RUU Kesehatan: Butuh Sentuhan Islam



Oleh: Ummu Zamzama

Sejak diresmikan sebagai salah satu dari 38 RUU program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2023, penolakan atas RUU Kesehatan Omnibus Law terus bergulir. 

“Kami Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Kota Blitar Menolak RUU Kesehatan (Omnibuslaw)”, “RUU Kesehatan (Omnibuslaw) Liberalisasi dan Kapitalisasi Kesehatan Korbankan Hak Sehat Rakyat”, dan “Kami Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Blitar Menolak RUU Kesehatan (Omnibuslaw).” 

Itulah beberapa bunyi spanduk aksi unjuk rasa Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Kota Blitar, Jawa Timur yang digelar Senin, 28/11/2022. Aksi unjuk rasa tersebut diikuti oleh sekitar 50 peserta. Mereka tidak hanya berasal dari IDI Kota Blitar tapi juga profesi lain seperti bidan, dokter gigi, perawat, apoteker, dan lainnya. Mereka berunjuk rasa menentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibuslaw.

Koordinator aksi, sekaligus juga Wakil Ketua IDI Cabang Kota Blitar, Puspa Wardana menilai, RUU Kesehatan Omnibus law akan merugikan rakyat. RUU Ominibuslaw Kesehatan dirancang sedemikian rupa agar pendidikan di bidang kedokteran menciptakan tenaga kesehatan yang murah. Konsekuensinya, mengancam keselamatan rakyat dan hak rakyat atas pelayanan kesehatan bermutu. Semangat RUU Omnibuslaw Kesehatan adalah semangat investasi di bidang industri kesehatan namun mengorbankan kepentingan profesi dokter, tenaga kesehatan dan apoteker. RUU Omnibuslaw Kesehatan memberikan kemudahan bagi masuknya tenaga asing bidang kesehatan untuk bekerja di dalam negeri. Kemudahan itu, kata Puspa, tidak diikuti dengan pengawasan pada kualitas.

Masyarakat tentu berharap jangan sampai kesehatan menjadi ‘barang dagangan’. Publik juga berharap agar jangan ada lagi celah kolusi antara dokter dan industri farmasi. Di satu sisi, masyarakat membutuhkan sistem kesehatan yang andal  bagi terjaminnya hak rakyat terhadap pelayanan kesehatan bermutu. Di sisi lain, idealisme dan dedikasi dokter dan tenaga  kesehatan harus berada pada koridor yang benar.

Ada baiknya pemerintah mengadopsi masukan ahli dan tenaga medis soal fokus pembahasan RUU Kesehatan, yakni berfokus pada penuntasan problem serius dan mendesak, yakni peran negara dalam menjamin kebutuhan tiap individu rakyat terhadap pelayanan kesehatan.

Selama ini, negara cenderung lalai terhadap kewajibannya menjamin kebutuhan rakyat. Kelalaian itu tampak dari dilegalkannya industrialisasi sistem kesehatan yang berakibat  pada kesengsaraan rakyat dan tergadainya idealisme tenaga kesehatan. Bukti kelalaian berikutnya adalah harga pelayanan kesehatan yang terus menanjak. Ditambah lagi program BPJS Kesehatan yang problematis dan menyimpan banyak PR. Banyak pihak mengeluhkan kualitas pelayanan ala BPJS makin mengelite dan makin jauh panggang dari api. Diskriminasi pelayanan kesehatan pun menjadi berita di mana-mana.

Sejumlah aturan yang dibuat BPJS Kesehatan, misalnya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan No. 3/2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat. Menurut penilaian IDI, peraturan ini diskriminatif dan berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan jiwa bayi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laman resminya menulis, “15% dari seluruh kematian atau ada 5,7—8,7 juta kematian setiap tahun di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (Indonesia termasuk di dalamnya) berkaitan dengan buruknya kualitas perawatan. Sungguh menyedihkan.

Inilah simalakama kebijakan lalim negara yang harus ditelan oleh masyarakat, dan tenaga kesehatan lainnya. Semua ini merupakan konsekuensi logis dari penerapan peraturan perundang-undangan sekuler kapitalisme bidang kesehatan, termasuk UU Kesehatan No. 37/2009 dan RUU Kesehatan. Alhasil, sistem kesehatan makin terindustrialisasi. Semua ini mendapat payung dalam sistem sekuler hari ini melalui mekanisme politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis. Rancangan Undang-undang yang mementingkan para kapitalis korporat dan oligarkh akan diketok palu meski mayoritas rakyat tak setuju. Konsep batil  seperti good governance, komersialisasi kesehatan,  sistem pendidikan tenaga kesehatan, konsep pembiayaan kesehatan kapitalistik berupa asuransi kesehatan wajib, dll telah merusak fungsi negara sebagai pelayan rakyat. Negara hanya sekadar regulator, dan pihak swastalah eksekutornya. 

Alternatif

Melihat banyaknya mudharat dari tataran konsep maupun realitas implementasinya, RUU Kesehatan Omnibuslaw jelas berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan jiwa umat manusia. Oleh karenanya, dibutuhkan konsep pengganti yang lebih manusiawi dan sahih. Islam memenuhi syarat untuk hal itu. 

Islam memiliki gagasan dan metode pelaksanaan yang komprehensif tentang fungsi negara, sistem pendidikan tenaga medis, sistem keuangan berbasis baitulmal, dan sistem perindustrian berbasis industri berat untuk menopang industri-industri lainnya yang strategis. Semua itu diadopsi berikut metode implementasinya oleh negara khilafah dengan khalifah sebagai pemimpin politik tertingginya.

Setiap undang-undang yang lahir dipastikan bersumber dari Al-Qur’an, hadis nabi, maupun ijma sahabat dan qiyas. Aturan yang diterapkan dalam negara bertujuan untuk kemaslahatan rakyat karena politik dalam islam berarti mengurus urusan rakyat. Karenanya, dalam sejarah islam, tidak dijumpai ada korporasi yang mendikte negara. Kehadiran Islam politik yang ideologis inilah solusi tunggal untuk mewujudkan sistem kesehatan baru yang sehat dan tangguh dengan berbagai pilar penopangnya yang kokoh.

Kehadiran Islam menjadi jaminan terhadap pelayanan kesehatan murah berkualitas. Serta jaminan terhadap harkat dan martabat tenaga kesehatan seperti dokter, bidan, dan apoteker. Hal inilah yang patut kita wujudkan dalam kehidupan. Umat membutuhkan sosialisasi tentang islam ideologis yang efektif agar mereka ikut memperjuangkan kehadiran islam dalam kehidupan ini. 

Patut kita renungkan firman Allah Swt berikut ini,
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya."  (QS Ali-Imran ayat 19).

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama