KOMERSIALISASI IBADAH HAJI MAKIN MENJADI



Oleh : Irawati Tri Kurnia

(Pemerhati Sosial dan Politik)


Ibadah haji dihukumi fardhu ‘ain bagi muslim yang telah mampu secara ekonomi dan memenuhi syarat, sesuai dengan Surat Ali Imran ayat 97 :


“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah), amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya dari seluruh alam.” 


Selain sebagai ibadah Mahdah, haji mempunyai makna politis dan syiar agama Islam. Makna politisnya tampak pada saat kaum muslimin bersatu saat wukuf di Arafah. Saat itu mereka dipersatukan oleh persamaan akidah, Al-Qur’an yang sama, dan kiblat yang sama. Tidak ada perbedaan kelas dan strata. Tidak nampak kesenjangan antara kaya dan miskin, bangsawan dan rakyat jelata, pejabat atau warga biasa; semua melebur menjadi satu. Seluruh kaum muslim berkumpul di Arafah untuk menyerukan seruan yang sama, yakni bacaan Talbiyah, Tahlil, Tahmid, zikir dan do’a. 


Sedangkan makna syiar agama, nampak pada serangkaian prosesi ibadah haji itu sendiri. Berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat, melakukan ibadah dan seruan yang sama; menunjukkan kehebatan Islam dalam menyatukan pemeluknya. 


Sayangnya makna ibadah haji yang luar biasa ini, disempitkan maknanya oleh penguasa saat ini, hanya sebatas ibadah ritual. Karena kebijakan pemerintah saat ini standarnya materi, sehingga semakin banyak kuota haji, maka semakin banyak keuntungan yang didapat. 


Beberapa waktu lalu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas 9mengusulkan Biaya Pemberangkatan Ibadah Haji (BPIH) 2023 sebesar Rp 69.193.733,-/orang. Angka ini melonjak dua kali lipat dibandingkan tahun lalu yang hanya sebesar Rp 39,8 juta rupiah. Ongkos haji ini juga lebih tinggi dibandingkan 2018 – 2020 lalu yang ditetapkan hanya Rp 35 juta rupiah (www.bisnistempo.co.id). 


Menurut Menteri Agama, prinsip “istitho’ah” (kemampuan menjalankan ibadah haji) memang dijadikan patokan dalam menentukan besaran biaya haji ini. Umat Islam menjalani ibadah haji jika mampu. Ada pun kuota haji Indonesia tahun 2023 ditetapkan 221.000 orang. Hal ini berdasarkan MoU antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi pada 9 Januari 2023. Kuota ini terdiri dari 203.320 jamaah haji reguler dan 17.680 jamaah haji khusus. Padahal pihak Arab Saudi sudah memfasilitasi lebih banyak jamaah umroh. Dikutip dari www.arabnews.com, Selasa 17 Januari 2023, pemerintah Arab Saudi telah mengurangi biaya asuransi komprehensif sebesar 63% untuk jamaah umroh di luar negeri. Kementerian Haji dan Umrah mengurangi asuransi dari 235 Saudi Real (239,79 Dirham) menjadi 87 Saudi Real (85 Dirham). Turun 6,3% mulai 10 Januari 2023.


Tampak sekali bahwa pelayanan pemerintah kapitalis pada jamaah haji hanya berorientasi bisnis. Hal ini tentu berbeda dengan pelayanan ibadah haji dalam sistem Islam yang disebut Khilafah. Penguasa dalam sistem ini adalah “Khadimul Ummah” /pelayan umat. Setiap kebijakan mereka, senantiasa diupayakan untuk memudahkan urusan rakyatnya, termasuk dalam perkara ibadah. 


Untuk mengatur penyelenggaraan haji, selain terkait dengan syarat, wajib dan rukun haji, Khilafah juga akan memastikan masalah hukum ijra’i terkait teknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah. Syaikh Taqyuddin an Nabhani dalam kitab Ajhizah ad Daulah Khilafah menjelaskan bahwa prinsip dasar Khilafah dalam mengatur masalah manajerial adalah Basath fi an-Nizham (sistemnya sederhana), Su’ah fi al-Injaz (eksekusinya cepat), dan ditangani orang  yang profesional. Karena itu sebagai sebagai satu negara yang menangani kurang lebih 50 negara muslim, Khilafah akan mengambil kebijakan berupa :


Pertama. Membentuk departemen khusus yang mengurus haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah. Tugas departemen ini mengurus persiapan, bimbingan, pelaksanaan, hingga pemulangan ke daerah asal. Dalam melaksanakan tugas ini, departemen haji akan bekerja sama dengan departemen kesehatan dalam mengurus kesehatan jamaah, termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi massal. 


Kedua. Ongkos Naik Haji (ONH) ditentukan bukan dengan paradigma bisnis seperti saat ini. Besar kecilnya biaya ditentukan berdasarkan jarak wilayah para jamaah dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci. Khilafah akan menyediakan opsi rute, baik darat, laut dan udara; dengan konsekuensi biaya yang berbeda. 


Ketiga. Penghapusan visa haji dan umrah. Negara Khilafah merupakan satu kesatuan negeri-negeri kaum muslimin. Sehingga untuk berkunjung dari satu wilayah ke wilayah lain, hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum muslimin yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukman, maupun fi’lan. 


Keempat. Pengaturan kuota haji dan umrah, Khilafah akan menggunakan database warga negaranya untuk menentukan urutan prioritas pemberangkatan ibadah haji. Dalam hal ini, Khilafah akan memperhatikan dua hal :


Pertama. Kewajiban haji dan umrah berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan mampu.


Kelima. Pembangunan infrastruktur Makkah-Madinah untuk memudahkan ibadah.  Diantara bukti nyata pengaturan Khilafah dalam ibadah haji, terlihat pada kebijakan Sultan Abdul Hamid II, seorang Khalifah pada masa Khalifah Utsmaniyyah. Beliau membangun sarana transportasi massal jalur kereta api (Hijaz railway) dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah; untuk mengangkut jamaah haji. 


Bahkan jauh sebelum Khilafah Utsmaniyyah, Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz. Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Tidak hanya itu, Khalifah Harun ar-Rasyid memiliki kebiasaan menghajikan 100 orang ulama dan anak-anak mereka bila beliau naik haji. Jika beliau sedang berjihad, ia menghajikan 300 orang ulama dan anak-anak mereka. Dan semua itu berasal dari harta pribadi Khalifah. 


Inilah sekilas sejarah Khilafah Islam dalam melayani tamu Allah, yang tak akan pernah bisa diwujudkan dalam sistem kapitalisme saat ini. 


Wallahu’alam Bishshawab

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama