Pengesahan RKUHP, Sudahkah Berpihak pada Rakyat?

 



Oleh: Ummu Zoya (Aktivis Muslimah Kalsel)


Ditengah derasnya arus penolakan terhadap beberapa pasal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), DPR RI dan Pemerintah justru mengesahkannya menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI yang digelar di Kompleks Parlemen pada selasa, 06 Desember 2022. Pengacara publik dari LBH Jakarta Charlie Meidino Albajili menyatakan pemerintah dan DPR tak mempunyai itikad baik dan menipu rakyat dengan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU ditengah penolakan. Menurut Charlie, RKUHP yang kini telah disahkan menjadi UU cacat prosedur karena partisipasi masyarakat tidak diakomodasi dulu dengan baik dan penuh (www.cnnindonesia.com, 06/12/22).


Beberapa hari sebelum pengesahan Ketua Umum YLBHI, M. Isnur memberikan pandangan bahwa pasal- pasal bermasalah RKUHP seharusnya diselesaikan dulu oleh pemerintah. Ia melihat masukan koalisi masyarakat sipil juga tidak diakomodir oleh DPR. Sebagai contoh, pasal ancaman pidana bagi masyarakat yang berdemo tanpa pemberitahuan masih ada dalam RKUHP terbaru. Senada dengan pendapat Ketua Badan Pengurus Persatuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, ia mengatakan bahwa belasan pasal bermasalah yang disorot masyarakat sipil masih ada, seperti pidana mati, penghinaan presiden dan wakil presiden negara sahabat, hukuman pelanggaran HAM berat, penghinaan lembaga negara, hingga dalil penghinaan presiden dan kepala negara. Julius menilai, hal itu berbahaya karena dikhawatirkan menjadi potensi alat kriminalisasi (Tirto, 28/11/22).


Aksi protes dari masyarakatpun telah berlangsung pekan ini dan KUHP yang baru disahkan diperkirakan akan digugat ke Mahkamah Konstitusi. Sistem politik demokrasi di atas asas liberalisme telah memberikan wewenang penuh kepada manusia untuk membuat Undang Undang yang mengatur seluruh aspek kehidupan sesuai kehendak mereka. Karena itu KUHP yang disahkan adalah produk akal manusia yang dilegislasi oleh negara. 


Inilah sejatinya yang menjadi akar persoalan perdebatan yang sering terjadi, setiap pemerintah akan mengesahkan sebuah aturan perundang-undangan. Sebab sampai kapanpun akal manusia yang lemah tidak mampu mengakomodir seluruh pendapat manusia. Dan yang terpenting bahwa akal manusia tidak mampu memahami aturan yang terbaik untuk manusia yang menjamin terwujudnya keberkahan hidup. 


Oleh Karena itu, RKUHP atau UU lainnya sangat mudah direvisi sesuai kehendak yang sedang berkuasa. Proses panjang yang dialami RKUHP mengindikasikan bahwa hukum yang dibuat manusia dapat dengan mudah diutak-atik  sesuai kepentingan yang ingin diraih. Disinilah potensi penyalahgunaan kekuasaan itu terjadi. Sekalipun ada lembaga yang mengawasi, hal itu tidaklah menjamin UU yang dihasilkan bebas dari kepentingan kekuasaan. 


UU Cipta Kerja yang disahkan 2020 lalu misalnya, sangat sarat dengan kepentingan kapitalis bukan kepentingan rakyat. Tak ayal dikatakan sebagian besar produk hukum dalam demokrasi adalah hasil kongkalikong antara wakil rakyat, penguasa, dan pengusaha. Aturan dalam sistem demokrasi juga nampak hanya bertujuan untuk mengokohkan kekuasaan rezim yang berkuasa. Saking lenturnya pasal- pasal karet kerap dijadikan alat untuk membungkam lawan politik penguasa. Alhasil UU produk sistem demokrasi tidak akan mampu menjawab persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Aturan yang ada dipastikan hanya akan menambah ruwet persoalan bahkan menimbulkan persoalan baru. 


Oleh karenanya tidak ada jalan lain selain mengubah secara total sistem politik yang mengatur segala aspek kehidupan di negeri ini. Dan sistem politik yang harus dituju umat adalah sistem politik Islam yang dijalankan dalam sebuah negara. Aturan yang diterapkan adalah syariat Islam. Legalitas UU yang dihasilkan bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab hak membuat hukum hanyalah milik Allah. Manusia tidak berhak membuat dan menyusun aturan sendiri. 


Sebagaimana Firman Allah Ta’ala “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah . Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus”(QS Yusuf: 40). Dari ayat ini sangat jelas bahwa manusia hanyalah pelaksana hukum Allah, dimana wewenang tersebut diberikan kepada Khalifah sebagai pemimpin negara. Adapun keberadaan wakil rakyat yang disebut majelis umat dalam Islam bertugas untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa, menerima keluhan masyarakat untuk disampaikan kepada penguasa, dan memberi masukan kepada khalifah meski masukan tersebut tidak mengikat. Majelis umat tidak memiliki wewenang dalam membuat dan menyusun UU seperti halnya wakil rakyat dalam demokrasi. Karena itu tidak akan terjadi politik transaksional untuk meloloskan UU pesanan pihak tertentu. Karena aturan yang berlaku adalah hukum Allah maka aturan tersebut tidak berpeluang untuk berubah-ubah mengikuti kehendak manusia.


Dengan ini supremasi hukum akan selalu terjaga, selain itu aturan yang diberlakukan pasti akan menyelesaikan persoalan dan persengketaan secara tuntas tanpa menimbulkan persoalan  baru. Aturan tersebut juga memiliki standar yang jelas, yang bisa dipahami ukurannya oleh manusia. Sehingga mampu menghilangkan kezaliman satu pihak atas pihak lain. Demikianlah halnya penerapan aturan Islam Kaffah yang mampu mewujudkan keadilan dan menyelesaikan seluruh bentuk persoalan kehidupan manusia. Sebagai mukmin, sudah selayaknya kita hanya bersandar pada Islam.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama