RUU Pengambilan Aset, Akankah Menjadi Solusi?

 


Oleh: Hikmatul Mutaqina


Gurita korupsi menjalari setiap sendi negeri ini. Mulai dari jabatan terendah di tingkat desa bahkan pejabat pemerintah tak lepas dari jeratannya. Seakan menjadi lagu wajib yang bersenandung dalam politik demokrasi.


Kontroversi dugaan korupsi kembali mencuat di Kementrian keuangan setelah ada laporan transaksi janggal senilai 349 T oleh PPATK. Akibatnya hal tersebut ramai diperbincangkan di media juga setelah Menko Polhukam Mahfud MD buka suara tentang dugaan korupsi senilai 35 T. 


RUU Perampasan Aset Tindak Pidana akhirnya pun kembali menjadi isu panas setelah RUU tersebut diusulkan oleh Mahfud MD kepada Komisi III DPR.


Menanggapi usulan tersebut anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Arsul Sani mengatakan, pihaknya menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana.


Kalaulah RUU tersebut disahkan menjadi Undang Undang akankah korupsi akan terhenti. Pasalnya korupsi lekat kaitannya dengan politik demokrasi yang membutuhkan biaya besar untuk menjadi pejabat pemerintah, suap disana sini sudah menjadi rahasia umum. Dimana-mana ada korupsi menjadi slogan yang terkenal di masyarakat kita. 


Kasus lain korupsi juga menimpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencekal 10 tersangka dalam penyidikan kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) pegawai di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun anggaran 2020—2022 ke luar negeri.


Gaya hidup hedonis dan flexing yang membudaya dikalangan para pejabat membuat mereka berpikir untuk meraup keuntungan ketika menjabat, bahkan kalau bisa sampai punya aset tujuh turunan. Korupsi menjadi jalan utama memenuhi hasrat hidup mereka.


Pemimpin adalah Amanah


Kepemimpinan adalah amanah. Namun di sistem demokrasi langkanya sifat amanah tak mengherankan lagi. Naiknya mereka menjadi pejabat pun lekat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Bukan berbekal iman dan taqwa yang tulus untuk mengemban amanah kepemimpinan dan bekerja demi rakyat. 


Korupsi ibarat lingkaran setan dalam sistem demokrasi. Sebaik-baik orang yang masuk kesana pasti akan berubah menjadi iblis. Masih terngiang dalam ingatan kita seorang Angelina Sondakh yang menjadi korban korupsi dalam partainya, bahkan dirinya harus rela terpisah dengan anaknya yang masih bayi dan harus masuk di ruang tahanan. 


Pejabat Polri Ferdi Sambo yang sekarang menjadi tersangka kasus pembunuhan juga memiliki kekayaan yang fantastis dari hasil kerjanya yang masih tak beberapa lama. Bagaimana seorang penegak hukum bisa melanggar hukum. Sungguh sangat mengherankan.


Gambaran sistem demokrasi yang semakin bobrok dengan kebiasaan korupsi yang menjangkiti harusnya semakin membuka mata bahwa kebijakan apa pun yang lahir dari sistem yang jauh aturan Allah tidak akan pernah membawa kebaikan.


Islam Memberantas Tuntas Korupsi


Islam sebagai agama yang sempurna juga mengatur sistem kehidupan pemerintahan dan bernegara berjalan sesuai perintah dan larangan Allah.


Pertama, setiap orang yang diangkat sebagai struktur pemerintahan dipilih dari kalangan yang terbaik iman dan amalnya. Kesadaran iman yang tinggi akan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat dan senantiasa menjaga amanah dari Allah sebagai pemimpin yang akan bertanggung jawab di hadapan Allah. 


Akidah Islam ini ditanamkan dalam setiap muslim sejak dini. Pola pendidikan dalam keluarga dan sekolah didesain sedemikian rupa untuk mencetak generasi yang kuat iman. Masyarakat juga menjaga pola interaksinya agar terikat dengan hukum syariah. 


Kedua, masyarakat Islam senantiasa menjaga amar ma'ruf nahi munkar. Bahkan tataran seorang Kholifah juga boleh untuk dinasehati oleh rakyatnya. Sebaik-baik umat adalah yang melakukan amar ma'ruf nahi mungkar. Demikian Islam menjaga masyarakat dan pegawai negara agar senantiasa dalam ketaatan. Tidak seperti sistem demokrasi liberal yang anti kritik.


Ketiga, dalam sistem Islam juga terdapat lembaga yang mengawasi dan mengaudit keuangan pejabat negara. Badan pemeriksa keuangan akan mengawasi harta kekayaan pejabat untuk melihat adanya kecurangan atau pun praktik korupsi atau tidak. Kholifah Umar bin Khattab pernah mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan untuk memeriksa kekayaan pejabat negara.


Keempat, adanya sanksi yang tegas yang berfungsi sebagai jawabir (penebus dosa) dan jawazir (pencegah dan memberi efek jera). Pelaku korupsi akan diberikan hukuman sesuai jumlah harta yang dikorupsi, kemudian Kholifah akan memberikan sanksi yang tegas atas perbuatannya.


Demikianlah sistem Islam memberantas secara tuntas praktik korupsi dengan menerapkan hukum Islam secara menyeluruh bukan sebagian. Maslahat akan dirasakan ketika aturan Islam diterapkan secara total dalam kehidupan. Bukan sekedar menempatkan Islam sebagai ibadah ritual semata. Wallahua'lam. []


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama