Kau Anggap Bebankah Seorang Anak, Wahai Saudariku?



Oleh : Anita Humayroh


Virus sekuler nampaknya telah berhasil menjangkiti setiap sendi kehidupan manusia saat ini dengan begitu masif. Tidak hanya berupa pemikiran, namun nyatanya virus ini sudah sampai pada kerusakan gaya hidup mereka yang menjunjung tinggi paham rusak ini, walhasil semakin jauhlah mereka dari kesempurnaan ajaran Islam.


Disaat masyarakat masih mengkritik tajam perihal cuitannya di medsos dengan pilihannya untuk tidak memiliki anak, justru kini, Gita Savitri seolah menantang kaum ibu dengan pernyataannya yang mengatakan bahwa menurutnya, mempunyai anak adalah sebuah beban, bukanlah anugerah seperti yang orang lain rasakan. (Suara.com, 08022023).


Sudah sedemikian parah kah pemahaman ummat saat ini. Menganggap kehadiran seorang anak yang seharusnya menjadi pelengkap kebahagiaan dalam rumah tangga justru dianggap sebagai beban, yang kedatangannya tak sedikitpun dirindukan. Bisa dibayangkan, apabila pemahaman semacam ini dibiarkan ditengah-tengah masyarakat, dengan slogan-slogan yang seolah indah, menghipnotis pemikiran kaum hawa agar berbelok dari tuntunan yang seharusnya. Mulai dari dengan tidak memiliki anak, itu akan menghambat penuaan dini, menjauhkan para wanita dari stress berkepanjangan akibat tangisan bayi, apalagi mereka mengatakan memiliki anak akan meminimalisir permasalahan yang ada didalam hidup seorang wanita. Sungguh ini semua adalah bentuk tipu daya yang akan menjauhkan seorang wanita dari fitrah mereka bahkan mencabutnya sampai tak ada sisa. Nauzubillah.


Islam memandang, kehadiran buah hati dalam perjalanan mengarungi samudra pernikahan memiliki banyak sekali hikmah. Amanah berupa kelahiran seorang anak merupakan sebuah anugerah. Wanita yang lahir dari rahimnya seorang anak adalah wanita pilihan Allah yang pastinya sudah dipercaya oleh Sang Khaliq untuk menjaga, merawat serta mendidiknya dalam tuntunan dan ajaran Islam. 


Kehadiran seorang anak juga merupakan penyejuk mata bagi kedua orang tuanya. Senyum manisnya dapat menjadi obat pelipur lara, suara tangisnya dapat menjadi penyejuk hati yang hampa. Dari matanya kita belajar makna keikhlasan, dari wajahnya kita belajar bagaimana menjadi sosok yang tegar.


Anak juga merupakan aset masa depan saat kita tak lagi di dunia. Dialah yang kelak akan mengirimkan doa sebagai penerang di alam barzah. Dia lah yang kelak akan bersaksi dihadapan Tuhannya bagaimana cara kita menjaganya, dengan apa kita memberi asupan makannya. Dan masih banyak hikmah lainnya, yang dapat kita rasakan dengan hati dan pikiran yang jernih. Itulah bagaimana Islam menempatkan posisi seorang anak di hadapan orang tuanya.


Sistem sekuler saat ini memangkas kewajiban negara dalam meriayah rakyatnya. Maka munculah berbagai macam paradigma yang membuat manusia menyalahkan sesuatu yang hanya tampak pada permukaannya saja melihat lebih dalam lagi penyebab dari semua kerusakan yang terjadi. Sistem saat ini memaksa rakyat yang hidup di dalamnya untuk berjuang sendiri memenuhi segala kebutuhan mereka, maka tidak heran muncul istilah "banyak anak masalah beranak pinak". Inilah buah dari sistem yang batil, sistem rusak buatan manusia yang dipakai untuk mengatur kehidupan manusia.


Manusia yang lemah, haruslah diatur oleh sebuah sistem cipataan Sang Khalik yang maha mengetahui hal terbaik dan terburuk bagi ciptaanNya. Dalam sistem Islam, Khalifah sebagai kepala negara berkewajiban memenuhi segala kebutuhan primer rakyat yang hidup didalamnya. Pun bagi setiap manusia yang baru saja dilahirkan. Sehingga para orang tua fokus kepada penanaman Aqidah tanpa harus dibuat pusing oleh kebutuhan dasar anggota keluarganya karena sudah ada yang menjaminnya. 


Pada saatnya sistem Islam berdiri, pemahaman-pemahaman seperti ini pasti akan musnah dengan sendirinya, karena memang Islam diturunkan sebagai penyempurna. Sempurna dalam segala aspek hukum dan sosial.Wallahu'alam  bisshowaab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama