Oleh : Ruby Alamanda
Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) adalah sebuah organisasi sosial nirlaba, independen dan transparan yang didirikan pada tanggal 29 Mei 1996. Ini adalah sebuah gerakan inisiatif dari masyarakat untuk menjaga agar anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan dasar sebagai landasan meraih masa depan yang lebih baik.
Sejak berdirinya, GNOTA telah mendistribusikan 2,3 juta paket bantuan pendidikan dan donasi uang untuk membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu agar mereka dapat terus bersekolah dan menuntaskan pendidikan dasarnya. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun menunjukkan komitmen pemerintah untuk memastikan agar anak-anak wajib mendapatkan minimal pendidikan dasar.
Faktanya, walaupun sekolah negeri telah membebaskan biaya sekolah dan siswa tidak perlu lagi harus membeli buku-buku pelajaran, ribuan anak-anak Indonesia berhenti bersekolah karena kondisi ekonomi keluarganya. (http://www.gn-ota.or.id/tentang-gnota/)
Apalagi tidak semua siswa mendapatkan uang GNOTA, hanya sebagian kecil yang mendapatkan. Misalanya kuota dari 90 siswa yang mengajukan, ada 59 yang mendapatkan. Andai semua mendapatkannya, tentu baik guru dan siswa sangat bersyukur, apalagi bisa tiap tahun mendapatkan. Berarti pemerintah sangat memperdulikan pendidikan rakyatnya, sayangnya tidak bisa demikian.
Hal ini membuat para guru yang bersinggungan langsung dengan siswa seperti makan buah simalakama. Mereka dituntut untuk bisa membantu siswanya, di sisi lain hanya sedikit sekali yang bisa dibagi untuk mereka. Apakah GNOTA membantu? Ya, membantu sebagian kecil dari kegiatan siswa saja.
Kita tahu apa yang terjadi di APBN, "Anggaran pendidikan tahun 2023 sebesar Rp608,3 triliun menggambarkan 20% komitmen tetap dijaga,” ungkap Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Pemerintah pusat akan mengalokasikan Rp233,9 triliun terutama untuk Program Indonesia Pintar kepada 20,1 juta siswa dan Kartu Indonesia Pintar Kuliah untuk 976,8 ribu mahasiswa. Selain itu, Tunjangan Profesi Guru baik untuk yang PNS maupun non-PNS juga tetap akan disediakan.
Namun sayangnya yang kita lihat adalah fakta di lapangan. Betapa banyak para siswa yang kesulitan memenuhi semua kebutuhan belajarnya. Apalagi di daerah-daerah mines. Untuk berangkat sekolah saja butuh kerja keras hingga bisa selamat tiba di sekolahan.
Apalagi yang Perguruan Tinggi, seakan-akan sudah menjadi ladang bisnis dengan tingginya uang pangkal yang harus digelontorkan oleh para orang tua. Oke ada yang gratis dan murah, tapi itu hanya bisa dihitung dengan jari para siswa yang mendapatkannya.
Harusnya negara ini malu dengan gelar "Zamrud Khatulistiwa", kaya dengan sumber daya alam, namun justru zonk dalam memintarkan generasinya.
Padahal, 20 atau 30 tahun lagi generasi inilah yang akan menggantikan menjadi pemimpin. Kalau contoh yang diperlihatkan negara saat ini dalam mengurus mereka hanya setengah hati, bisa jadi mereka akan begitu juga dengan generasi dibawahnya. Kita tidak mau kan, ini seperti lingkaran setan?