Endah Sulistiowati (Dir. Muslimah Voice)
Tindak kriminal para remaja ini seperti terpola, dapat terjadi secara berturut-turut lalu menurun kemudian marak lagi. Sebut saja kasus klitih, geng motor, tawuran antar perguruan pencak silat, bullying, pencabulan, dsb. Tak dapat dipungkiri, kriminalitas yang dilakukan para remaja ini menimbulkan keresahan masyarakat dibarengi kemarahan karena tak berdaya menghadapi mereka.
Menurut data World Health Organization (WHO) pada 2020, setiap tahunnya terjadi 200 ribu pembunuhan di kalangan anak-anak muda usia 12-29 tahun. Sebanyak 84 persen kasus melibatkan laki-laki usia muda. WHO menyatakan kekerasan di antara anak muda telah menjadi isu kesehatan warga dunia. Seperti kekerasan fisik, perundungan, kekerasan seksual hingga pembunuhan.
Terbaru di Indonesia, terjadi di Makassar Sulawesi Selatan, Alasan dua remaja di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Kasus yang melibatkan AD (17) dan MF (14) yang nekat menculik lalu membunuh MFS (11) akhirnya terungkap. Polisi menyebut bahwa kedua pelaku yang masih di bawah umur itu terobsesi dengan sebuah situs website jual beli organ tubuh manusia yang menawarkan harga mahal untuk berbagai bagian tubuh manusia. Kasus ini terungkap pada 10 Januari 2023 lalu.
Banyak kasus anak pelaku pidana yang diselesaikan melalui diversi. Namun, diversi dianggap tidak memberikan keadilan terhadap korban. Tersebab itulah, perlu melihat efektivitas solusi diversi dalam kasus anak pelaku pidana, terutama dalam mengurangi kasus yang terjadi.
Dari sedikit uraian di atas, ada beberapa masalah yang perlu dibahas disini, yaitu:
1) Apa yang melatarbelakangi kebijakan diversi ini?
2) Apa yang menjadi penyebab tingginya angka kriminalitas remaja dan anak?
3) Mampukah kriminalitas remaja dan anak ini diselesaikan dalam sudut pandang Islam?
Latar Belakang Kebijakan Diversi pada Kasus Pidana Anak
Diversi lahir dari Convention of the Rights of the Child (Konvensi Hak-Hak Anak) sebagaimana telah diratifikasi Pemerintah melalui Keppres 36/1990. Pemerintah kemudian mengeluarkan UU Peradilan Anak pada 2011 yang merupakan pembaruan mengenai UU Pengadilan Anak 30/1997 yang telah dicabut.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Peradilan Anak, yang dimaksud “anak” dalam UU ini adalah anak yang berkonflik dengan hukum yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Dalam hal penyelesaian perkara pidana anak, pengadilan anak mengupayakan untuk kepentingan terbaik anak, baik dari segi fisik maupun psikologis. Dalam pasal 5 ayat (1) UU ini disebutkan bahwa sistem peradilan anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.
Pasal 1 ayat (6) menyebutkan bahwa “keadilan restoratif” adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Berdasarkan hal tersebut, muncul istilah diversi dalam UU Peradilan Anak. Diversi berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU 11 /2012 adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dengan diversi ini dimungkinkan anak pelaku pidana tidak mendapatkan sanksi penjara.
Saat kejahatan anak terjadi, para pakar dan aktivis perlindungan anak terpaku pada cara untuk melepaskan anak dari jerat penjara. Mereka beralasan bahwa penjara bukanlah tempat yang layak bagi anak. Paradigma inilah yang melatarbelakangi kebijakan diversi untuk menyelesaikan kasus pidana pada anak dan remaja yang "dibawah umur".
Apabila mengkaji lebih dalam tentang paradigma ini, ternyata jauh dari kemampuan menyelesaikan masalah. Paradigma melindungi anak dari trauma penjara tidak akan mungkin mengurangi jumlah pelaku kejahatan anak, bahkan boleh jadi akan menambahnya karena tidak adanya efek jera yang bisa dimunculkan.
Paradigma ini semestinya diganti dengan paradigma untuk melindungi anak dari terjerumus dalam kejahatan sehingga ia tidak perlu menerima hukuman, apa pun bentuknya. Oleh karena itu, perlu adanya analisis berbagai penyebab terjadinya kejahatan anak, baru merumuskan solusi.
Faktor-Faktor Penyebab Tingginya Kasus Kriminalitas Remaja dan Anak
Sebagian pihak menuding bahwa penyebab kejahatan anak ini adalah kemiskinan dan kerusakan moral di kalangan anak. Meskipun, menurut penulis kemiskinan dan kerusakan moral bukanlah penyebab utama.
Indonesia sejak merdeka menjadi demokrasi kapitalis sebagai soko guru pembentuk negara. Sebagai pilar ditegakkanya hukum dan undang-undang. Termasuk dalam menjalankan perekonomian nasional.
Kemiskinan yang mencengkeram terjadi karena pengelolaan ekonomi yang salah. Sumber daya alam diserahkan kepada segelintir orang bermodal besar, sehingga negara hanya mendapatkan sebagian kecil saja, sebagai pajak pengelolaan. Bahkan yang kecil tersebut lebih banyak masuk ke kantong pribadi daripada digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Sehingga, penulis menyimpulkan ada beberapa poin penyebab tingginya angka kriminalitas yang melibatkan remaja dan anak, yaitu:
1) Tidak berfungsinya peran keluarga. Banyak remaja dan anak yang kurang perhatian di keluarga, sehingga mereka mencari perhatian di luar. Mereka tidak mendapatkan haknya. Sehingga salah satu aksi protesnya adalah membuat keonaran.
2) Jauhnya peran pendidikan nasional untuk mencetak output unggul. Pendidikan sekarang tidak lebih dari tempat mentransfer ilmu, mencetak prestasi, namun nir moral dan empati.
3) Lemahnya hukum dan undang-undang yang diterapkan. Ini menjadi poin utama, sehingga kriminalitas remaja dan anak terus terpola. Bahkan angkanya terus naik dari tahun ke tahun.
Apalagi Barat mendefinisikan bahwa “anak” adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Mereka berangkat dari asumsi bahwa anak usia 12—18 tahun masih berada dalam masa transisi dan turbulensi yang berakibat pada labilnya emosi dan belum matangnya penalaran anak.
Konsekuensinya, anak usia ini belum dapat dihadapkan di muka hukum. Definisi ini kemudian dibakukan sebagai standar internasional.
Ada akibat mengerikan dari penetapan batas usia anak ini. Ketentuan internasional yang melarang anak untuk dijatuhi sanksi pidana menyebabkan anak “bebas” melakukan tindakan kriminal. Akibatnya, kejahatan anak terus meningkat karena tidak adanya sanksi yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan anak. Tidak hanya kuantitas, melainkan juga kualitas, dalam arti kejahatan anak makin sadis.
Islam Menyelesaikan Kasus Kriminal Remaja dan Anak
Pendefinisian anak dan sampainya ia pada kedewasaan adalah pembahasan mendasar dalam hukum Islam. Ini karena ketika anak sampai di usia balig, ia sudah terbebani dengan taklif yang membuat amalnya diperhitungkan sebagai pahala dan dosa. Begitu pula anak yang sudah balig, akan dianggap layak mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.
Batasan balig laki-laki adalah al-ihtilam atau bermimpi basah, sedangkan bagi anak perempuan adalah haid dan kehamilan. Umumnya, anak laki-laki mengalami balig pada usia 12—15 tahun, sedangkan anak perempuan pada usia 9—12 tahun.
Di hadapan hukum, anak ketika mencapai usia balig dapat dimintai pertanggungjawaban dan dikenakan sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatan yang dilakukannya. Dalam Islam, hal itu adalah mungkin, karena saat seseorang mencapai balig, ia sekaligus juga mencapai “aqil” sehingga layak untuk dihadapkan pada konsekuensi hukum. Saat ini, masalahnya adalah tentu adalah bagaimana agar anak saat balig ia juga mencapai tahap “aqil”.
Dengan demikian, negara wajib menjatuhkan sanksi bagi anak yang sudah balig, sama seperti orang dewasa. Namun, memang sebelum sampai pada tindakan hukum, negara berkewajiban untuk mencegah anak dari melakukan tindak kejahatan.
Negara akan membentengi akidah dan akhlak anak dengan melarang peredaran miras, narkoba, produk-produk yang bermuatan pornografi, dan seluruh pemikiran sesat yang merusak. Negara pun menjamin pendidikan berkualitas bagi anak dan seluruh warga untuk membentuk akidah, kepribadian, dan karakter keilmuan berlandaskan Islam. Memberikan fasilitas untuk mengembangkan pengetahuan dan teknologi.
Dengan terintegrasinya mekanisme pencegahan dalam sistem Islam ini, diharapkan kasus-kasus anak pelaku pidana dapat dicegah sedari awal. Paradigma solusinya bukan lagi cara menghindarkan anak dari hukuman ketika ia melakukan tindak pidana melalui mekanisme diversi, melainkan paradigma mencegah anak melakukan tindak pidana.
Islam begitu peduli dengan kondisi generasinya. Hingga berupaya keras untuk mencegah para remaja dan anak-anak dari berbagai bentuk kriminalitas. Islam juga tidak akan membiarkan Kriminalisasi tumbuh, tidak hanya pada generasi muda tapi juga pada masyarakat pada umumnya. Sehingga sedikit sekali terjadi kasus kriminalitas sepanjang sejarah kejayaan Islam.
Daftar Bacaan
Makalah "Diversi Bukan Solusi dalam Kasus Pidana Anak",
Penulis: Arini Retnaningsih
Astaghfirullah, kemaksiatan kok terpola.
BalasHapus