Ancaman Bahaya Dalam Mencari Kerja di Negara Tetangga



Oleh: Endang Setyowati 


Pahlawan devisa negara, julukan yang disematkan bagi para Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Mereka rela meninggalkan tanah air untuk mencari pekerjaan, yang harapannya akan memperbaiki ekonomi keluarganya.


Tidak bisa dinafikan, bahwa dari merekapun negara akan mendapatkan keuntungan. Para TKI tersebut banyak alasan kenapa harus meninggalkan tanah airnya. Salah satunya kurangnya lapangan pekerjaan di negeri sendiri.


Sangat kontras, ketika Indonesia sendiri memiliki kurang lebih 17.800 pulau yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Dengan jumlah seperti itu, Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia. Karenanya, orang asing menjuluki Indonesia dengan sebutan thousand Islands atau negara seribu pulau.


Nyatanya, pengangguran masih menjadi problem besar bangsa yang hingga kini belum terselesaikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 7,99 juta orang masih menganggur di Indonesia atau sekitar 5,45% pada Februari 2023 secara tahunan (year on year). (CNNIndonesia, 5/5/2023).


Sehingga kemiskinan ini mendorong sebagian rakyat untuk mengadu nasib di negara tetangga.  Apalagi janji seribu lapangan kerja tak kunjung nyata.  Sementara itu, ancaman Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) lintas negara masih besar.    


Seperti yang dilansir oleh (CNN Indonesia, 06/05/2023) Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengklaim kasus perdagangan manusia semakin meluas di Asia Tenggara. Pernyataan itu Retno lontarkan menyusul puluhan warga negara Indonesia (WNI) korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) disekap di wilayah pemberontak Myanmar baru-baru ini.


Retno berujar online scam sudah menjadi masalah regional dengan korban berasal dari berbagai negara. Untuk korban Indonesia sendiri, tercatat ada di Myanmar, Kamboja, Thailand, Vietnam, Laos dan Filipina.


Menteri juga menyampaikan telah mengalami dan menyelesaikan 1.841 kasus online scam. Kasus semacam ini pun menurutnya tak cuma terjadi di RI, tetapi juga di berbagai negara ASEAN.

"Korban perdagangan manusia yang dilakukan melalui online scam semakin marak di Asia Tenggara," kata Retno saat Press Briefing di Kemlu RI, Jumat (5/5).


Modus online scam yang kerap dilakukan di antaranya yaitu menawarkan pekerjaan dengan gaji besar tanpa mensyaratkan kualifikasi khusus. Tawaran pekerjaan itu pun disebarkan melalui media sosial. 


Umumnya pekerjaan yang ditawarkan dengan gaji yang mengiurkan, yaitu antara 1.000 sampai US$1.200.  Dalam arti gaji mereka sekitar Rp18 juta. Bukan cuma itu, para korban online scam juga berangkat ke negara tujuan tanpa menggunakan visa kerja. Mereka menggunakan visa bebas kunjungan wisata yang bisa dipakai ke sesama negara Asia Tenggara.


Baik mereka membiayai sendiri proses keberangkatannya atau ada yang sudah disiapkan tiketnya, sebenarnya ini menjadi pembelajaran bagi kita bahwa harus berhati-hati dengan modus tawaran tersebut.


Namun Nyatanya, hal tersebut tidak membuat para TKI tersebut jera, dengan bukti korban online scam inipun ada yang kembali terjaring kasus serupa. Sebagai contoh, KBRI Vientiane telah menangani 15 warga negara yang menjadi korban online scam di Laos. Kemudian dipulangkan ke Indonesia, namun kemudian 11 diantaranya tercatat berangkat kembali ke luar negeri dan bekerja di jenis usaha yang sama.


Ini membuktikan bahwa mereka bekerja ke luar negeri karena tergiur oleh gaji besar, yang belum tentu bisa didapat tatkala bekerja di dalam negeri sendiri. Namun andai saja mereka mendapatkan pekerjaan dan gaji yang layak, bisa jadi mereka akan memilih bekerja di dalam negeri dengan hidup  layak dan bahagia berkumpul bersama keluarga.


Ketika kondisi ekonomi yang sulit, susahnya mencari lapangan kerja, kecilnya pendapatan, minimnya pendidikan maupun mempunyai hutang yang banyak, sehingga kondisi seperti itulah yang memaksa mereka merantau ke negeri orang.


Ini salah satu bukti gagalnya negara dalam mengurusi rakyatnya, dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Negara juga gagal dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya, buktinya rakyat sampai harus merantau ke negeri orang.


Beginilah ketika menerapkan sistem kapitalisme, pemegang kebijakan dikuasai oleh para kapitalis yang memiliki kepentingan. Mereka menjanjikan seribu lapangan kerja, namun tak kunjung nyata. Sementara itu, ancaman TPPO lintas negara masih besar.


Selama pemicunya masih ada, maka TPPO tidak akan bisa terselesaikan baik tingkat ASEAN ataupun Internasional. Lagi dan lagi kasus akan terulang ibarat lagu yang terus diputar, maka tidak akan ada selesainya.


Berbeda ketika kita menerapkan sistem Islam, maka pemimpin akan melayani urusan rakyat dengan sepenuh hati, karena para pemimpin ini akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya tersebut.


Sehingga akan memenuhi kebutuhan dasar rakyat, sandang, pangan, papan, kesehatan dan keamanan. Ketika ada yang tidak mampu seperti fakir, miskin yang belum bekerja, maupun yang mempunyai hutang, akan di bantu untuk menyelesaikannya.


Negara akan membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya dengan mendirikan industri padat karya bagi rakyatnya yang belum bekerja kemudian akan memberi gaji yang mampu menopang biaya hidupnya. 


Selain itu, negara akan menghidupkan tanah mati, tanah yang tidak dimanfaatkan. Akan diberikan kepada orang yang mampu untuk mengolahnya. Kemudian negara juga akan membantu bagi rakyat yang akan membuka usaha dengan meminjami modal tanpa riba.


Dari sini telah terlihat bahwa negara mendorong rakyatnya untuk bekerja sehingga menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga rakyatnya akan tenang bekerja di negeri sendiri, berkumpul dengan keluarga.


Beginilah ketika memakai sistem Islam, yang telah terbukti kurang lebih 13 abad lamanya, sehingga kejadian TPPO tidak akan terulang bahkan tidak akan pernah terjadi. Maka sudah sepatutnya kita menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan daulah Islamiyah.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama