Oleh Ina Ariani
(Aktivis Muslimah Ideologis Pekanbaru)
Dengan beredarnya beberapa video viral tentang penculikan anak baik di grup WhatsApp maupun di medsos lainnya. Membuat para orang tua senantiasa dalam keadaan cemas dan khawatir. Bahkan sempat dinyatakan darurat. Anak yang diculik dipaksa ngemis, menjadi korban hasrat seksual, hingga organ tubuhnya dijual. Sejumlah pemerintah daerah (pemda) seperti di Semarang, Blora, hingga Mojokerto pun sampai mengeluarkan surat soal isu pencegahan penculikan anak beberapa waktu terakhir.
Namun alih-alih menangani, polisi di sejumlah daerah justru menyatakan kasus penculikan anak itu hoaks. Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra mengatakan, meski polisi menyatakan hal tersebut hoaks, alangkah baiknya masyarakat agar tetap mawas diri. Para orang tua untuk memfilter informasi yang hoaks, di samping tetap memastikan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak.
Di samping itu aparat keamanan juga meningkatkan kemanan di tempat-tempat yang rentan untuk anak seperti bangunan kosong, lingkungan perhutanan warga serta tempat lain yang harus dipetakan," kata Jasra kepada Tirto, Jumat (3/2/2023).
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), angka kasus penculikan anak meningkat dari tahun sebelumnya, dari 15 kasus menjadi 28 kasus.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab maraknya penculikan anak, mulai dari faktor ekonomi hingga lemahnya pengawasan orang tua, termasuk juga rendahnya jaminan di negara ini.
Sistem yang diterapkan di negeri ini yaitu kapitalisme demokrasi yang menjaga kebebasan dan menjauhkan agama dari kehidupan, memaksa semuanya keluar dari fitrahnya sebagai manusia.
Kebebasan kepemilikan misalnya, kekayaan sumber alam milik umum hanya bisa dinikmati sebagian orang saja. Sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Akibatnya, beban hidup yang berat dan juga biaya hidup yang tinggi memaksa para ibu harus keluar ikut membantu perekonomian keluarga. Sehingga anak-anak pun terabaikan, kurang perhatian. Kemudian keluarga rentan dan terjerat kemiskinan yang terstruktur, merekalah yang banyak menjadi korban.
Kebebasan individu yang melahirkan sifat individualis, kurang peka terhadap sesama sehingga masyarakat yang seharusnya bisa menjadi kontrol ini pun hilang. Mereka sibuk dengan anak-anak sendiri tanpa peduli keadaan anak-anak keluarga lain.
Seharusnya negara sebagai struktur terbesar dalam masyarakat namun tidak memiliki andil yang cukup untuk mewujudkan keamanan.
Undang-undang atau peraturan yang meskipun sering direvisi masih belum menghadirkan rasa jera. Hukuman penjara sekitar 7- 15 tahun setelah mengalami revisi tentunya bukanlah solusi sesungguhnya.
Abainya negara atas keselamatan rakyatnya adalah salah satu bukti lemahnya negara sebagai junnah atau pelindung. Bahkan keamanan menjadi salah satu objek kapitalisasi, sehingga tidak semua rakyat mendapat jaminan keamanan dan perlindungan.
Sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam. Sistem warisan Rasulullah, dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin, dan diteruskan Kekhilafahan yang dipimpin seorang Khalifah dalam institusi Khilafah Islamiyah yang akan menghadirkan keamanan.
Keamanan yang merupakan kebutuhan komunal. Terlebih lagi untuk anak yang merupakan golongan rentan akan menjadi perioritas negara.
Individu yang bertakwa akan dihadirkan dengan pembinaan yang difasilitasi sebagai tanggung jawab negara agar masyarakat menjadi pribadi yang berkepribadian Islam. Sehingga tidak akan berani melakukan kejahatan dengan menyakini bahwa Allah Maha Melihat.
Adanya masyarakat yang melakukan amar makruf dan mencegah kemungkaran akan selalu di tegakkan, dan negara sebagai pelaksana syariat akan memberikan sanksi yang tegas dan jelas bagi para pelaku kriminal dan mampu menghadirkan efek jera.
Gambaran masyarakat seperti itulah yang dibangun oleh Rasulullah hingga terciptanya keamanan yang dapat dirasakan baik muslim maupun nonmuslim. Tidakkah kita merindukan nya?
Wallahu a'lam bishowab.[]