah justru mampu menguasai bursa uang dunia, karena stok emas yang melimpah.[]